webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

"Maaf saja jika segala yang kau idamkan malah berpihak pada ku."

"Aku benar-benar sangat membenci mu, Dev!" Suara rendah Bian, begitu penuh amarah yang meletuk-letuk dalam diri. Menyatakan diri tak akan sudi berubah pikiran walau dengan keadaan apa pun.

Membuat Devan menghela napas panjang sebelum membalas sikap Bian lebih parah. "Aku ingin kau pindah bagian."

Ucapan Bian yang memancing Devan sampai pada satu keputusan. Balasan setimpal yang di rasa pantas untuk sebuah kelancangan.

Mendengarnya, seketika Bian memicing. Wajahnya makin kaku, berdecih terlebih saat dengan pongahnya Devan menambahkan,

"Kalau kau masih ingin di lihat sebagai adik kecil nakal milik Mike yang telah berubah manis. Bi, kau hanya harus menuruti aturan ku."

"Apa maksud mu, eh?!" Gertak Bian. Kakinya sudah sangat gemetar untuk mendatangi Devan, kuku-kuku tajamnya begitu ingin mencabik raut wajah menyebalkan itu.

"Sebagai waitress, ku rasa kau sudah lumayan."

Brakk

Bian dengan kebenciannya yang menumpuk. Berjalan cepat sampai menggebrak meja di hadapan Devan, mengungkung pria itu ke dalam hawa menakutkannya. Bian tak suka di permainkan.

"Kalau yang kau maksud dengan seringnya aku bertengkar dengan sesama karyawan atau pelanggan, aku yang tadi membentak anak kecil sampai menangis histeris beberapa saat lalu. Hei, apa kau sedang menyindir ku habis-habisan?"

"Aku ingin kau pindah ke bagian dapur."

"Dev, jangan menguji ku."

"Setidaknya, aku ingin melihat mu ahli mengupas bawang."

"Dev-!"

"Kau sendiri yang memperjelas semuanya, kita bukan teman. Aku hanya berusaha menempatkan diri ku dalam posisi semestinya."

"Jangan harap aku akan menuruti keinginan mu."

Sungut Bian, yang di balas perlawanan penuh ancaman oleh Devan. "Atau kau lebih suka kalau Mike tau perbuatan bejat mu?"

"..."

Devan berhasil membuat Bian bungkam seribu bahasa. Senyumnya makin lebar, membayangkan hal-hal yang semakin seru dengan Bian yang di permainkan bagai boneka.

"Janji yang tak kau tepati, aku yakin Mike akan marah besar saat kepercayaannya kau nodai. Ah... Atau lebih mengerikannya, dia akan mendepak mu dari kehidupan kami."

Demi apa pun, Bian sangat ingin menganiya pria yang saat ini bersendekap dengan lagak bagai penguasa yang memegang nyawanya itu. Memposisikannya sebagai sosok tak bermartabat dengan lagi-lagi desakan sarat pengancaman di ajukan, tanpa sela untuknya melawan.

"Kau yang lebih tau mana yang terbaik untuk hidup mu sendiri, Bi."

"Kau mengawasi ku?"

"Tak ada larangannya. Setau ku, kau hanya membuat kesepakatan dengan suami ku."

Bahkan napas Bian sudah tersengal, kesabarannya benar-benar sudah di ujung tanduk.

"Dasar picik!"

Srekk

Brakk

Bunyi kursi yang di tendang sampai menggelindung menabrak kaca pembatas.

"Ouch!"

"Kau pikir bisa merendahkan ku, eh?!"

Menulikan pekik kesakitan Devan, dengan amat brutal Bian menarik pria itu. Membenturkan Devan ke tembok, mengunci pergelangan pria itu dengan satu lengan bebasnya yang terangkat bersiap memukul. Jika saja ucapan Devan tak menghentikannya.

"Sungguh, aku tak ingin lebih mempersulit posisi mu, Bi. Ini hanya sebuah penawaran yang bisa kau pilih."

Demi apa pun, Bian sangat paham dengan arti ucapan itu. Devan yang ingin kembali merecoki hidupnya. Bahkan untuk seorang Mike, pria itu mendadak posesif dengan tak ingin berbagi kasih sayang?

"Sungguh, kau hanya harus memilih pergi atau tetap tinggal dengan peraturan yang ku tentukan, Bi."

"Shit!"

