webnovel

58 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 24 September. Sore hari sampai malam hari.

Setelah rapat dan perdebatan di grup chat berkali-kali, pandangan acara HUT sekolah mulai membentuk menjadi sesuatu yang semakin nyata, meskipun masih dalam bentuk tulisan.

Ruang multimedia menjadi sibuk setelah pulang sekolah. Itu sudah menjadi kebiasaan sekarang. Anggota Majelis Perwakilan Siswa segera masuk dan menduduki tempat yang biasanya mereka duduki.

Di atas mejaku ada kertas yang berdiri dengan tulisan "PERLENGKAPAN" menghadap ke depan, supaya anggota lain tahu apa tugasku. Ini idenya Silvia Anggraini. Jenius.

Jika mereka perlu apa-apa, mereka tidak perlu kebingungan mencari siapa yang bertugas apa. Hal ini bisa meningkatkan efisiensi dan menghindari percakapan canggung.

Perlengkapan adalah pekerjaanku di sini. Tapi sebenarnya, tugasku lebih mirip sekretariat. Aku lebih sering melapor ke sekretaris dan mengerjakan dokumen-dokumen, daripada tugas fisik seperti teman sekerjaku- anggota perlengkapan lainnya.

Bangku-bangku kami dijejer membentuk kotak. Jika aku melirik ke depan, ke kiri, ke kanan, aku bisa melihat semua orang sedang melakukan berbagai macam hal.

Ada yang mengerjakan dengan laptop yang mereka bawa. Ada yang jalan-jalan melihat pekerjaan orang lain, ada yang sedang bertanya untuk memastikan pekerjaannya, ada yang keluar ruangan untuk membeli konsumsi, dan guru pembimbing berjalan ke sana kemari.

"-tapi kalau gitu, jadinya lebih efisien, 'kan?" Jelasku sambil menunjuk ke layar laptop Silvia Anggraini dari belakang kursinya.

"Hm-mm. Ya, betul lebih gampang. Terima kasih." Silvia Anggraini menengok ke aku yang berdiri di belakang sambil tersenyum.

Mendengar jawaban puas dari Silvia Anggraini, aku tersenyum. "Sama-sama."

"!..." Tubuhnya membeku.

Begitu menyadari apa yang telah dia lakukan dan melihat senyum palsuku, dia langsung merengutkan keningnya dan pertahanannya dinaikkan. Silvia Anggraini melihatiku seolah aku telah berhasil menipunya.

Jadi kalau selain aku, dia tidak peduli ya...? Aku tetap memasang "Topeng"ku dan hanya tersenyum masam.

"Kalau gitu, aku kembali kerja dulu." Setelah memastikan dugaanku, aku mundur menjauhinya sesuai keinginannya.

Di saat yang sama aku selesai berkata, handphone Silvia Anggraini berdering.

"!" Dia langsung menengok ke arahku lagi dengan tatapan tajam. Dia tidak ingin aku ada di dekatnya ketika dia sedang membaca pesan di handphonenya.

"..." Aku tahu bahwa pertahanan Silvia Anggraini tidak akan turun, maka aku mengundurkan diri darinya lebih jauh lagi sambil tetap tersenyum masam.

Entah kebetulan atau tidak, setelah aku duduk kembali, handphoneku juga berdering.

"..." Aku membaca pesan yang ternyata dari ayahku.

Isinya seperti dugaanku. Karena aku sudah memberi tahu ayahku bahwa hari ini ada rapat dan aku akan pulang terlambat, maka hanya ada satu kemungkinan lain, yaitu:

[Malam ini jam 7. Makan malam bersama dengan keluarganya.] Meskipun sebuah pesan yang singkat dan simpel, aku bisa merasakan kesenangan dan kehebohan dari ayahku.

Aku tersenyum bukan dari "Topeng"ku, itu dari dalam diriku sendiri...

Sesaat, aku tidak sadar bahwa aku tersenyum. Aku segera membenahi senyumku dengan mengalihkan fokusku ke pekerjaan yang ada di depanku.

Plato pernah berkata, "Di sentuhan cinta, semua orang menjadi penyair." Aku tidak dapat memahami dan merasakan cinta, tapi aku kurang lebih setuju.

Mungkin seperti itulah ketika ayahku pertama kali bertemu dengan almarhum ibuku. Tentunya, aku belum lahir waktu itu. Hanya terkaanku saja.

Selama hidupku, aku menyaksikan bermacam-macam bentuk cinta yang orang-orang perlihatkan dan tunjukkan ke orang yang dicintainya itu. Bisa dibilang mereka menjadi gila. Aku masih tidak dapat memahami.

Sekarang ini, aku menyaksikan ayah kandungku sendiri, menghidupi kembali masa-masa cintanya.

Ketika aku pulang ke rumah tadi, ayahku tidak berada di rumah dan rupanya sudah berada di rumah makan yang telah ditentukan. Kata ayahku, dia sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan anak-anak dari keluarga itu. Jadi, anggota makan malam hari ini yang belum datang tinggal aku saja.

Mengetahui itu, aku segera ganti baju dan berangkat ke rumah makan yang sudah disepakati.

Ketika aku sampai di depan rumah makan, ayahku sedang menungguku di luar.

"Cepat ta, yang cepat..."

"..." Aku tersenyum masam ketika disambut seperti itu.

Aku bisa merasakan kegembiraan dari ayahku yang sedang berjalan di depanku, layaknya seorang anak kecil yang menarik-narik orang tuanya karena telah menemukan mainan yang keren.

Dia ingin segera masuk ke rumah makan dan mengenalkanku.

"Sabar, sabar. Agak capek aku hari ini..." Mungkin karena kebahagiaan ayahku tersalurkan ke anaknya, rasa capekku hilang seketika.

Terduduk seorang wanita yang sekitar seumuran ayahku, ini adalah wanita yang ayah maksudkan; di sampingnya terdapat seorang perempuan remaja; di samping perempuan remaja tersebut terdapat dua anak kecil yang berumuran sama, kembar, laki-laki dan perempuan.

