Rutinitas pekerjaan yang sepi dan membosankan akhirnya telah selesai. Hari ini, tiba-tiba saja kantor kami kedatangan seorang klien yang berasal dari golongan orang kaya. Klien kami ini langsung memesan begitu banyak produk kami dan ia ingin semua pesanan miliknya telah siap sedia dalam waktu seminggu beserta surat-surat resminya. Pak Jefri tentu sangat senang setelah klien tersebut datang, dan kini beliau lebih sering tinggal di dalam kantor untuk membantu pekerjaan kami.
Banyak hal yang harus kami urus, dan saat mendekati deadline beberapa dari kami menangani surat-surat khusus yang membuat kami harus tinggal lebih lama di kantor atau biasa disebut dengan lembur kerja. Sialnya, aku termasuk salah satu yang harus lembur kerja. Tentu aku masih ingat cerita mengenai Bu Risma yang tewas mengenaskan di dalam kantor ini, lebih tepatnya di ruang pantry, dan akibat cerita itu aku merasa tak yakin untuk menjalankan lembur.
Kalau saja tidak ada Bu Lilis dan Pak Rusdi yang juga kedapatan pekerjaan yang sama denganku, mungkin aku akan menolak mentah-mentah perintah tersebut, dan tanpa disangka Rivaldi menawarkan diri untuk ikut lembur dan meringankan pekerjaan kami. Dia berkata pekerjaan miliknya hampir selesai, dan dia tidak tega untuk melihat rekan yang belum lama bergabung seperti dirinya harus lembur. Aku jadi merasa lebih aman dan tenang karena sekarang ada 3 orang yang akan bersamaku di kantor sampai jam sembilan malam, sebab kami harus sudah pulang sebelum jam sepuluh.
Kami terus bekerja seharian, hingga tanpa sadar jam menunjukkan jam lima sore, rekan-rekan kami yang tidak ikut lembur berpamitan lebih dulu, sementara Aku, Bu Lilis, Rivaldi, dan yang paling senior di antara kami Pak Rusdi harus tetap tinggal untuk menyelesaikan pekerjaan yang semakin mendekati deadline. Masuk waktu maghrib, Pak Rusdi mengajak kami semua untuk beribadah, selepas beribadah Bu Lilis menawarkan kami untuk membeli kopi sebelum lanjut bekerja lagi. Rivaldi dengan senang hati menawarkan dirinya untuk ikut Bu Lilis membeli minum di lantai dasar, hingga tersisalah aku dan Pak Rusdi berdua di kantor yang terletak pada ketinggian 47 lantai.
Pak Rusdi mengajakku untuk kembali lanjut bekerja agar kami bisa selesai lebih dulu, dan nantinya bisa membantu pekerjaan Bu Lilis dan Rivaldi. Aku setuju atas usulnya, karena bagaimanapun sekarang kami harus lebih bekerja sama agar pekerjaan ini menjadi lebih cepat selesai, dan juga sembari menunggu kopi yang akan dibawakan Bu Lilis dan Rivaldi. Aku langsung kembali ke mejaku yang ada di pojok kiri ruangan dan aku bisa melihat jelas ruang Pak Jefri yang sudah gelap karena memakai kaca bioskop sehingga cahaya tidak tertembus, ruang meeting yang lampu ruangannya sudah dimatikan namun masih sedikit menerima cahaya akibat lampu dari ruang kerja kami, dan juga lorong pintu masuk.
Sementara Pak Rusdi duduk tak jauh dariku, dan menurut arah mejanya dia bisa melihat hanya ke arahku dan ke arah ruangan Boss kami. Aku terus fokus berkutat pada komputer dan dokumen-dokumenku, hingga tak sadar waktu tiba-tiba memasuki jam 7 malam, aku melirik ke kertas-kertas pekerjaanku di meja yang masih lebih dari setengah dan memutuskan mengambil nafas sejenak. Aku meregangkan otot-ototku, dan disaat itulah aku melihat sesuatu yang cukup familiar.
Sesosok wanita berpakaian serba hitam tengah berdiri di dalam ruang meeting, aku tak bisa melihat wajahnya karena cahaya redup yang ada di ruang itu, tapi aku bisa melihat dengan jelas tangannya yang pucat dan kurus menyentuh dinding kaca ruang meeting, bahkan ada cairan hitam aneh yang mengalir di tangan perempuan tersebut. Aku termangu dan hanya bisa diam melihat pemandangan mengerikan itu. Aku pikir, sosok menyeramkan di kantor ini hanya akan muncul jam sepuluh malam, ternyata dia muncul lebih dini dari perkiraan.
Pak Rusdi yang melihatku terdiam menatap ruang meeting di belakangnya langsung tersadar bahwa aku melihat sesuatu yang mengerikan. Ia dengan sigap berdiri dan menghampiri mejaku, berusaha membuatku kembali tersadar dan mengalihkan pandanganku. Ia menampar pipiku beberapa kali, dan setelah itu barulah aku bisa mendapatkan kesadaran dan kendali atas tubuhku lagi.
"Kamu kenapa? Gak apa-apa kan?" Tanya Pak Rusdi
"Aduh pak, maaf pak. Tapi, di ruang meeting tadi saya lihat..." Ucapanku dipotong oleh Pak Rusdi yang langsung menyuruhku diam dengan menempelkan jarinya di mulutnya.
