webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

"Setidaknya tidur di ranjang empuk membuat tidur singkat ku berkualitas."

"Ahhh…" Bahkan sang pria yang lebih tinggi di buat mendesah saat tangan kecil itu meremas kejantannnya di area terbuka.

Mencengkram pergelangan pria mungil itu, terburu-buru menariknya berlari. Melemparkannya ke kursi penumpang setelah menemukan kendaraan pribadinya. Mengungkung penggoda ulung itu dengan telapak besarnya yang mencekik. "Aku bukan seorang gay. Tapi jika pria seksi dan menggoda seperti mu, mana mungkin aku sanggup menahan diri?"

"Eungghh…." Lumatan kasar sebagai permulaan. Bahkan saat roda mobil melaju dengan kencang di tengah jalanan lenggang tak membuat kedua pria itu menarik diri.

Tak lagi basa-basi saat menemukan ruangan privasi yang nyaman. Dengan penuh inisiatif, pria mungil itu bahkan sudah bergelayut manja di leher rekannya, posturnya yang pendek membuat kakinya berjinjit. Menyediakan tubuhnya untuk di habisi, saling menggerayah dengan ciuman dalam menyertakan sapuan lidah, lagi dan lagi. Benar-benar kehausan.

Satu per satu kain yang membalut tubuh keduanya jatuh. Pada setiap langkah menjejak, sampai habis dengan tubuh telanjang jatuh terlempar di atas ranjang.

"Eungh... Ya, habisi aku, sayang..." Ucapnya agresif, menjulurkan kedua tangannya untuk segera mengungkungnya, menghabisinya sampai batas akhir.

Berekspresi sensual saat merasakan jemari panas mengusap wajahnya. Mata sayu, menggigit bibir bawah yang setelahnya tertawa girang, sedikit menggelinjang saat merasakan taring menancap di lehernya. "Eungh..."

"Jelas saja, karena aku kelaparan. Tak keberatan jika aku sedikit kasar, kan?"

"Aku milik mu malam ini. Ahhh..."

Permulaan membuka garis mula, terburu-buru tak ingin sedetik pun melewatkan panggilan jiwa. Hanya desahan, ucapan kotor yang malah ngundang gairah makin meletup-letup. Tak memikirkan identitas masing-masing, hanya saling memberikan keuntungan yang dapat di berikan.

Mengisi malam dengan pergulatan erotis, tanpa batas. Terus berganti posisi tanpa lelah dengan bentrok tubuh yang semakin di gencarkan. Ritme semakin cepat, menggetarkan sekujur dengan keringat yang makin menambah kesan sensual.

Sampai batas pelepasan, menguras habis dengan dekapan yang makin mengencang. Terdorong makin dalam, menggelinjang, sampai cairan kental menyembur memenuhi perut pria mungil yang kemudian jatuh terlelap. Seakan bagian intimnya yang basah tak jadi masalah, berguling dengan selimut yang melilit seperti buntalan sushi, bahkan senyumnya terukir di dalam angannya yang sudah bermimpi. Uang...

Semudah itu permasalahan terselesaikan. Saat kedua matanya terbuka dengan sambutan terang dari matahari yang mulai mengambil kedudukan.

"Eunghh..." Erangnya sembari menggeliat, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Punggung tangannya mengucek mata.

Beranjak dari ranjangnya seorang diri, tubuhnya bangkit, kemudian bersambut senyum makin lebar kala pandangannya menatap lembaran uang yang menjadi satu-satunya topik pembicaraan mereka malam kemarin. Ya... Mimpinya terwujud, itu sudah pasti karena jerih payahnya yang lagi-lagi merelakan jam tidurnya, kan?

Melangkahkan kakinya keluar dari motel. Ringis kesakitan kemudian keluar dari bibirnya saat gesekan kain mengenai daerah vital bawahnya. Namun hanya berlangsung sekejap, saat ingat di kantungnya terdapat biaya untuk berfoya-foya ke depan.

Ya, sudah menjadi resiko. Lagi pula yang kemaren tak terlalu buruk, gairah yang nyaris meledakkan kepalanya terbayar impas. Bisa di katakan, ia mendapatkan keuntungan ganda dalam sekali kerja.

"Setidaknya tidur di ranjang empuk membuat tidur singkat ku berkualitas," pikir pria mungil menyemangati dirinya sendiri. Ya, ada hal lain yang harus di lakukannya untuk mengimbangi hidup normalnya yang begitu membosankan.

"Telat! Kau pikir hanya karena kau kenalan boss kau bisa bertindak seenaknya saja?"