Keluarga yang normal. Sebuah keluarga yang bisa ditemukan di seluruh bagian dunia mana pun.

"..."

Tetapi, bukan karena salah keluarga itu aku jadi terdiam. Melainkan karena satu orang saja, Silvia Anggraini, sedang duduk di situ. Silvia Anggraini adalah salah satu anggota keluarga tersebut.

"...!" Di wajah Silvia Anggraini tertampak guncangan luar biasa. Dia berhasil mengatupkan mulutnya tepat pada waktunya.

Kepalaku masih dingin. Aku masih bisa berpikir lurus. "Topeng"ku masih terpasang.

Dibandingkan Silvia Anggraini, aku sudah menduga ini akan terjadi.

Ketika aku mencari tahu informasi-informasi tentang Silvia Anggraini, ini sudah termasuk dalam salah satu kemungkinan.

Aku tidak ingin memercayai ini... Dari antara puluhan ribu orang lainnya di kota ini, kenapa harus dia? Apa ini semacam candaan dari Tuhan?

Setelah memastikan "Topeng"ku masih tetap terpasang, aku melanjutkan apa yang harus aku lakukan.

"Selamat malam, tante." Sapaku sambil mengulurkan tangan ke wanita yang ayahku sukai ini. Aku menyapanya dengan senyuman ramah.

"Ah, iya." Wanita itu menerima jabatan tanganku setelah terkejut sedikit.

Jadi, dia merasa khawatir...

Aku bisa melihat betapa terkejutnya dari matanya. Ayah, maupun Silvia tidak menyadarinya. Sekecil itulah perbedaannya.

Dia tidak menyangka aku akan menanggapinya dengan cepat dan positif. Kemungkinan, dia berpikiran bahwa aku akan membencinya atau aku berpikiran hal-hal negatif lainnya tentang dirinya.

Aku tidak heran. Karena seharusnya, aku sudah pernah memiliki ibu.

Apa yang dirasakan seorang anak normal pada situasi ini; aku tidak tahu. Yang aku tahu, adalah aku berbeda dari anak-anak lainnya.

Selanjutnya, aku mengulurkan tanganku ke Silvia Anggraini. "Selamat malam, namaku-"

"Aku sudah tahu." Cela Silvia dengan kasar.

"""...""" Keheningan kemudian jatuh karena ucapan kasar dari Silvia Anggraini.

Silvia Anggraini juga sepertinya sudah pulih dari kejutan tadi, meskipun dia kelihatan sedang berusaha menyembunyikan sisa-sisa kekhawatirannya.

Di wajah Silvia Anggraini terdapat sesuatu yang lebih keras daripada hari-hari sebelumnya. Tidak salah lagi. Pertahanannya sekarang ini mencapai puncaknya.

Kesan pertamaku yang buruk, membuatnya membayangkan hal-hal negatif lainnya yang belum pernah kuperbuat.

Di mata Silvia Anggraini, ini semua rencanaku. Tapi mana mungkin ini kusengaja?

Mungkin aku bisa membuat ayahku dan ibunya saling jatuh cinta jika aku menghabiskan beberapa bulan terakhir melakukan itu... Sayangnya, aku tidak punya alasan atau mendapat keuntungan dari itu.

Ini hanyalah lelucon dari Tuhan.

Aku tidak menyalahkan Silvia Anggraini jika dia berpikiran begitu, tapi tetap saja... ini bukan perbuatanku.

Sesuatu yang tidak kulakukan tidak akan menjadi benar. Namun, "benar" adalah subjektif. Dan "kesan" sangatlah penting bagiku. Keraguan Silvia Anggraini telah hilang dan akan selalu memandangku sebagai "jahat" 100%.

Ibunya menyikut Silvia Anggraini karena Silvia Anggraini tidak menerima jabatan tanganku. "kamu ngapain?" Bisik ibunya itu sambil masih menjaga senyumnya di depan kita.

Dari sudut pandang ibunya Silvia Anggraini, hari ini adalah hari pertama dan paling penting untuk memperkenalkan keluarga kita satu sama lain. Dan ketika melihat anaknya yang selama ini selalu sopan, tiba-tiba menjadi tidak sopan di depan keluarga calon suaminya... aku tidak heran ibunya menjadi marah dan malu.

"..." Tanganku masih kuulurkan, tidak memegang apa pun, hanya melayang di udara.

Di mata orang lain, kemarahan Silvia Anggraini tidak memiliki dasar. Dia tidak punya bukti.

Aku sudah menunjukkan ke mereka semua bahwa aku memiliki niat dan santun yang baik. Dan di sini, Silvia Anggraini hanya terlihat sebagai anak yang kurang ajar.

Terima kasih telah bersikap seperti ini, Silvia Anggraini. Dengan ini, posisiku telah ditetapkan sebagai anak yang baik dan sopan di lingkungan ini.

Aku bisa menduga apa yang Silvia Anggraini rasakan adalah kekacauan.

Musuh terbesarnya berada di depannya dan sedang mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya, kemudian ibu kandungnya menegurnya untuk menjabat tangan musuh tersebut.

Silvia Anggraini adalah anak yang baik dan seorang ketua OSIS, dia tahu etika sopan santun. Dia tahu apa yang dia lakukan itu adalah salah, apalagi di depan mata orang tuanya.

Apa dia akan mempermalukan ibunya dan keluarganya hanya karena perselisihannya yang tanpa dasar jelas?

Beberapa detik baru lewat setelah ibunya menegurnya, dan dia masih belum melakukan apa pun. Harga dirinya lebih besar dari yang kuduga.

"..." Sekarang ini, keningnya sedang mengerut dan matanya terpaku di tangan yang kuulurkan. Dia masih mempertimbangkan untuk menjabat tanganku.