Bughh

Amarah Bian yang mendesak ingin di luapkan, meninju tembok tepat di samping kepala Devan. Seperti yang lambat di sadari, Devan rupanya lebih cepat membuat rencana tak terduga, mencebaknya bertindak anarkis, usaha membuangnya lebih cepat.

Melirikkan pandangan penuh kebenciannya, berbisik tepat di telinga Devan.

"Dari dulu sampai sekarang, keinginan ku memang tak pernah berubah. Aku sungguh-sungguh ingin mencekik mu, Dev!"

"Ucapan mu bahkan tak berubah sejak dulu, Bi. Mengerikan dan penuh ancaman." Tak gentar, Devan malah tersenyum manis seolah pembicaraan mereka begitu akrab dan menyenangkan.

Sementara Bian yang menjadi semakin terjebak ketidakberdayaannya, baik sekarang atau bahkan masa lalu yang belum tuntas.

"Aku tak pernah sekasar ini jika kau tak terlalu jelas merenggutnya dari ku."

"Kau tau jika kau sama sekali tak berhak marah. Maaf saja jika segala yang kau idamkan malah berpihak pada ku."

Gertakan gigi Bian yang makin keras. Matanya yang berkobar penuh amarah bahkan sampai harus di pejamkan sesaat. Gemuruh di dalam dadanya semakin tak terkendali, darahnya sampai mendidih hingga di rasa sanggup memecahkan kepalanya dalam hitungan detik. Kedua tangannya hanya bisa terkepal di samping tubuh dengan tanpa daya. Balasan Devan cukup menyerang psikis nya yang lemah. Pada kenyataannya, ia memang selalu kalah.

"Aku tak menyangka kalau kau sebrengsek ini, Dev!"

Bian pergi dengan posisinya yang terinjak-injak. Melampiaskan jiwanya yang terbakar, semua orang mendadak di pandangnya sebagai musuh yang mengancam.

"Apa yang kau lihat, eh?!"

Melepas apron, cepat-cepat mengganti pakaiannya dan berberes, ia benar-benar butuh udara segar. Ia tak ingin semakin gila menghadapi musuh yang sialnya terlalu sempurna. Terlebih ucapan Devan yang memperjelas semuanya, seseorang yang di gilainya mustahil untuk bisa di tundukkan sampai kapan pun.

"Akhh...! "

Brakk

Brakk

Brakk

Menggebrak pintu loker berulang kali. Mengabaikan rasa sakit di lengannya. Sampai kegilaan melayangkan tendangan bertubi seperti orang kesurupan.

"Bajingan!" Bahkan suaranya serak, napasnya yang memburu benar-benar menyakiti dada. Matanya sudah sangat memerah, percampuran amarah dan sakit hati yang di rasa sangat ampuh mencabik-cabiknya. Dan semua itu karena bajingan Devan.

"Brengsek! Aku benar-benar ingin membunuh mu, Dev!"

"Hei, apa kau hilang akal?"

Melayangkan tatapan psikopatnya, mendapati perusuh lain di hidupnya. Andai hukum kekerasan atas kesetaraan gender tak ada, sudah pasti Nadin akan di pukul habis-habisan.

"Bukan urusan mu."

"Mau kemana kau." Nadin yang menghalangi pintu, langsung di tepis kasar sampai nyaris terjungkal.

Menuding penuh peringatan sebelum Nadin memprotes. "Jangan menahan ku, atau aku akan lebih tak segan untuk membuat keributan lebih parah dari ini."

"Dasar gila! Kau pikir kau bisa bertindak seenaknya, eh?!"

Pelayan dapur yang otomatis meninggalkan kerja tangkas mereka, sekedar menengok menyaksikan keributan, saling memberi kode tanpa ingin berurusan. Pertengkaran keduanya yang bukan perkara mengejutkan.

"Apa kau mendadak hilang ingatan? Kau bukan boss, kau hanya pelayan di sini, bangsat!"

Teriakan Nadin nyatanya hanya membuat telinga Bian makin pengang. Wanita itu terus membuntutinya yang bermaksud melarikan diri dari pintu belakang.

Devan yang rupanya dapat menebak sikap pengecut Bian yang mudah tersulut, pun menahan Nadin yang bisa saja menjadi korban pria beringas itu.

"Biar saja, aku sudah mengizinkannya untuk pulang lebih awal."

"Tapi, tuan?"

Tatapan Nadin yang penuh protes, sementara Devan dengan raut datarnya yang mengantarkan kepergian Bian, tanpa sedikit pun ekspresi. "Aku hanya ingin memberinya waktu untuk berpikir."