Benar saja, sesuai dugaan jika suara nyaring itu kembali terdengar saat langkahnya memasuki sebuah tempat dengan tulisan "Tutup" di pintu.

Demi apa pun, rasanya ia tak begitu terlambat seperti yang di katakan oleh wanita yang memegang lap basah yang tersampir di bahu lebarnya itu. Sama sekali tak melepaskan lirikan tajam, hingga di khawatirkan bisa saja menggelinding jatuh satu waktu.

"Ya, setidaknya aku punya keistimewaan itu meski sedikit, sedangkan diri mu siapa? Kenapa dengan beraninya malah menegur ku seperti kau adalah pemilik yang berkuasa di sini?" sahut pria itu dengan sama-sama berego tinggi.

Berani menantang dengan kedua lengan mengikuti berkacak pinggang. Dagu pria itu terangkat kian tinggi, mendesak tantangan pemberani dengan lanjut berkata,

"Kalau ingin mengadu, mengadu saja! Aku sama sekali tak keberatan jika harus di pecat dari tempat membosankan ini!"

Mendengus kesal, pria itu kemudian pergi, tak ingin lebih lama berurusan dengan wanita yang belagak menjadi pengatur dengan posisi nyata yang serupa rendah, hanya upik abu.

Jelas saja tindakan itu menyulut sang wanita yang seketika menyeruakkan awan hitam di sekitar tubuhnya.

Hingga pekerja lain yang menjadi penonton mendapat getah dengan sentakan kasar memperingati. "Apa yang kalian lihat, eh?!"

Kompak terperanjat, kemudian mereka yang penakut lekas beranjak pergi mencari persembunyian. Bawah kolong meja, kursi, kalau bisa menyusutkan tubuh, membiarkan diri tersedot aliran pembuangan tempat cuci piring. Benar-benar telah terserang mental saat perseteruan rutin membuat mereka tak berkutik, tubuh bergetar hebat dengan basah terguyur keringat dingin.

Selebihnya hanya rutinitas semacam itu yang menaik turunkan suasana hati pria itu, tak ada pengalaman baru dalam kisahnya. Hanya seperti itu, membosankan.

.

.

.

Bertemulah dengan Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria matang berusia genap dua puluh lima tahun.

Sosok pria yang memiliki sisi menakjubkan dengan bentuk rupa yang condong ke arah cantik. Kulit mulus, berwarna kuning lansat dengan kilapan alami yang membuat semua orang mendamba untuk menjamahnya. Wajah kecil dengan proporsi menarik dalam kategori penuh.

Alis tebal terukir rapi, bulu mata lentik alami, mata bulat dengan kornea berwarna karamel. Tulang hidung tinggi dengan puncak lancipnya yang begitu menggemaskan. Bibir penuh dengan warna merah karena ketekunannya merawat, terlihat kenyal dan begitu menggoda untuk di lahap.

Alih-alih mendapatkan ketertarikan dari wanita, secara keseluruhan memang mendukung kaum sejenisnya untuk berbuat macam-macam. Terlebih dengan tampilan percaya dirinya membalut tubuh dengan kaos berleher rendah untuk menunjukkan tulang selangkanya yang menonjol. Celana pendek tepat di atas lutut melengkapi, menggoyang pantat sekalnya saat berjalan di tengah keramaian.

Menipu usia dengan tampilan keseluruhan, hingga saat langkahnya menapak gedung pencakar langit itu langsung di hentikan oleh seorang pengaman.

Demi apa pun, bahkan dirinya mengumpulkan niatan cukup lama untuk bisa bangkit dari atas ranjang dan bergelut dengan dinginnya suhu luar. Pengorbanan yang di lakukan saat pagi buta ponselnya berdering dengan panggilan datang sesuai waktu yang di tentukan.

Dan setelah mendapatkan pandangan melecehkan dari pria paruh baya itu, ia harus kembali menunggu dengan resiko mendapat teguran?

Sialan! bahkan Bian terus mengumpat saat pria paruh baya itu tak juga mengalihkan tatap darinya. Demi apa pun ia risih, meski gelar pria bayaran melabelnya sejak awal. Ia masih cukup mempertimbangkan netranya yang mengambil alih penuh dalam mendeteksi siapa yang pantas untuk bergumul bersamanya. Jelas rupa tampan dan telapak tangan besar yang beruntung menyembunyikan kejantanan besar nan perkasa. Tidak dalam kategori lain. Ah, jika uang yang berbicara, mungkin akan sedikit bisa di tolerir.