Tetapi sebuah penyelamat yang tidak terduga muncul dari wujud seorang bapak yang sedang berdiri di sampingku, yaitu ayahku. "Ohhh, ternyata kalian sudah tahu." Ujarnya menghancurkan suasana canggung ini.

Aku tidak membencinya karena telah melakukan ini. Ini sudah cukup meninggalkan kesan pertama kepada kita semua. Justru, jika ayahku tidak menyela kita, suasana canggung tadi akan berlangsung lebih lama lagi karena aku berencana tetap mengulurkan tanganku sampai ada orang lain yang mengganggu.

Aku menggempal tanganku dan menarik kembali tanganku. Ayahku dari awal sudah mengambil tempat duduknya, jadi aku tidak punya pilihan lain dan duduk berhadapan dengan Silvia Anggraini.

"Um..." Silvia Anggraini mendengar komentar ayahku dan berusaha menjelaskan. "A-"

"Nggak, yah." Aku menyela Silvia Anggraini sebelum dirinya sempat mengatakan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Aku mencegahnya justru karena aku tidak tahu. Aku ingin hanya aku saja yang memiliki kendali atas semua situasi ini. Aku sudah muak kehilangan kendali.

"Ini baru pertama kalinya kita beneran ngomong-ngomong." Jelasku sambil tersenyum masam.

Dalam penjelasanku ini, aku menyatakan bahwa ini adalah pertama kalinya kita berdua bertemu.

Ini mengandung sebuah bahaya tersendiri, karena bisa saja Silvia Anggraini pernah menceritakan tentang diriku ke ibunya. Namun, ketika aku melihat reaksi ibunya sekilas terhadap sikap tidak sopan Silvia Anggraini, dia tidak mencurigaiku. Dan dilihat dari sifat Silvia Anggraini dan ketidakyakinannya tentang sifat asliku, dia tidak ingin membebani ibunya dengan masalah sepele begini dan dugaannya bisa saja salah.

Dengan bukti-bukti tersebut, aku langsung mengambil keputusan.

"Kita tahu dari Majelis itu, loh. Yang aku ceritain kemarin-kemarin. Aku dan dia kerja di situ." Aku menjelaskan alasan Silvia Anggraini kenapa dia berkata dia sudah tahu. Dengan begini, aku menghilangkan pertanyaan di benak ayahku dan ibunya, sekaligus mengendalikan prakarsanya Silvia Anggraini.

"Ohhh..." Ayahku menyuarakan kesadarannya. Dia mengingat tentang Majelis Perwakilan Siswa yang aku pernah ceritakan.

"Tapi beneran... aku betul-betul nggak nyangka kita bertemu kayak gini." Lanjutku terus sambil berpura-pura bodoh. "Ya, 'kan, ketua OSIS?"

Iya atau tidak. Jawab itu saja.

Tidak secara langsung, aku menampakkan "Wajah" asliku ke Silvia Anggraini. Selama ini, dia kebingungan kenapa aku berbohong kepada ayahku dan ibunya, kemudian ketika aku bertanya kepadanya, dia langsung tahu bahwa memang betul dugaannya bahwa aku selama ini memakai "Topeng".

Matanya terbuka lebar. Terkejut karena aku telah menampakkan sedikit sifat asliku.

Ikut bermain di kebohongan ini, atau melawanku? Sekarang jawabanmu bagaimana?

Dalam situasi ini, Silvia Anggraini bisa memilih dua pilihan. Mengikuti cerita kebohonganku atau menolaknya. Namun, konsekuensinya menolakku hanya akan memalukan keluarganya.

Silvia Anggraini bisa membocorkan sifat asliku ke mereka semua, tetapi itu tidak akan berguna.

Dari sudut pandang ibu Silvia Anggraini, aku adalah anak kandung dari pria yang dia sukai. Dia telah melihat secara langsung sopan santunku. Meskipun anaknya, Silvia Anggraini, memberitahunya bahwa aku adalah jahat, dia tidak akan memercayainya... lebih tepatnya, dia tidak diperbolehkan memercayai anaknya sendiri. Dengan mencintai ayahku, dia juga harus menerima diriku di kehidupannya.

Dan Silvia Anggraini; siapa orang yang paling dia hormati di sini jika bukan ibunya sendiri?

"...Iya... Benar." Kata Silvia Anggraini sambil memejamkan mata, seolah menelan kepahitan kekalahan.

"Tapi beneran, kebetulan banget!" Komentarku, berpura-pura kagum.

Di dalam hati, aku hanya menghela nafas capek.

Dari reaksi mereka, sepertinya mereka sudah tahu dari awal bahwa kami berdua berada di satu sekolah dan satu angkatan. Mereka pasti berpikir: "Wah, ini kebetulan yang luar biasa! Nikah, yuk!" Hah...

Silvia Anggraini yang menyadarinya juga, segera menengok ke ibunya. "Bu, kenapa nggak bilang apa-apa?"

"Ketahuan, ya?" Senyum ibunya iseng.

Silvia Anggraini hanya bisa menghela nafas, mendengar ibunya. Aku tersenyum masam, tapi juga menghela nafas dalam hati...

Aku paham kenapa ayahku dan ibunya bersikap seperti ini. Suasana di udara menjadi semakin lembut, dibandingkan ketika Silvia Anggraini menolak jabatan tanganku.

Kemudian, tanpa kusadari, lututku disentuh oleh tangan kecil. "Kakak, kakak." Panggil seorang anak kecil dari bawah meja. Itu adalah salah satu dari adik kembar Silvia Anggraini.

"Luki!" Silvia Anggraini tiba-tiba membentak ke salah satu kembar di bawah meja bernama Luki. "Jangan ganggu dia! Kembali ke sini!" Meskipun Silvia Anggraini mengatakannya dengan sopan, entah kenapa aku tetap bisa merasakan pikiran prasangka buruk darinya...

"Nggak apa kok, Silvia. Aku nggak terganggu." Kataku dengan tersenyum, meyakinkannya. Lebih tepatnya, yang kuyakinkan adalah orang tua kami. "Halo, Luki." Aku menengok ke bawah dan menyapanya.