"Sshh, jangan cerita sekarang. Sekarang mendingan kamu fokus kerja aja, jangan noleh kemana-mana." Kata Pak Rusdi dengan suara pelan. Tapi, pikiranku masih terganggu dengan sosok mengerikan tersebut, dan kenapa Bu Lilis dan Rivaldi sangat lama membeli kopinya?
Aku meraih ponselku yang kuletakkan di meja kerjaku, dan mengirim pesan kepada Rivaldi.
"Cuy, lu dimana? Lama banget." Tulisku.
"Sorry, rame tadi, nih baru sampe lantai dasar gedung." Balasnya cepat.
Mendapat balasan seperti itu, aku bernafas lega, setidaknya aku butuh minum untuk menenangkan diriku, namun aku terlalu takut untuk ke pantry. Sesuai balasan pesan dari Rivaldi tadi, tak lama kemudian Bu Lilis dan Rivaldi muncul di lorong pintu masuk, membawa empat gelas kopi dan sebungkus plastik berisi cemilan untuk kami berempat.
"Maaf ya lama, tadi rame banget soalnya, sama kita bingung mau beli cemilan apa buat dimakan kalau iseng." Kata Bu Lilis dengan gaya bicara keibuan.
"Lah, lu kenapa?" Kata Rivaldi melihat wajahku yang pucat.
"Udah, jangan ditanya-tanya dulu, nanti aja selesai lembur. Nih buruan minum dulu biar tenang sedikit." Pak Rusdi menggantikanku menjawab pertanyaan Rivaldi sebelum aku sempat mengatakan apapun kepada Rivaldi.
Aku mengambil gelas kopi berukuran medium tersebut dan langsung meminumnya. Aku merasa jauh lebih tenang sekarang dan menjadi kembali berenergi. Bu Lilis menaruh beberapa makanan di mejaku, dia mengerti aku sedang lemas sekali dan ingin membantu untuk mengambil makanan agar aku tidak perlu repot berjalan. Aku sangat berterima kasih atas tindakannya tersebut.
*TOK TOK!
Suara ketukan di kaca jendela terdengar dari ruang boss kami, namun karena tak ada pencahayaan, kami tidak bisa melihat ada apa di dalamnya. Rivaldi yang penasaran berusaha mendekat, saat tiba-tiba ketukan yang lebih kuat mendarat di dinding kaca tersebut. Kami semua kaget dan berdiam diri melihat kejadian tersebut, Pak Rusdi yang paling berpengalaman langsung menyuruh kami untuk tidak menghiraukan hal tersebut dan fokus untuk bekerja saja.
Kami semua setuju walaupun ekspresi tegang dan takut terlihat jelas di wajah kami semua, Bu Lilis dan Rivaldi duduk di meja mereka masing-masing tanpa berkata sepatah katapun. Suasana malam ini jadi menegangkan padahal waktu bahkan belum menunjukkan jam delapan malam. Gangguan yang kami alami terjadi lebih cepat dari yang kami perkirakan sebelumnya.
Saat aku pikir gangguan telah usai, dan kami sudah lebih tenang dan lebih fokus ke pekerjaan kami, gangguan itu muncul kembali, dan kali ini dari pojok sebelah kanan ruangan, tepat di sebelah kanan dari ruang meeting, sekaligus posisi terdekat dari meja kerja Rivaldi.
Gangguan itu berupa tangisan pilu seorang wanita, suaranya serak bagaikan suara seorang yang kehabisan nafas karena terlalu lama menangis. Kami menengok pelan-pelan ke arah sumber suara, dan terlihat oleh mata kepala kami semua, sosok yang sangat jelas seorang wanita dengan kulit keriput, dan mata menonjol keluar yang mengerikan.
Sosok itu memakai baju kerja formal berwarna serba hitam, di lehernya terdapat bekas jeratan tali yang sangat ketara, dan kepalanya dalam posisi tergantung mengerikan kearah kiri, kulitnya sangat pucat, dan menimbulkan bau yang sangat tidak sedap, cairan hitam keluar dari hidungnya dan menetes ke lantai, cairan tersebut juga mengalir di tangan dan leher sosok tersebut. Kami berempat terdiam beberapa saat, dan tanpa aba-aba, kami membereskan meja kerja kami dan segera berlarian keluar ruangan. Suara tawa cekikikan terdengar dengan jelas sembari kami berlari keluar dan memasuki lift untuk turun.
Pekerjaan kami yang belum selesai terpaksa harus ditunda keesokan harinya, gangguan tersebut jelas menandakan ketidak sukaan sosok wanita berbaju hitam itu pada kehadiran kami. Kami hanya bisa berdiam diri di dalam lift, tak ada seorangpun yang mampu mengeluarkan suara, diliputi rasa tegang kami berlari ke kendaraan kami masing-masing dan segera mengarahkan kendaraan kami menuju rumah masing-masing. Nasib sial nampaknya terus menyelimutiku hari ini, entah karena rasa takut dan ngeri yang masih hinggap di diriku, atau murni kecerobohanku, aku hampir saja menabrak mobil yang tengah berjalan pelan, aku melakukan rem mendadak dan hampir membahayakan pengendara di belakangku, sepertinya keberuntunganku hari ini masih tersisa sedikit karena aku terhindar kecelakaan tersebut, dan akhirnya berhasil sampai rumah dengan kondisi sangat lelah.