webnovel

9 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 12 November. Sebelum pagi (malam).

Aku mendekati tempat sampah di mana aku membuang cat kaleng semprot.

Ini menjijikkan, tapi ini harga yang murah untuk dibayar.

Aku sudah membeli sarung tangan sebelumnya, dan untungnya tidak banyak yang membuang sampah di sini.

Aku melihat sekitar sekali lagi.

Aku sudah tahu bahwa tidak ada CCTV yang mencapai daerah sini, jadi aman. Tinggal orang-orang saja yang akan lewat sini kemungkinan akan melihatku.

Untuk jaga-jaga, aku memakai kerudung dari jaket yang kupakai.

Setidaknya jika ada orang lewat, mereka hanya mengira aku adalah pemulung.

Setelah selesai mengambil kantong plastik hitam berisi cat kaleng semprot, aku duduk di dekat gerbang depan sekolah.

Aku tetap memakai kerudung jaketku, sambil melihati handphoneku.

Hmm... Ini sudah lewat jamnya. Aku tunggu beberapa menit lagi, kalau dia belum datang, aku lompati pagar ini.

Dan tentu saja, ketika aku berpikir begitu, orangnya baru datang.

Pak Kiyo memarkir sepeda motornya dan menuju ke gerbang.

"Bawa kuncinya?" Tanyaku.

"Ya, itu sudah pasti. Kalau nggak kubawa, kenapa aku ke sini?" Jawab Pak Kiyo.

"Betul. Kenapa kamu ke sini kalau kamu bisa aja beri kunci itu ke aku, hah?" Tanyaku sarkastis dan sedikit marah.

Pak Kiyo tidak perlu ada di sini. Dia bisa saja memberikanku kunci tersebut tadi pagi, siang, atau sore. Aku masuk sendirian pun tidak akan mengubah apa pun.

Dan jujur saja, aku bisa melompati pagar, atau memanjat dinding, atau merusak gembok daripada melibatkannya di sini. Tidak susah memasuki sekolah negeri ini di kota tenteram seperti ini. Masalahnya cuman keberanian dan CCTV.

Jika saja orang dewasa ini tidak sangat keras kepala ingin ikut... Hah... Seharusnya aku tidak memberitahunya. Lagi pula, kenapa guru biasa seperti Pak Kiyo punya kunci gerbang? Bukannya dia yang akan menjadi tersangka pelaku nantinya?

"Tapi kamu kok tahu mereka ada di luar kota?"

"Kedengaran."

"'Kedengaran'? Dengar gimana?"

"Sosmed. Apa lagi kalau bukan itu?" Mereka dengan jelas menceritakan rencana mereka untuk pergi ke luar kota di sosial media. Sebenarnya bukan masalah kalau orang-orang tidak tahu di mana mereka tinggal. Sayangnya bagi mereka, aku tahu tempat tinggal mereka, yaitu di sekolah ini.

"Oh..." Pak Kiyo tidak heran lagi setelah mendengar caraku tahu.

"Dan mereka tidak akan pernah menyangka bahwa akan ada orang yang masuk sekolah selagi mereka di luar kota."

"Haha! Ya jelas lah kalau itu." Pak Kiyo tertawa, setuju dengan betapa efektif strategiku.

Kami sedang membahas keluarga pegawai yang tinggal di sekolah ini. Sekolah ini adalah sekolah negeri, itu artinya, tidak ada orang yang cukup rajin sampai rela menjadi satpam sepanjang malam. Tapi, sebagai gantinya, pihak sekolah mempersilahkan keluarga dari salah satu karyawan tinggal di dalam sekolah negeri tersebut. Ini adalah hal wajar bagi siapa pun yang sangat penasaran untuk mencari tahu alasan kenapa karyawan yang bertugas membersihkan sekolah selalu sudah mulai bersih-bersih sebelum murid-murid dan guru-guru tiba di sekolah.

Aku dan Pak Kiyo masuk ke sekolah dan menutup gerbang sekolah di belakang kami, tentunya. Setelah itu, kami baru masuk ke dalam.

Aku mengambil kunci untuk membuka setiap kelas di tempat di mana pihak sekolah menyembunyikannya; tentunya aku tahu di mana mereka menyembunyikan kunci-kuncinya tanpa Pak Kiyo memberi tahu aku.