"Halo, kak! Kakak, mau jadi kakakku?"

""Haha..."" Ayahku dan ibunya melirik ke arah lain sambil tertawa dengan kering dan terpaksa.

Bagi anak kecil, mungkin itu adalah pertanyaan yang sepele. Tetapi, bagi kami orang yang lebih dewasa, kami bisa mengartikan itu sebagai arti yang lain.

Aku mengabaikan manusia-manusia kecil ini pada awalnya. Aku tidak memberi mereka perhatian sama sekali untuk menunjukkan bahwa aku tidak tertarik kepada mereka. Aku membaca dulu bahwa ini adalah sebuah trik untuk membuat kucing menyukaimu. Tapi aku tidak ingat di mana aku membaca ini, itu berarti cuman omong kosong.

Alasannya aku menggunakan trik ini daripada menggunakan pengetahuan cara berteman anak-anak, karena aku tidak punya pengetahuan tersebut. Aku juga tidak punya pengalaman berteman dengan anak kecil sama sekali. Yang berarti, itu sangat ceroboh bagiku.

Aku sudah tahu tentang adik-adiknya Silvia Anggraini ketika aku menyelidikinya, tapi aku pasti mengesampingkan mereka karena aku mengira mereka tidak penting... Bukan. Bukan itu... Meskipun setelah aku sadar bahwa Silvia Anggraini bisa saja menjadi saudara tiriku, aku tetap mengabaikan manusia-manusia kecil ini. Padahal mereka penting... Aku pasti sangat terguncang ketika aku menyadari hal tersebut sampai aku membuat kesalahan seperti itu... Dalam hal ini, aku lumayan beruntung mereka menyukaiku hanya dengan menggunakan trik kucing tadi.

Aku tersenyum masam. "Ya. Aku mau jadi kakakmu."

"Hore! Wahaha! Dapet kakak baru!" Serunya ceria.

"Oh, hati-hati kepala..." Aku segera melindungi kepalanya sehingga tidak terbentur meja karena dia bergegas menaiki pangkuanku dengan tidak sabar.

"Mm!" Itu membuat kembarannya menjadi cemburu. Kembaran satunya turun dari kursi dan menghampiriku dari bawah meja juga. "Kak! Aku juga, aku juga!" Katanya sambil menggoyang-goyangkan lututku.

Aku tersenyum dan melakukan hal yang sama dengannya.

Aku bisa mengerti kenapa mereka tiba-tiba mulai mendekatiku. Kemungkinan, karena perbincangan dewasa ini membosankan mereka berdua, mereka lari ke aku untuk mengetahui lebih banyak tentangku. Jadi kurang lebih, alasannya adalah rasa ingin tahu anak kecil.

Tentunya, pada awalnya mereka berdua masih waswas karena aku adalah orang asing dan kakak mereka kelihatan tidak menyukaiku. Tapi begitu suasana menjadi lebih hangat dan mereka melihat aku tersenyum, mereka menjadi lebih tertarik kepadaku.

"Siapa nama kalian?" Aku tersenyum sekaligus berbohong. Aku sudah tahu nama mereka.

"Luka." Jawab yang kembar laki-laki.

"Luki." Jawab yang kembar perempuan, meskipun dia sudah tahu aku menyebut namanya tadi.

Di bawah suasana yang hangat dan bahagia ini, ada satu orang yang merengut sepanjang waktu.

"Umur." Kata Silvia Anggraini tiba-tiba.

"Ya?" Aku bertanya bodoh secara refleks.

"Kamu lahir tanggal berapa-"

""15 Oktober!"" Jawab kedua kembar bersaudara ini tiba-tiba seolah mengatakan bahwa ini adalah semacam permainan.

"Pinternya..." Silvia Anggraini tersenyum manis ke arah adik-adiknya yang sedang duduk di pangkuanku. "Ehem... Umurmu berapa?" Tanya Silvia Anggraini sekali lagi sambil berusaha mengabaikan adiknya.

Aku tahu maksud dari pertanyaan tersebut.

Itu tidak lain adalah pertanyaan untuk menentukan hierarki di tempat ini dan kemungkinan keluarga baru mendatang.

Aku dan Silvia Anggraini duduk di bangku kelas 11. Jadi, perbedaan hari kelahiran kami semestinya tidak lebih dari satu tahun.

Menentukan hierarki dengan melihat siapa yang lebih tua... Dengan perbedaan beberapa bulan saja, aku rasa itu sangat kekanak-kanakan. Apa gunanya ini?

Ketika Silvia Anggraini menanyakan begitu di depan orang tua kita, yang telah menyaksikan kita lahir, jalan keluar kita hilang. Kita berdua tidak bisa berbohong.

Meskipun dia sudah tahu dia hanya punya kesempatan 50/50, seolah permainan judi; Silvia Anggraini masih berani bertanya... Jadi aku memutuskan untuk menjawab sejujurnya saja.

"Februari." Jawabku. Aku memulainya dengan bulan bukan dengan umur, seolah mengatakan bahwa aku tahu maksud pertanyaan Silvia Anggraini.

"..." Silvia Anggraini langsung berwajah muram.

Tentunya ini perjudian bagi Silvia Anggraini, tapi tidak bagiku.

Itu sangat naif, Silvia Anggraini. Aku sudah mencari tahu tentangmu dalam jangkauan pencarianku. Makanya, aku sudah tahu dari awal aku akan menang. Tapi, karena kamu telah menyatakan perang, aku tidak akan sungkan mengalahkanmu.

Sejak aku pertama kali berpapasan dengan Silvia Anggraini sore itu, aku mencari tahu ulang lagi tentangnya. Dan kali ini, kemampuanku mencari tahu informasi lebih luas dan lebih dalam dari tahun sebelumnya.

