webnovel

Rencana Kejutan

Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya.

"Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.

Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.

***

Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan.

"Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas.

"Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas.

"Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan.

"Iya. Kamu sudah pesan konfirmasi kan mau ambil kuenya sekarang?"

"Udah, udah ah kapan jalannya nih. Nanti telat aku ke sekolah." Wijas menutup ponselnya. Sementara Adawiyah terkekeh membayangkan rencananya sukses nanti.

Wijas menyimpan ponselnya kembali, lalu ia menyalakan motornya. Sampai di area persawahan terlihat jalanan sempit hanya bisa dilalui oleh satu motor saja, 'Buset deh Adawiyah ngerjain nih anak. Masa lewat sini,' umpat Wijas. 'Demi Lily.'

Wijas kembali meneruskan perjalannya, di tengah jalan terlihat gerombolan bebek berjejer yang dikomandoi laki-laki paruh baya membawa alat penggiring. Wijas sangat kebingungan mana bisa ia melewati bebek tersebut.

"Bentar, saya giring dulu yah," ucap laki-laki paruh baya tersebut. Wijas hanya berdiam diri, mana mungkin dia kembali ke jalan raya motornya saja tidak bisa diputar balik dengan sempitnya jalan. Bebek tersebut melewati Wijas, namun tiba-tiba ponselnya berdering mengagetkannya sehingga ia bergerak seakan-akan menggertak bebek, bebek tersebut berterbangan seperti bola kusut, bahkan ada yang terbang ke arah Wijas, dan jatuh ke sawah. Wijas akhirnya seluruh badannya kotor dengan lumpur sawah yang terkena oleh bebek.

"A, maaf yah," ucap laki-laki tersebut dengan menahan tawa. Wijas dengan pasarah ia menganggukan kepala. Lalu kembali melanjutkan perjalannya, 'Adawiyah, lihat saja nanti!' Wijas kesal ia menjalankan motor dengan menambah kecepatan sampai ia melewati pepohonan yang banyak rantingnya hingga bajunya sobek-sobek. Namun, tidak mengurungkannya untuk terus berjalan.

Di komplek Asri Wijas memberhentikan motornya lalu ia merogoh ponsel dari saku celananya, kemudian melihat isi pesan mencari nomor rumah. Wijas celingak celinguk melihat nomor rumah satu persatu, dan ia menemukan rumah yang dituju, tertulis 'Cake Family'. Wijas mencari bel, tetapi ia tidak menemukannya. Akhirnya ia menggoyangkan kunci pagar, "Punten, punten, permisi!" Beberapa kali Wijas memanggil tidak ada orang sama sekali. Akhirnya Wijas nekat menaiki pagar, belum sampai menaikinya beberapa ibu-ibu berteriak ke arah Wijas dengan membawa alat tempur dapur.

"Maling …!" Ibu-ibu berlari ke arah Wijas. Wijas yang ketakutan ia hanya bisa berjongkok dan menutupi kepala dengan kedua tangannya.

"Eh ada apa ini?" Seorang ibu muda yang memarkirkan motornya tepat di kerumunan Wijas dan ibu-ibu.

"Ini mau maling ke rumah ibu?" jawab salah satu ibu-ibu.

"N-ggak, bu. Saya mau mengambil pesanan kue ulang tahun," elak Wijas.

"Bohong, masa mau mengambil pesanan kok naik pagar?" tuding salah satu ibu yang sudah paruh baya.

"Saya cuman ngecek soalnya saya sudah beberapa kali panggil nggak ada orang," ucap Wijas dengan posisi masih jongkok persis seperti maling yang tertangkap basah.

"Oh iya, maaf tadi saya keluar dulu. Namanya siapa?" tanya ibu muda tersebut.

"Wijas!" Wijas bengkit dari posisinya.

"Oh Wijas, iya betul dia pesan kue ulang tahun. Sudah ibu-ibu bubar kasian anaknya." Ibu tersebut membuka pagar, lalu mempersilakan Wijas masuk.

Akhirnya ibu-ibu tersebut membubarkan diri sambil ber-oh ria.

"Ibu, boleh saya ikut ke kamar mandi?" tanya Wijas.

"Oh, boleh, boleh. Kamar mandinya di sebelah sana lurus saja," jawabnya.

Wijas pergi ke kamar mandi, lalu membersihkan wajahnya yang penuh dengan lumpur. Wijas kembali dan menunggu ibu tersebut di teras yang sudah ada kursinya.

"Ini a kuenya." Ibu muda menyodorkan kue yang sudah dibungkus.

"Ini uangnya ya, bu. Terima kasih bu." Wijas menyerahkan uang.

"A, hati-hati kalau ke daerah sini lagi rawan maling, makanya aa disangka maling soalnya berantakan," ungkap ibu muda.

"Oh iya bu, maaf juga. Tadi saya lewat sawah dan saya … aduh bu maaf yah saya nggak bisa cerita soalnya panjang ceritanya, saya takut telat sekolah." Wijas terkekeh sambil menutup pagar.

"Iya, a. Loh kenapa jalan ke persawahan itu jalan belakang, aa jalan ke arah kiri ya tadi?" tanyanya.

"Iya," jawab Wijas singkat.

"Pantes aja, aa sekarang lewat jalur kanan saja itu jalan utama keluar dari komplek ini," jelasnya.