"Pak Kiyo juga punya anak dan istri?" Tanyaku penasaran. Alasan apa yang dia beri tahukan kepada mereka?

"Iya, tapi aku sudah izin... tapi rasanya tetap dimarahi pulang nanti. Hahaha..." Jawabnya sambil tertawa kering.

"Pulanglah."

"Nggak mau." Jawabnya langsung.

"Kamu tidak perlu di sini."

"Tapi aku ingin."

"..." Sangat kekanak-kanakan sekali.

"..."

Kami menuju ke kelas terdekat dari depan. Semakin kami mendekat, suasana di udara semakin mencekik.

Aku membuka pintu kelas.

Hanya udara dingin dan kegelapan. Entah kenapa ini sangat cocok dengan apa yang akan kulakukan.

Aku masuk ke kelas tanpa menyalakan lampu.

Aku melihat sekitar di tengah kegelapan dengan hanya mengandalkan sinar bulan dan sinar kota di malam hari.

Ada banyak dekorasi untuk penilaian lomba kelas paling indah. Dari majalah dinding sampai hiasan terkecil di tembok... itu semua adalah kerja keras murid-murid kelas ini.

"..." Aku mendekati majalah dinding. Itu adalah tempat di mana dekorasi terbanyak ada.

Aku merobeknya. Aku mencabutnya. Aku menjatuhkannya. Aku menginjaknya. Aku menggumpalnya.

Apa yang kurasakan?

Aku menengok ke samping dan di situ, aku melihat lampion.

Aku menginjaknya. Aku menendangnya. Aku menekannya sampai ke lantai dengan sepatuku.

...Apa yang kurasakan?

Kelihatannya itu sudah cukup.

Masih ada 29 kelas lagi, aku tidak ingin buang-buang waktu dan tenaga setiap 1 kelas.

Aku mengeluarkan cat kaleng semprot dari kantong plastik yang kubawa.

Sejak aku keluar rumah, aku sudah memakai sarung tangan sampai sekarang. Itu jaga-jaga supaya aku tidak meninggalkan semacam jejak, seperti sidik jari? Cuman untuk jaga-jaga, ketika aku menyemprotkan cat, tidak tertinggal di tanganku.

'klang' 'klang' 'klang'

Aku mengocok kaleng. Suara menggema yang terbuat di tengah keheningan ini terdengar lebih mengerikan.

Aku menyemprotkannya ke bekas majalah dinding dan lampion.

'srrrtt' srrsshh' 'srrshtt'

Tidak ada bentuk dari semprotanku. Aku hanya menekan tombol di kaleng, kemudian menggerakkan tanganku ke sana kemari. Lagi pula, memangnya apa yang bisa aku gambar di tengah kegelapan ini?

Setelah menggerakkan tanganku yang memegang cat kaleng semprot ke sana sini cukup cepat, aku keluar ruangan karena rasanya tugasku sudah selesai di sini.

Di situ Pak Kiyo berdiri dekat pintu keluar, tapi aku mengabaikan keberadaannya.

Ke kelas selanjutnya...

Dari belakang, dengan diam, Pak Kiyo mengikutiku.

Sampai ke kelasku-

Dengan santainya, aku melakukan hal yang sama dengan kelas yang lain.

"...Kenapa?"

"Ha?" Aku tidak terlalu dengar gumaman Pak Kiyo karena aku sedang merusak kelasku sendiri.

"Bukannya kamu juga membantu membuat?" Pak Kiyo sedang mengatakan bahwa kerajinan yang sedang aku rusak ini sebenarnya juga hasil kerja kerasku.

"Iya. Memang betul."

Meskipun aku sibuk dengan Majelis Perwakilan Siswa, aku menyempatkan waktu untuk membantu mereka. Tapi pada dasarnya, aku cuman melakukan itu untuk meningkatkan kesan yang baik di mata mereka.

Apa aku merasa kecewa aku harus menghancurkan hasil kerja kerasku sendiri?

Iya.

Terus?

Terus apa?

Ya, cuman kecewa. Tidak lebih dari itu.