Informasi-informasi yang kudapatkan tentangmu pada akhirnya bermanfaat. Itu juga salah satu alasan kenapa aku tidak terlalu terkejut ketika aku melihatmu sebagai anak dari wanita yang ayahku sukai.

Aku yang lahir di bulan Februari punya kesempatan menang 83%.

"Ta-tahun?" Silvia Anggraini lari dari kenyataan. Dia masih memegang ujung tali pengharapan, berharap ada kemungkinan aku lahir di tahun setelah dia lahir.

"2001." Jawabku langsung dengan senyuman datar.

Ekspresinya seolah menahan makanan yang tidak enak. Dan Silvia Anggraini kemudian memberikan jawaban yang sudah aku ketahui dari awal. "...Juni."

"Berarti Silvia lebih muda." Kata ayahku mengakhiri seluruh perdebatan di Silvia Anggraini.

"Hore! Jadi Kak Silvi juga punya kakak baru!" Sorak adik perempuan dengan riang.

Keriangan adiknya membuatnya harus menerima kenyataan ini. Silvia Anggraini hanya bisa menahan frustrasi.

Sedangkan yang lewat di pikiranku: Oh, panggilannya Silvi.

Perbedaan umur empat atau lima bulan hanyalah sepele. Bukan berarti karena aku lebih tua, Silvia Anggraini akan mulai memanggilku "kak".

Tapi aku bukan seorang sadis. Aku tidak merasa kenikmatan melihat orang tersiksa. Itu hanya akan membuat orang lain semakin membencimu.

"Terus, gimana kalian berdua bertemu?" Aku bertanya kepada ayahku dan ibunya untuk mengalihkan pembicaraan.

Menerima simpati dariku, harga dirinya semakin lebih tersakiti tanpa aku sadari.

"..." Wajahnya mengerut dan menatap tajam ke arahku.

Aku berpura-pura tidak tahu.

Mereka bercerita. Mereka tersenyum dan tertawa. Makanan yang kita pesan sudah dihidangkan. Tapi tidak sedetikpun aku dapat menikmati makanan dan percakapan-percakapan ini. Tentunya aku menyembunyikan ketidakpuasanku dengan "Topeng".

Itu juga sama di posisi Silvia Anggraini. Dia tidak dapat menikmati suasana ini. Dia masih tidak menurunkan pertahanannya sama sekali.

Anak-anak macam apa yang membodohi orang tuanya sendiri? Masa depan generasi ini sangat gelap. Ya, akulah salah satu faktornya.

Kemudian, kegilaan hari ini masih belum berakhir.

"-Apa kalian yakin nggak apa?" Tanya ayahku kepadaku dan Silvia Anggraini.

"'Yakin' apa?" Tanyaku kembali.

Meskipun aku telah memperhatikan semuanya yang ada di sekitarku, aku tidak menyangka pertanyaan ayahku sendiri. Aku bisa menerka apa yang dia maksudkan, tapi aku tetap tidak yakin...

"Ehem. Menikah lagi."

Aku sungguh tidak ingin mendengarnya, meskipun aku sudah bisa merasakannya bahwa itu akan tiba bagaimanapun juga. "..." Aku memegang sedotan di dalam gelas minumku dan mulai bermain-main dengan es batu.

Jika ayah dan ibunya menikah, maka aku dan Silvia Anggraini berserta kedua adik kembarnya akan menjadi saudara tiriku...

Lalu bagaimana dengan masa depanku?

Semuanya akan berubah. Jika saja Silvia Anggraini tidak menjadi saudara tiriku, mungkin aku bisa menerima ini sedikit lebih mudah. Pasti dia juga berpikiran sama denganku.

Rencanaku untuk masa depan sekarang benar-benar hancur.

Aku jadi ingat pada sebuah perkataan: "Manusia berencana, Tuhan tertawa."

Meskipun aku tidak ingin mereka menikah, aku bisa bilang apa? Jika memang aku berani menolak pernikahan mereka, alasan apa yang bisa kuberikan?

Beberapa alasan lintas di kepalaku.

Misalnya dengan membawa nama almarhum ibuku, mungkin aku bisa mengubah pikiran ayahku. Atau dengan mengganti personaku dengan anak yang tidak ingin ibu baru...

Tapi itu tidak akan konsisten dengan "Topeng" yang kupasang selama ini. Ayahku akan merasa aneh.

Lagi pula, wanita yang ayah sukai adalah ibu yang membesarkan Silvia Anggraini. Itu sudah cukup untuk membuatku memercayai wanita yang ayah sukai. Sebegitu tinggi aku memandang Silvia Anggraini.

Hanya saja, kalau Silvia Anggraini bukan anaknya...

"..." Aku menengok wajah Silvia Anggraini.

"..." Sudah kuduga, dia merengut sukar ke arahku. Tapi ini memang bukan salahku, oke?

Panjang-lebar, jika ayahku dan ibuku menikah, kita akan tinggal di bawah satu atap. Itu masuk akal. Maka dari itu, rumah siapa yang akan kita tinggali jika itu benar akan terjadi.

Wanita itu- ibunya Silvia Anggraini menyarankan kita coba mulai malam ini di rumah keluargaku. Artinya? Malam ini, kita semua akan coba tidur satu malam di atap yang sama.

Aku menyadari betapa anehnya kelancaran saran mereka. Mereka sudah merencanakan ini sebelumnya...

"Bentar." Aku menghentikan alur pembicaraan.

Mereka semua berpaling ke arahku.

"Kan kita masih murid di umur yang sama, rasanya tetap aneh dan masih belum sungguhan." Aku melirik ke Silvia Anggraini selagi aku menjelaskan.

Pernikahan ulang tidak sesimpel seperti yang ada di dunia fiksi. Akan muncul konflik yang banyak. Sebagian besar alasannya adalah lingkungan baru. Manusia membutuhkan waktu untuk membiasakan diri terhadap hal-hal baru. Dan baru hari ini kita berdua tahu bahwa kita bisa saja menjadi saudara tiri.