"Oh gitu. Terima kasih, bu." Wijas menyalakan mesin motor dan mulai berjalan. 'Sial, apes aku hari ini! untung aku bawa baju olah raga jadi ada gantinya.' Namun, Wijas tidak mengganti bajunya di rumah penjual kue tadi, ia sengaja akan membuat drama di kelas.

Wijas menyusuri jalan yang sesuai arahan ibu tadi, benar saja jalan arahnya kali ini sangat dekat. Wijas sampai di sekolah tepat jam setengah 6.45, Wijas merogoh ponselnya dan menelpon bernama Reza.

"Za, kamu di mana?"

Belum Reza menjawab ada seseorang menepuk pundak Wijas dari belakang.

"Ini sudah sampai." Reza berkata.

"Gimana semua aman?" tanya Wijas.

"Aman dong. Aku udah suruh temen sekelas buat beraksi." Reza bersemangat. "Tadi aku telpon kamu kenapa nggak diangkat?" lanjutnya.

"Oh gara-gara kamu tahu aku kena sial tadi. Tuh lihat bajuku kek gini!"

Reza terkekeh, ia sudah mengerti saudaranya ini mungkin kena sial tadi. Cuman dia hanya bisa menebak dengan penampilannya saja.

"Maaf deh."

"Kalau sudah aman oke deh. Aku mau ke Pak Doni dulu ya."

Reza menganggukan kepala dan berjalan ke arah kelas.

Wijas berencana menemui Pak Doni, ia segera ke arah ruangan guru, tak lama ia menjumpai Pak Doni. Pak Doni melihat Wijas kaget bukan kepalang mana bisa seorang siswa ke sekolah dengan berpakain yang tidak semestinya.

"Wijas, kamu habis tawuran? Sini kamu masuk!" Pak Doni menyuruh Wijas masuk ke dalam. Akhirnya Wijas menjelaskan asal muasal ia bisa berpenampilan seperti ini.

"Oke, sekali ini saja ya!" ucap Pak Doni.

"Jadi bapak setuju buat kasih kejutan buat Lily?" tanya Wijas.

"Hmmm." Pak Doni berdehem.

Wijas menyalami Pak Doni dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Bel berbunyi, Pak Doni bangkit dari duduknya.

"Bapak masuk dulu, nanti kamu nyusul 20 menit dari sekarang!" jelas Pak Doni.

Wijas tersenyum mendengar ucapan Pak Doni.

Para guru melihat Wijas mereka menggelengkan kepala, Wijas tersipu malu sejak tadi guru-guru memperhatikannya.

20 menit kemudian Wijas berjalan ke arah kelas, di depan pintu ia berkomat-kamit membaca doa berharap rencananya berhasil, ia mengetuk pintu lalu mengucapkan salam semua siswa melihat ke arah pintu.

Pak Doni berkata, "Masuk."

Pintu dibuka Wijas memperlihatkan raut mukanya yang menyedihkan dengan keadaan yang sangat berantakan, baju seragamnya compang-camping dan sangat kotor menambah kesan sungguhan.

"Kamu mau ngapain ke sini dengan baju sobek begini? Kamu habis tawuran? sini kamu ke depan." Pak Doni menarik tangan Wijas persis di depan siswa, Pak Doni menyilangkan tangannya di atas dada, ia beberapa kali menggelengkan kepalanya, mukanya memerah menahan amarah. Semua siswa terbelanga melihat Wijas sementara Lily melihatnya sangat terkejut hingga ia menutup mulut dengan kedua tangannya menggelengkan kepala. Pak Doni menunjuk Wijas sepertinya Pa Doni sudah tak tahan lagi, sementara Wijas yang masih dia seribu bahasa dan menatap tegak ke depan.

"Kamu ke sekolah dengan keadaan seperti ini lebih baik kamu enggak usah masuk ke sekolah, Wijas." Pak Doni terus menunjuk Wijas.

Wijas masih diam. Pak Doni menarik kerah baju Wijas, hingga tubuhnya terangkat, sementara Lily histeris melihat situasi seperti ini.

"Kamu nantangin saya?"

Lily yang sudah tidak tahan melihat kekasihnya akan menerima layangan tamparan, Lily bangkit dari duduknya dan memohon kepada Pak Doni.

"Pak, tolong jangan pak." Lily terisak.

"Apa kamu ikut-ikutan, mentang-mentang kalian ini berpacaran kamu bisa membela pacar kamu ini!" Pak Doni melepaskan tangannya kemudian mendorong tubuh Wijas hingga membentur papan tulis.

"Aw …" Wijas meringis.

Lily terdiam, lalu ia mendekati Wijas yang terkapar di lantai dengan diiringi tangisan. Pak Doni kembali mendekati Wijas, kali ini ia menarik tangannya hingga posisi setengah berdiri.

"Kamu ikut saya, kamu harus diberi pelajaran!" Pak Doni menyeret tubuh Wijas.

Sampi di luar kelas, "Wijas, kamu nggak bawa kue?" tanya Pak Doni.

"Oh iya, ada di meja bapak." Wijas berlari ke ruangan guru dan mengambil kue. Wijas menyalakan lilin.

"Ayo masuk," titah Pak Doni. Dan mereka masuk kelas dengan menyanyikan selamat ulang tahun.

***

Bersambung