"Terus kenapa-?! ...Kenapa kamu hancurkan...?"

"?" Apa yang ditanyakan Pak Kiyo itu tidak masuk akal. "Pak Kiyo, kalau aku tidak menghancurkan kelasku sendiri, aku bisa dicurigai sebagai pelaku." Kuberikan jawaban yang masuk akal. Selagi aku menjelaskan ke Pak Kiyo, aku terus mengerjakan kegiatan ini.

"Bukan itu!!" Teriak Pak Kiyo.

Ketika Pak Kiyo berteriak, lampion berwarna merah yang terletak di atas meja dan di belakangku jatuh ke lantai.

'Klak.' Seketika lampionnya menyentuh lantai dengan keras, lampionnya tiba-tiba menyala.

Lampion tersebut menerangi kelas yang gelap gulita ini menjadi merah.

Rupanya teman kelasku lupa melepas kabel lampion, sehingga ketika jatuh tadi, sakelar lampionnya tertekan.

Meskipun baru saja terjadi kejadian aneh, Pak Kiyo dan aku terlalu sibuk untuk memedulikannya.

"..." Aku mengabaikan omelan Pak Kiyo.

"...Aku adalah guru. Seharusnya aku menghentikanmu." Pak Kiyo mengatakannya kepada dirinya sendiri seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.

"Ya hentikanlah aku." Kataku datar. Kata-kataku tidak mengandung arti apa pun. Aku cuman mengatakan sesuatu untuk memanjakan Pak Kiyo dengan sedikit iseng, karena aku tahu apa yang keluar dari mulutku tidak akan membuatnya menghentikan aku.

"Apa... apa nggak ada cara lain?" Pak Kiyo bertanya sambil menutup mulutnya dengan tangannya seolah akan muntah.

"Mungkin. Tapi ini cara yang paling efektif; efisien."

"!!!" Pak Kiyo terkejut begitu mendengar perkataanku.

Siapa yang tidak akan terkejut mendengar jawaban seperti itu?

Occam's Razor adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa seseorang sebaiknya tidak berasumsi lebih dari yang diperlukan. Bilamana terdapat banyak penjelasan untuk sebuah fenomena pilihlah versi yang paling sederhana. Singkatnya: jawaban tersimpel adalah jawaban yang paling benar.

Prinsip ini biasa digunakan oleh para dokter untuk mendiagnosis sebuah cidera ataupun penyakit. Namun, tentunya situasi yang kubuat sebagai contoh sangat berbeda dengan situasi yang sekarang.

Alasan yang Pak Kiyo sampaikan mungkin benar secara moral. Aku tidak akan menyangkalnya.

Lalu, kenapa aku harus mematuhi logikanya?

Sama seperti Pak Kiyo menolakku, aku juga memiliki hak untuk menolaknya.

Lagi pula, meskipun aku punya kekuatan untuk kembali ke masa lalu- bahkan, meskipun Tuhan sendiri yang memberikanku kesempatan untuk kembali ke masa lalu, aku akan tetap melakukan hal yang sama. Meskipun kesempatan itu satu kali, dua kali, tiga kali, sekarang dan selamanya, jawabanku tetap sama dan akan aku lakukan lagi.

Apa yang kurasakan?

Pada akhirnya aku tidak dapat merasakan apa pun.

Bagiku, yang kulakukan ini adalah cara yang paling mudah.

"Aku tahu aku nggak bisa apa-apa. Aku tahu aku nggak berhak mengatakan ini kepadamu..." Setiap kali Pak Kiyo mengucapkan monolognya, dia terlihat seperti menahan rasa sakit.

Aku hanya mengabaikannya dan terus merusak.

"Seharusnya aku nggak membiarkanmu melakukan ini."

"Jangan dilakukan dari awal kalau begitu." Aku benar-benar merasa muak. Aku merasa muak sampai aku harus menyela monolognya.

Dia ingin semua orang untuk berbaikan, jadi ketika semuanya berantakan, dia berusaha membetulkannya, tapi dengan begitu, itu membuka lubang di tempat lain.

Ahhh, betapa aku membenci orang dewasa.

Aku memutar badanku ke belakang dan menginjak hancur sebuah lampion berwarna merah.