Mereka belum menikah. Kita belum menjadi satu keluarga sungguhan. Aku perlu menghentikan mereka berpikir bahwa ini normal. Aku yakin aku bisa menyuarakan argumen logis. Aku juga yakin Silvia Anggraini akan membantuku ini.

Aku melanjutkan penjelasanku. "Aku nggak tahu apa Silvia sudah diberi tahu ini sebelumnya, tapi kita berdua itu masih kayak orang asing. Terus tinggal di rumah yang sama itu... terlalu mendadak mungkin." Selama aku menuangkan sentimen ke dalam argumenku juga, mereka akan terpaksa untuk menjadi peduli terhadap perasaan korban perbuatan mereka. Topik keluarga seperti akan menikah lagi ini tidak bisa ditentukan dengan egois.

"Bu, bener katanya." Silvia Anggraini menjorokkan kepalanya ke ibunya.

""..."" Ayahku dan ibunya melihat satu sama lain.

"Kak, kakak," Panggil Luki yang sedang di pangkuan Silvia Anggraini. "Kita nggak bisa ketemu lagi...?"

Nadanya yang terdengar sedih langsung membuatku panik. "Bisa, bisa!" Kataku dengan cepat. Gawat. Aku tidak menyangka dia akan menggunakan cara sentimen yang sama tanpa sengaja. Manusia kecil ini sangat menyeramkan... "Nanti kita bisa main bareng kapan pun. Tapi kalau langsung tinggal bersama itu agak terlalu cepat..."

"Loh, berarti nggak jadi kakakku?" Kata kembar satunya, Luka, dengan sedikit marah dari pangkuan ibunya.

"Nggak, itu..." Aku melirik ke Silvia Anggraini. Suaraku tidak akan memiliki berat yang sama dibandingkan suara Silvia Anggraini, kakaknya.

Luka menyadari bahwa aku menatap Silvia Anggraini, jadi dia menatap ke arahnya juga. "Kak Silvi?"

"Kak Silvi..." Luki juga ikut-ikutan.

"Mmrgh..." Silvia Anggraini merintih di hadapan adik-adik kesayangannya.

Jangan goyah sekarang, Silvia Anggraini. Meskipun kamu sayang adikmu, apa kamu mau tinggal serumah bersamaku?

"...Oke, Bu. Nggak apa..." Silvia Anggraini kalah.

Seriusan?

Atas saran ibunya Silvia Anggraini, kami semua sepakat untuk malam ini akan tidur di rumah keluargaku.

"Hore!!" "Hore, di rumah baru bersama dengan kakak baru!"

"..." "..."

Adik-adik Silvia Anggraini berseru gembira, sedangkan aku dan Silvia Anggraini terdiam di tempat.

Masing-masing keluarga pulang ke rumahnya masing-masing terlebih dahulu. Aku dan ayahku menyiapkan tempat tidur dan sebagainya untuk mereka, sedangkan keluarga Anggraini mengambil beberapa pakaian untuk besok.

Kami sudah selesai menyiapkan untuk keluarga mereka. Ada satu ruangan kosong yang sama sekali tidak digunakan dan kami telah selesai membersihkannya dengan buru-buru.

"Biasa aja." Kataku berusaha menenangkan ayah.

"Gimana, nih...?" Saat ini, ayahku sedang berjalan ke sana kemari, kebingungan harus apa. Padahal semua sudah siap, tinggal keluarga Anggraini yang sedang dalam perjalanan kemari.

Aku tidak tahu apa sebenarnya yang dia bingungkan, jadi aku mengabaikannya.

"..." Aku sedang duduk di sofa sambil melihat pesan-pesan di handphoneku yang tak sempat kubaca karena makan malam tadi.

'Teng, tong.' Bel rumah dibunyikan.

"Duh!"

"..." Aku mengabaikan ayahku dan bangkit dari sofa. Aku berjalan ke pintu.

Mungkin karena aku sudah menerima takdir dan mulai merencanakan masa depan, aku dengan santainya membuka pintu.

"...Malam." Sapaku singkat ketika melihat mereka.

Sudah kuduga. Seberapa aku inginkan, kejadian tadi bukanlah mimpi.

"Malam, nak." Kata wanita itu.

"..." Aku mengangguk kembali. Aku membuka pintu lebar-lebar dan melangkah ke samping, mempersilahkan mereka masuk.

"..." Sebaliknya, Silvia Anggraini hanya diam saja dengan merengut.

Saat ini, aku sedang bermain-main bersama adik kembar, Luki dan Luka, di karpet di ruang tamu. Kedua orang tua kami sedang menjalankan perbincangan serius tentang masa depan di ruangan lain. Sedangkan Silvia Anggraini sedang menunjukkan kesukaran yang bahkan membuat adik-adiknya dan ibunya heran.

"Kak Silvi, ayo main bareng." Kata Luki memohon.

"..." Kata Silvia Anggraini sambil masih duduk di sofa. Silvia Anggraini sedang melihati kami sedang bermain dari kejauhan. Lebih tepatnya, dia sedang mengawasi adik-adiknya dari kemungkinan tindakan kejahatanku.

"Kenapa sih Kak Silvi hari ini? Biasanya kakak nggak kayak gini." Kedua adik kembar ini kebingungan karena ini adalah pertama kalinya mereka melihat kakak kandung mereka sangat tidak ceria sekali.

Di mata adik-adiknya, Silvia Anggraini yang selama ini selalu baik hati dan selalu bermain menyenangkan mereka, tiba-tiba menjadi tidak ingin bermain karena keberadaanku. Dan itulah yang lebih membingungkan mereka. Aku juga sama-sama ceria, baik hati, dan semestinya tidak jauh berbeda dari Silvia Anggraini.

"Maaf ya, kak..." Adik kembar satunya meminta maaf atas perbuatan kakaknya kepadaku.

"Nggak apa..." Aku mengelus kepalanya.

