webnovel

Metamorfosa Cinta

Mereka telah membuat janji untuk bertemu dan menjalin hubungan yang lebih serius. Mereka begitu yakin bahwa 2 tahun itu adalah waktu yang sangat singkat. Mereka akan menjaga hati mereka untuk memenuhi janji itu. Jika salah satu mengingkari, mereka berjanji tidak akan menanyakan alasan apapun dari salah satu yang ingkar. Janji antar dua sejoli, Namira dan Jaelani. Dua tahun berlalu begitu cepat. Janji dari dua tahun yang lalu itu kini adalah waktunya. Pertemuan di tempat awal mereka bertemu dulu. Namun, salah satu telah mengingkari janji. Namira tidak datang saat itu, meninggalkan Jaelani yang menunggu dalam kesendirian. Entah siapa yang salah. Yang jelas, seterusnya mereka akan hidup dalam kesalahpahaman. Tak ada yang mau minta maaf lebih dulu. Jaelani juga tak berani menanyakan kenapa Namira tidak datang memenuhi janji. Mereka sudah bahagia dengan kehidupan yang mereka pilih masing-masing. Namun, pertemuan kembali setelah beberapa tahun membuat perasaan cinta mereka kembali membuncah. Di saat itu juga sifat buaya Jaelani muncul. Dia ingin memiliki lagi Namira, tanpa menyakiti istrinya? Dapatkan Kang Jae menentukan pilihan yang tepat?

Mijun_123 · realistisch
Zu wenig Bewertungen
292 Chs

Pertemuan Namira dan Yoona

"Es terooossss!!" Tiba-tiba aku mendengar suara menyeramkan seperti panggilan kematian.

Aku menoleh ke belakang dan terhenyak karena sudah ada Dewi Kematian di sana. Er ... maksudku istriku. Percayalah! Dia itu lebih menyeramkan dari Dewi Kematian. Apalagi pada saat mengandung anak-anakku waktu itu.

Kalian percaya tidak? Yoona memperlakukanku seperti budaknya. Atas dalih menjadi suami yang siaga, aku tentu saja menuruti apa pun dan ke mana pun Yoona akan pergi. Tapi aku senang melakukannya, meski permintaan Yoona sering aneh-aneh.

Pernah saat mengandung anak pertamaku, Yoona mengajakku jauh-jauh pergi ke Ngujang, Tulung Agung. Salah satu daerah di Jawa Timur. Kalian tahu kita melakukan apa di sana? Konyol. Yoona hanya ingin memegang monyet di kuburan Ngujang, setelah itu pulang. Baiklah, istriku itu memang agak sedikit kurang waras.

Menurut mitos monyet-monyet yang berada di Ngujang itu adalah monyet pesugihan. Seram, bukan? Tapi istriku jauh-jauh pergi ke sana hanya untuk memenuhi keinginannya, menepuk kepala salah satu monyet di sana.

Aneh-aneh saja ngidamnya istriku itu. Ya, syukurlah bayi pertama kami lahirnya cantik, tidak seperti monyet yang disentuh istriku waktu itu. Sial! Jika mengingatnya, aku sangat parno waktu itu. Bayangkan saja! Kami siang-siang ke kuburan yang terkenal keramat, hanya untuk mencari monyet. Kalau monyet saja di Ragunan juga banyak. Tapi, Yoona maunya monyet pesugihan itu.

"Oii ... melamun saja! Ini gendong Jeje!" Yoona mengagetkanku dari kegiatan melamun. Dia menyerahkan putra bungsuku yang sudah tampan memakai kaus kuning dipadukan celana pendek selutut. Sumpah! Imut sekali anakku ini. Bibit unggul memang tidak pernah mengecewakan hasilnya.

Iyalah, Jia sangat cantik menurun dari kecantikan Yoona. Kecantikan khas ras Asia Timur. Nah, si Jeje ini malah tampannya tidak ketulungan. Mata Jeje segaris nurun dari Yoona. Kulit Jeje putih bersih seperti Yoona. