webnovel

33 hari sebelum HUT sekolah. Jumat, 19 Oktober. Siang hari.

Hari ini hari Jumat, jadi sekolah berakhir lebih siang.

Tidak ada rapat hari ini. Aku menggunakan kesempatan itu untuk berdiskusi bersama kelasku.

Kami membicarakan tentang dana, bahan, toko, dan siapa yang akan beli bahannya. Kami membicarakan tentang persiapan HUT. Terutama majalah dinding dan lampion, karena itu yang membutuhkan dana paling besar.

Salah satu teman sekelasku yang pemalu dan yang sering membantuku membersihkan kelas, kali ini sangat aktif dalam berdiskusi. Dia menawarkan berbagai macam bantuan... Ini mengherankanku. Aku berencana memikirkannya nanti malam.

Sebagai anak tunggal yang tinggal bersama ayahnya, aku tidak punya banyak waktu untuk pergi bermain-main karena aku harus merawat kebutuhan rumah tangga kami. Aku masih keluar bermain-main di waktu luang dan hari libur supaya ayahku tidak merasa bersalah.

Kali ini, karena aku tidak perlu merawat kebutuhan rumah tangga lagi dan aku punya waktu luang, aku memutuskan untuk keluar bermain bersama temanku untuk beberapa jam.

Awalnya, aku tidak berencana menyerahkan semua kerja rumah tangga ke ibunya Silvia Anggraini. Tapi sejak aku mengetahui dia sudah berhenti bekerja, aku menyerahkan semuanya kepadanya jika aku tidak ada di rumah (dengan izin terlebih dahulu tentunya).

Dan tidak. Aku tidak menyerahkan bagian mencuci pakaianku dan pakaian ayahku kepadanya. Karena itu adalah perilaku yang sopan jika tinggal seatap dengan orang yang lawan jenis.

Ketika aku mendengar bahwa keluarga Silvia Anggraini akan tinggal di rumahku, aku merenungkan banyak hal. Untung saja permasalahan mencuci pakaian terlintas di kepalaku. Jika tidak, aku tidak akan memikirkan solusi ataupun berhasil menanggapi situasinya dengan tepat.

Aku juga tidak lupa memberi tahu aku akan pulang lumayan telat lewat grup chat keluarga.

"..." Aku berjalan ke tempat parkir bersama Alex Mahes.

Kami Trio Sekawan berencana bermain-main ke beberapa tempat. Sayangnya, Calista Anita harus berada di rumah hari ini karena ada urusan keluarga.

Aku dan Alex Mahes harus mengubah rencana. Kami masih ingin bermain dan bercakap-cakap, jadi kami hanya berencana beli minuman es dan setelah itu pulang ke rumah masing-masing.

"..." Rasanya sudah lama aku berjalan ke tempat parkir hanya bersama Alex Mahes.

Hampir setiap saat aku bersama dengan Alex Mahes dan Calista Anita berjalan ke tempat parkir. Misalnya salah satu dari kita harus tinggal di kelas karena sesuatu, yang dua lainnya akan menemani. Pengecualiannya; misalnya aku tidak berjalan ke tempat parkir bersama Alex Mahes dan Calista Anita, itu karena aku sedang melakukan piketku. Aku ditinggal mereka karena aku sangat keras kepala sekali menyuruh mereka pulang. Rasanya tidak nyaman jika mereka menungguku selesai atau membantuku padahal bukan jadwal piket mereka.

Hal seperti ini membuatku teringat alasannya kami dipanggil Trio Sekawan.

"Mampir ke mana?" Alex Mahes bertanya tentang toko minuman es yang mana.

"Yang biasanya. Yang deket situ." Aku menjawabnya singkat.

Aku dan Alex Mahes mengayuh sepeda kami masing-masing ke toko yang dimaksud. Daripada toko, lebih tepatnya adalah kedai.

Aku tahu jadwal buka dan tutupnya. Jadi tanpa sedikit keraguan, aku menyarankan kedai tersebut ke Alex Mahes.

Setelah selesai membayarnya ke pemilik kedai, aku memberikan salah satu minuman ke Alex Mahes, kemudian duduk di samping Alex Mahes.

"..." Alex Mahes anehnya sangat diam. Dia tidak mengobrol denganku sama sekali. Tidak ada percakapan kecil di antara kita.

Aku memikirkan berbagai alasan di kepalaku.

Meskipun aku, Alex Mahes, dan Calista Anita disebut "Trio Sekawan" itu bukan berarti kita tidak bisa berfungsi jika salah satu dari kita menghilang. Beberapa kali, hanya akan ada aku dan Alex Mahes, karena orang tuanya Calista Anita saja yang selalu protektif.

Selagi aku berpikir, Alex Mahes tiba-tiba mengatakan sesuatu. "Eh, itu katanya nggak usah ikut Majelis lagi, 'kan?"

Aku bisa merasakan bahwa dia sedang mengalihkan perhatiannya sendiri. Dia kebingungan atau tidak ingin mengatakan apa yang ada di benaknya.

"Ya nggaklah." Aku menghibur Alex Mahes dengan mengikuti "mood" yang dimulai olehnya. "Nggak boleh. Nggak ada yang bilang gitu. Kalau misalnya nggak ada yang ikut Majelis, terus siapa yang ngerjakan HUT?"

"Iya, iya." Alex Mahes berusaha menenangkanku, meskipun aku hanya menegurnya biasa saja.

Hal-hal seperti ini; tindakannya yang berlebihan, senyuman di wajah kita, nada yang selalu ceria meskipun setiap kata adalah kasar, ini semua adalah keseharian antara dua sahabat.

Misalnya Alex Mahes bukanlah "sahabat" di posisi sosialku, aku tidak akan menghiburnya dan meluangkan banyak waktuku hanya bersama dengannya. Tapi karena Alex Mahes adalah "sahabat", aku bisa bertindak kasar karena aku tahu dia tidak akan tersinggung. Aku tahu dengan pasti bahwa sebanyak waktu apa pun yang aku luangkan untuk semakin mempererat hubungan persahabatan kita tidak akan pernah menjadi sia-sia.

"..."

"..."

Kami berdua berhenti di situ. Percakapan kami berjeda di sini.

Suasana langsung jadi canggung. Alasan utamanya karena aku tidak berusaha sama sekali untuk memulai percakapan.

Sebagian besar percakapan kami sehari-hari selalu dimulai dari aku. Akulah yang selama ini bekerja keras menciptakan suasana ceria.

"..." Karena aku tidak ingin percakapan kami terlihat berjeda, aku meminum minuman esku. Itu untuk memberi alasan buatan kenapa aku sedang tidak berbicara.

Aku sengaja tidak berusaha memulai percakapan sejak awal, karena aku ingin mendengar apa yang Alex Mahes katakan. Misalnya aku terus berusaha bercakap-cakap dengannya, Alex Mahes akan terpaksa terbawa "mood" dan mengikuti aku. Untungnya, aku berhasil mengetahui keinginan Alex Mahes untuk berbicara.

"Sh... hmm." Alex Mahes merintih dan menghembuskan nafas.

Itu tandanya Alex Mahes menguji coba "mood". Ini juga tandanya bagiku untuk menanyakan keadaannya.

"K'napa?"

"Nggak, cuman..." Alex Mahes berhenti lagi seolah dia lupa caranya berbicara. "Ah... Aku punya perasaan nggak enak... Nggak tahu aku. Gimana, ya? Aku bingung jelasinnya. Ah, kamu paham nggak ya nanti? Tapi nggak apa lah kalau kamu nggak ngerti."

"Hah?" Rasanya aku sedang diejek.

"Rasanya khawatir, tapi aku nggak tahu cara menjelasinnya." Alex Mahes membuat semacam gerakan tangan yang aneh untuk menjelaskan perasaannya.

Jadi ini yang dia ingin katakan?

"'Perasaan nggak enak', gimana?" Aku menanyakan maksudnya lebih dalam.

"Nggak tahu jelasinnya ke kamu! Makanya aku bingung!"

"..." Biasanya aku akan membuat candaan di sini untuk meringankan suasana, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.

"Rasanya HUT ini aneh."

"Oh, tentang sekolah?"

"Iya. Rasanya aneh. Rasanya HUT bakal jadi kacau. Baru kali ini aku ngerasa kayak gini."

"..." Aku berhenti di sini karena aku sangat kebingungan untuk mengatakan apa. Aku belum pernah dihadapkan dengan percakapan paranormal yang serius.

Apa benar ini perasaannya? Apa benar yang dia katakan? Apa aku yakin dia tidak sedang membuat semacam alasan?

Bisa saja Alex Mahes menyadari sesuatu yang tidak kuketahui karena dia bukan anggota Majelis Perwakilan Siswa.

"..." Aku harus memilih perkataanku dengan hati-hati.

Jika aku bercanda atau merendahkan perkataan Alex Mahes sedikitpun, aku bisa menyakiti perasaannya dan membuatnya trauma karena telah menuangkan perasaannya kepadaku. Aku ingin dianggap sebagai orang yang pantas sebagai tempat pencurahan perasaan. Akan ada banyak rahasia yang bisa kudapatkan.

"..." Jadi, aku memutuskan untuk menunggu Alex Mahes meluapkan kefrustrasiannya terhadap perasaan aneh dalam dirinya. Terkadang, memilih untuk tetap diam adalah pilihan yang tepat.

"...Mendingan nggak usah ikut Majelis lagi." Alex Mahes menengok ke aku dan berkata dengan serius.

"...Sori, Alex. Nggak bisa aku." Memang inilah kesimpulan yang kuambil sejak kebanyakan anggota Majelis Perwakilan Siswa meninggalkan tanggung jawab mereka. Rencanaku tidak bisa berjalan lancar dengan pasti jika aku bukan salah satu anggota Majelis Perwakilan Siswa. "Kalau aku nggak bantu Majelis, nanti HUT justru tambah parah. Sori juga. Nanti aku nggak bisa bantu buat mading sama lampion."

"...Ah... Nggak apa. Sori... tiba-tiba aku aneh."

Merasakan ringannya "mood", aku mengambil kesempatan ini. "Lain kali kalau bingung, dipikir dulu bingungnya apa."

"Hahah! Lah gimana loh! Memang bingung bener."

Setelah kami selesai menghabiskan minuman es kami, kami saling berpamitan dan pulang ke rumah kami masing-masing.