"Uh! Paling Kak Silvi ya lama-lama mau ikut main kok nanti!" Katanya sambil melirik sedih ke arah Silvia Anggraini.

Dari sudut pandang adik kembar ini, Silvia Anggraini marah karena aku telah merebut mereka. Mereka berpikir bahwa Silvia Anggraini cemburu denganku. Tindakan Silvia Anggraini itu bisa dibilang sangat kekanak-kanakan.

Aku tidak menyangka jika Silvia Anggraini menjadi marah, dia bersikap seperti anak-anak. Sekarang siapa yang adik dan kakak?

Saat ini Silvia Anggraini dalam pertahanan tingkat tinggi, tapi dengan pertahanannya itu, aku tidak menyangka dia akan bertindak sampai sejauh ini kepada adik-adiknya sendiri.

"..." Silvia Anggraini terdiam sambil merengut. Wajahnya dipenuhi dengan rasa bersalah ketika melihat adik-adiknya sedih.

Aku tahu kapan saatnya aku patut beranjak pergi.

Jika mood di suatu ruangan memburuk, yang dibutuhkan orang-orang adalah waktu dan ruang. Kepala mereka akan menjadi dingin kembali dan mereka bisa berpikir secara logis, bukan secara emosional lagi.

Di ruangan ini, faktor penganggunya adalah aku. Jika aku tetap di sini tanpa mengatakan apa pun, hubungan kekeluargaan antara Silvia Anggraini dengan adik-adiknya bisa dalam ancaman bahaya. Jadi, aku memutuskan untuk bertindak.

Aku bangkit berdiri dari karpet. "Aku mau ke supermarket. Kalian mau apa?"

"Aku es krim cokelat!" "Sama aku juga!"

"Oke." Aku sengaja tidak menawarkan sesuatu ke Silvia Anggraini karena itu akan merusak mood lagi jika Silvia Anggraini tidak menerima tawaranku. Dan kemungkinannya besar bahwa Silvia Anggraini akan menolak atau mengabaikanku.

Aku segera keluar dari ruang tamu. Tapi sebelum pergi ke supermarket, aku menuju ke kamarku dengan alasan mengambil dompet dan jaketku.

Kamarku adalah kamar milik remaja laki-laki pada umumnya. Ada meja belajar, ada kasur, ada jendela, ada rak buku.

"..." Setelah memastikan pintu terkunci lagi dan lampu masih mati, aku berjalan menuju sebuah buku di rak buku di tengah kegelapan. Aku mengambil sebuah buku dari rak buku.

Itu bukan buku istimewa atau buku kesukaanku, hanya buku bacaan biasa. Namun, tetap saja aku langsung mengambil dan membuka buku tersebut setelah masuk kamar.

Di tengah lembar-lembar buku yang kuambil, terapit sebuah kunci kecil.

Aku mengambil kunci tersebut dan menaruh bukunya kembali ke tempatnya di rak buku. Aku menggunakan kunci itu untuk membuka laci meja belajarku.

Ketika aku menarik laci untuk melihat isinya, itu justru membuat semacam suara logam gemerincing dari dalam laci.

"..." Aku menengok ke dalam laci.

Laci tersebut berisi obeng besar, obeng kecil, silet, pisau, pisau lipat, cutter, korek api, dan dua alat perekam suara lainnya.

Dari kantongku, aku mengambil alat perekam suara dan meletakkannya di atas meja.

Jenis alat perekam suara yang baru saja kuletakkan dan sepanjang hari aku bawa adalah yang paling kecil (berbentuk flashdisk) dari alat perekam lainnya yang kumiliki. Alat perekam suara ini juga memiliki fungsi mirip flashdisk, jadi hasil rekaman suaranya bisa dipindah ke laptop.

Sedangkan dua alat perekam suara yang di laciku adalah dua jenis yang berbeda lagi. Yang satu agak besar karena model lama. Yang satunya lagi adalah model baru, ukurannya paling besar, dan isi memorynya lebih besar dibandingkan dua alat perekam lainnya.

Aku lebih memilih alat perekam suara yang ukurannya paling kecil karena mudah disembunyikan di berbagai bagian tubuh atau pakaianku. Misalnya di balik dasi, saku, kantong, kaos kaki, tas, dompet, gelang, dan seterusnya. Yang diperlukan hanyalah beberapa imajinasi, latihan, dan pengalaman, dan itu bisa dilakukan dengan mudah. Dan meskipun ketahuan oleh orang lain, aku hanya perlu memberi alasan bahwa ini adalah sebuah flashdisk karena memang bentuknya seperti flashdisk.

Ada juga kemungkinan orang lain bisa mengenal bahwa benda yang kubawa ini adalah perekam suara meskipun bentuknya adalah flashdisk. Jadi, yang kulakukan untuk mencegahnya adalah membuat semacam casing karet. Jika perlu, akan kupasang semacam gantung kunci juga.

Aku sudah mencari tahu jenis alat perekam suara lainnya yang bentuknya jam tangan, bolpoin, kunci, kalung, dan lainnya, tapi sayangnya, aku hanyalah murid biasa (?). Aku tidak punya cukup uang untuk membeli barang-barang tersebut. Aku hanya bisa bersyukur dengan alat-alat perekam suara ini.

Selain perekam suara, sebenarnya aku juga ingin membeli kamera endoskop. Tapi penggunaannya terlalu spesifik, sehingga tidak terlalu diperlukan. Yang bisa kupikirkan sekarang, mungkin endoskop berguna untuk melihat ke dalam ruangan lewat celah pintu?

Kemudian, kamar ini aku ubah sedikit sehingga suara sulit keluar dari ruangan ini. Sebaliknya, itu bisa jadi menyusahkan bagiku. Jika ada orang lain yang masuk ke kamarku dan aku di luar kamar, ada kemungkinan aku tidak bisa menyadari keberadaannya.

Di atas meja juga terdapat sebuah laptop. Laptop inilah di mana aku menyimpan data-data foto, rekaman suara, dan video yang kudapat dari handphone.

