webnovel

54 hari sebelum HUT sekolah. Jumat, 28 September. Siang hari.

Aku pulang dari sekolah dan sampai di rumah. Aku masuk rumah dengan diam-diam karena aku mendengar suara lumayan keras dari dalam rumah, meskipun aku sedang berdiri di depan rumah.

"Sudah tiga hari 'kan cukup, Bu!" Aku mendengar suara Silvia Anggraini di ruang tamu. Kedengarannya, mereka sedang membahas tentang berapa lama mereka telah menginap di rumah keluargaku.

"Iya, iya..."

"Terus kenapa malah tambah bawa banyak baju ke sini?!" Silvia Anggraini membentak kepada ibunya sendiri. Itu tidak seperti dirinya. Apa yang menyebabkannya sampai seperti ini?

"Silvi... Jangan teriak. Kalau ada yang dengar gimana? Nggak sopan." Ibunya kehilangan kata-kata.

"...Maaf, Bu."

"Luki dan Luka suka di sini." Ibunya masih berkata halus. Itu melipatgandakan rasa bersalah Silvia Anggraini. "Mereka punya kakak baru untuk diajak main. Mereka suka dia, dan kamu jadi nggak repot sedikit, 'kan?"

"Tapi, Bu..."

"Kenapa sih, Silvi sayang? Kamu nggak suka tinggal di sini?"

"Bukan itu..."

"Terus kenapa, Silvi? Kamu nggak suka sama ayahnya? Kalau gitu, kita bisa bicarakan. Atau kita nggak usah jadi nikah-"

"Nggak, nggak!" Silvia Anggraini segera memotong kata-kata ibunya. Silvia Anggraini tidak ingin kebahagiaan ibunya hancur. Silvia Anggraini merasa bersalah karena telah membuat ibunya berpikir seperti itu. "Nggak, Bu... Ya, itu... cuman... masih nggak nyaman..."

"Oh... maaf ya, Silvi. Aku maksa terus."

"Nggak kok, Bu. Bukan salahmu, Bu. Cuman aja, kita harus pulang..."

"Harus?"

"Iya, Bu."

"Silvi, kamu kenapa? Kamu tahu sendiri itu nggak sopan kalau kita ingin langsung pulang." Apa yang dikatakan itu benar. Meskipun itulah yang dirasakan Silvia Anggraini, dia seharusnya tidak mengatakannya dengan keras. Dia mengatakan seolah tempat ini menjijikkan.

Jika ayahku atau aku mendengar, kami bisa salah sangka bahwa Silvia Anggraini tidak menyukai kami atau tidak suka tinggal di sini. Daripada salah sangka, memang benar itu yang Silvia Anggraini rasakan. Ya, sebagian besar alasannya ada di aku.

"Bukan gitu, Bu!"

"Aku nggak pernah mengajarkanmu jadi nggak sopan begini."

"Bu..."

"Kenapa, Silvi? Kamu bisa beri tahu aku."

"...Pokoknya nggak bisa! Nggak bisa di sini!" Setelah Silvia Anggraini menjerit, aku mendengar suara langkah kaki mendekatiku.

"Silvi!" Ibunya memanggil Silvia Anggraini yang sedang melarikan diri keluar ruang tamu.

"Eh-" Silvia Anggraini langsung berhenti ketika melihatku.

"Halo..." Dihadapkan situasi ini, aku hanya bisa melambaikan tanganku dengan kaku.

"Ah- kamu... Mmm!" Silvia Anggraini melanjutkan larinya ke kamarnya setelah kemampuan berbicaranya hilang entah ke mana.

"...Ah, nak..." Ibunya yang mengejar Silvia Anggraini juga melihatku berdiri di luar ruang tamu.

"Maaf, Bu."

"Nggak apa, nak. Maaf kamu harus denger itu."

Kelihatannya dia bisa memahami betapa canggungnya bagiku ketika aku terpaksa mendengar ini. Apa aku harus pergi diam-diam? Apa aku harus bersikap tidak tahu? Apa aku harus menghentikan mereka?

Tentunya, bagiku tidak seperti itu. Aku mendengar suara lumayan keras dari luar rumah dan memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka dengan sengaja.

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi ayahku dan ibunya memutuskan sendiri untuk tetap tinggal di rumah keluargaku dengan alasan bahwa Luki dan Luka suka di sini. Mereka juga sudah membawa semua pakaian mereka ke sini.

Tidak mungkin aku bisa mengusir mereka sekarang...

Oh. Kelihatannya, mereka juga berencana melanjutkan percakapan pernikahan secara serius dengan kedua pihak keluarga setelah HUT sekolah selesai.