webnovel

9 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 12 November. Pagi hari sampai tengah malam. ~~~Silvia Anggraini.

"Sungguhan...?" Aku tidak bisa menjelaskan seberapa gemetarannya suaraku ketika mendengar perkataan Pak Kiyo.

Tapi yang berbicara adalah seorang guru. Pak Kiyo tidak memiliki alasan untuk berbohong. Apalagi Pak Kiyo adalah guru wali kelasnya.

Nggak mungkin. Nggak mungkin.

Aku menolaknya terus dan terus.

"..."

Tapi ketika aku melihat Pak Kiyo menjawab mengangguk... aku ditelan kemarahan.

"Itu nggak mungkin!" Teriakku sambil menarik-narik kedua lengannya. "Buat apa dia melakukan itu?! Kenapa??!!"

Aku tahu sendiri aku sedang meneriaki seseorang yang lebih tua dariku dan seorang guru. Bagi seorang ketua OSIS, ini sangat buruk bagiku. Tapi, aku terlalu bingung untuk peduli.

"Iya." Jawab Pak Kiyo simpel, selanjutnya Pak Kiyo menjelaskan lebih mendetail, tapi pikiranku menjadi hampa dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

Hal berikutnya yang kuingat, adalah aku sedang berdiri di depan pintu kamarnya.

Anehnya, aku tidak tahu kenapa aku di sini, tapi di saat yang sama, aku tidak ingin berjalan pergi.

Aku pernah di sini sebelumnya. Terakhir kali aku di sini, kami membicarakan tentang adik-adikku dan janjinya untuk tidak melibatkan mereka. Tapi kali ini aku tidak bermaksud mengetuk pintunya sama sekali.

Ini sudah tengah malam, jadi harusnya dia sudah tidur. Kalau dia belum tidur, aku bisa bilang aku salah masuk kamar.

Aku menelan ludah.

Jantungku berdetak kencang.

Aku takut semua orang di rumah ini bisa mendengar detak jantungku.

Tenang, Silvia. Tenang... fuh...

Aku menaruh tanganku di dada untuk merasakan turunnya detak jantungku.

Aku cuman perlu masuk, cari, dan pergi. Hanya itu aja.

Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa ini kulakukan supaya dia tidak dituduh sebagai pelakunya.

Sebenarnya aku bisa bertanya langsung. Tapi... mungkin aku terlalu takut untuk mendengarnya langsung dari mulutnya... aku takut akan kemungkinan dia akan mengakuinya.

Aku menyentuh pegangan pintu kamarnya yang dingin. Aku tidak langsung mendobrak pintu. Aku menurunkan pegangan pintu terlebih dahulu.

'klik'

Pintunya tidak dikunci.

'krieek'

"!!!"

Suara pintu kamarnya menimbulkan suara derak. Jantungku hampir meledak karenanya.

"..." Aku berdiri diam di tempat dan tidak menimbulkan suara apa pun. Pandanganku terus ada di wujud manusia yang sedang terbaring di kasur. Setelah beberapa saat tidak ada respons darinya, aku menghela nafas dalam hati.

Aku masuk ke dalam kamarnya.

Ini pertama kalinya aku ada di dalam kamarnya.

Aku tidak menutup pintu sepenuhnya supaya tidak terdengar suara pintu menutup dan tidak terdengar suara derak lagi, dan misalnya aku perlu lari, aku tidak perlu membuat suara pintu terbuka lagi.

Tetap saja... kemungkinannya kecil. Misalnya aku pelakunya, aku nggak akan berani menyimpan nota. Akan langsung kubuang nota itu, atau dari awal aku akan menolak diberi nota.

Pikirku sambil berjalan masuk.

Aku melihat baik-baik selama 10 detik lagi ke wujudnya yang tertidur untuk memastikan apa dia terbangun dari suara langkah kakiku.

Kemudian aku berjalan pelan-pelan mendekati meja belajarnya.

Setelah aku berada di depan meja belajarnya, aku menyalakan senter di handphoneku.

"mmrrghh..." Dia mengeluarkan suara merintih.

"!"

Aku langsung menempelkan senter handphoneku ke tubuhku dan menutup mulutku dengan tangan, berharap dia tidak mendengar nafasku.