Aku menancapkan alat perekam suara yang mirip flashdisk ke laptop.

Setelah mengatur untuk memindahkan semua data dari perekam suara menuju laptop, aku membiarkan laptop terus menyala karena masih dalam proses memindah.

Selagi menunggu proses memindah selesai, aku akan pergi membeli camilan di supermarket. Aku tidak lupa mematikan layar laptop.

"..." Aku membuka laci, kemudian mengambil pisau lipat dan alat perekam suara model lama.

Benda yang kuambil ini akan kugunakan dalam perjalanan ke supermarket.

Aku menutup laci dan menguncinya kembali. Kunci laci tersebut kuambil lagi. Kemudian aku berjalan ke rak buku lagi, tapi kali ini, aku tidak mengambil buku bacaan yang tadi.

Hari ini hari Senin... berarti di kamus bahasa Jerman.

Aku mengambil kamus bahasa Jerman dari rak buku dan menaruh kunci di antara lembar-lembar buku kamus tersebut. Aku menutup kamus dan menaruh buku kamus tersebut kembali ke tempatnya.

Aku menentukan penggantian tempat penyimpanan berdasarkan hari. Jika hari Rabu, maka di buku novel. Jika hari Kamis, maka di buku pelajaran, dan seterusnya. Maka, setiap pagi, setiap kali aku bangun tidur, aku memindah kunci di buku lain.

Selain penyimpanan berdasarkan hari, aku mendasarkan pemindahan tempat berdasarkan penggunaan. Jika hari Selasa aku mengambil kunci di buku novel, maka setelah menggunakan kuncinya, aku menyimpannya di buku KBBI. Kemudian, jika aku mengambil kuncinya lagi di buku KBBI (di hari yang sama), aku menyimpan kuncinya di buku dongeng. Kemudian, paginya setelah hari itu, aku mengambil kunci tersebut dari buku dongeng dan memindahnya berdasarkan hari itu (jika hari rabu, jadi ke buku novel).

Hal rumit itu tentunya menjadi sia-sia, jika seseorang membuka paksa atau menghancurkan laci mejaku... Memangnya itu akan terjadi? Siapa yang mau menghancurkan laci mejaku selain pencuri? Ini zaman modern. Manusia yang berakal sehat tidak akan langsung berusaha merusak laci mejaku ketika menyadari bahwa itu terkunci.

Setelah menyelesaikan apa yang harus kulakukan, aku mengambil jaket di dekat situ dan memakainya. Tentunya, aku tidak lupa alat perekam suara model lama yang kuambil dari dalam laci.

Aku mengambil alat perekam suara itu dari atas meja dan memasukkannya ke dalam saku di balik jaket bagian dalam; saku buatanku sendiri.

Aku keluar dari kamarku, menguncinya, dan keluar rumah.

Di kantong jaketku terdapat benda tajam yaitu, pisau lipat yang tadi kuambil. Aku menggenggamnya terus di dalam kantongku sepanjang perjalanan.

Aku membawanya tanpa alasan apa pun. Aku hanya merasa aku perlu membawanya saja, untuk jaga-jaga. Misalnya, jika ada orang yang berusaha menyerangku, aku bisa mengeluarkan pisau lipatku dan menahan diri. Benar. Hanya untuk kebetulan tertentu saja.

Setelah membayar barang-barang yang kuinginkan dan kuperlukan, aku melangkah keluar dari supermarket. Di tanganku tergantung kantong plastik putih. Isinya es krim untuk si kembar dan beberapa barang lainnya. Tidak terlalu berat.

Aku segera berjalan pulang. Jenis tempat yang aku tinggali adalah sebuah kota. Banyak orang dan kendaraan berlalu-lalang meskipun sudah sangat malam begini. Tidak ada orang waras yang akan berani melakukan kejahatan terang-terangan di kota ramai seperti ini, apalagi di zaman modern ini.

Tanpa kejadian menarik, aku terus melanjutkan perjalananku-

"Miu."

Aku berhenti melangkah secara refleks.

Aku menengok ke samping, ke arah suara itu.

Sepasang mata bersinar di tengah kegelapan. Itu tidak lain adalah seekor kucing di celah-celah antara dinding rumah.

Seekor kucing kecil mengeong ke arahku.

Aku sempat mengira suara itu adalah suara pintu berderit karena suara ngeongnya yang sangat kekanak-kanakan.

Aku yakin kucing itu mengeong ke aku, karena tidak ada orang di sekitarku. Lalu, apa alasan kucing itu memanggilku? Dilihat dari ukuran tubuhnya, dia masih pada tahap anak-anak. Kukira, kucing tidak akan lari dari manusia kalau sudah terbiasa dikelilingi manusia. Anak kucing ini masih belum punya banyak pengalaman dengan manusia, tapi dia berani mengeong ke arahku? Di mana ibunya? Mungkin sudah meninggal. Artinya, kucing yang masih dalam tahap pertumbuhan yang sedang kelaparan, mengeong ke aku untuk meminta makan, meskipun aku adalah manusia...

Sampai ada kucing yang mengeong ke aku... itu sangat ironis.

Aku menengok sekitar untuk terakhir kali.

Sebenarnya, ada jalan lain di mana aku bisa sampai ke rumah lebih cepat, tapi aku memang sengaja melewati tempat sepi dan sunyi yang jarang dilewati tanpa alasan tertentu (?).

Mungkin hari ini adalah hari terburuk seumur hidupku. Stres menumpuk dan terus menumpuk. Mungkin hari ini cocok untuk "itu"...

Setelah betul-betul memastikan tidak ada seorang pun di dekat sini, aku mengeluarkan pisau lipat dari kantongku dan berjalan mendekati kucing itu.

"Miu. Miu." Dia terus mengeong selagi aku terus mendekat.

Tidak ada seorang pun selain aku dan kucing kecil ini.

'cklik' suara sebuah pisau lipat terbuka.