Kemudian aku menoleh ke belakang, ke wujud tidurnya... dia tidak terbangun, hanya berpindah posisi tidur.

"Hah..." Aku menghela nafas lega.

Aku menyalakan senter handphoneku kembali dan melihat benda-benda yang berada di atas meja belajar.

Laptop, buku pelajaran, lampu belajar, buku bacaan.

Hm? Laptop? Apa mungkin dia juga pelakunya website itu? ...Nggak mungkin.

Aku menggelengkan kepalaku untuk meyakinkan diriku sendiri.

Hanya karena dia punya laptop, itu bukan berarti dia adalah pelakunya. Kalau yang punya laptop adalah pelakunya, itu berarti hampir semua orang di sekolah bisa saja adalah pelakunya.

Kemudian, aku melanjutkan pencarianku. Aku mengangkat buku-buku dan menelusuri sepintas semua lembar di buku-bukunya, karena ada kemungkinan kertas notanya terselip di bawah buku atau di dalam lembar-lembar buku.

'srekk..'

Aku membuka laci di meja belajarnya... sama saja. Hanya ada buku dan alat tulis.

Kemudian mataku terpaku di tempat sampah yang berada di samping meja belajarnya.

Tidak mungkin, 'kan?

Aku berlutut di lantai dan mulai menggeledah isi tempat sampah.

Untungnya tidak ada hal-hal aneh dan menjijikkan di tempat sampahnya. Hanya sobekan kertas, kotoran penghapus, dan bolpoin yang habis.

Aku melihat sebuah kertas yang bergumpal. Memang sama-sama seperti kertas lainnya yang bergumpal, tapi teksturnya berbeda.

"hu....."

Tenang Silvia. Tenang. Mungkin ini nota dari jajan yang dia beli di supermarket. Iya, pasti itu.

"..."

Seberapa kali aku membaca. Seberapa terang cahaya yang kuperlukan. Isinya sama.

[Pylox warna hitam jumlah 5]

"Hah. Huf. Ha... Hah."

Dia berbohong.

"Hik. Uhh... huk." Air mengalir begitu saja ke lantai dan ke kertas itu.

Dia berbohong.

"Mmhh..mm..." Untung aku sempat menutup mulutku dengan kedua tanganku.

Aku bangkit dari lantai. Memasukkan isi tempat sampah kembali dengan terburu-buru. Dan keluar dari ruangan sambil menutup pintu. 'Blang!'

Aku lari ke kamarku.

Aku membuka dan menutup pintu kamarku; dan dengan seluruh usahaku untuk tidak membuat suara.

"Fuah..."

Aku terduduk dengan punggungku bersandar di pintu kamarku.

Salah. Nggak mungkin. Nggak mungkin dia pelakunya. Bukan dia. Dia nggak punya alasan. Dia bisa saja memang perlu lima cat kaleng untuk hiasan kelasnya atau entah buat apa... Iya, cuman kebetulan sama-sama jumlahnya lima. Bisa aja pelakunya pakai kaleng yang disimpan di kelas-kelas. Bisa aja gurunya salah hitung kaleng.

Aku teringat pada kaleng-kaleng yang dikumpulkan para guru yang dikira adalah cat kaleng semprot yang digunakan pelakunya. Pelakunya membuang cat kaleng semprot itu meskipun masih ada sisa atau tidak, bahkan itu pun dibuang di mana-mana, bukan di tempat sampah, tidak disembunyikannya sama sekali. Cat kaleng semprot itu ditemukan di kelas, di selokan, dan di depan sekolah.

Di nota, cat kaleng semprot bermerek sama dengan lima cat kaleng semprot yang ditemukan. Warnanya juga sama...

Nggak mungkin... Mungkin- mungkin orang lain memasukkan nota itu ke kantongnya atau entah gimana! Atau-! Atau dia menemukannya di jalan dan membawanya pulang! Iya! Pasti itu!

Aku menjerit dalam hati; berusaha membuat jawaban-jawaban lainnya.

Besok paginya... aku bisa menanyakan ke toko yang menjual cat kaleng itu. Ya. Itu dia. Itu yang akan kulakukan...

Mungkin, aku tidak ingin dia menjadi pelakunya.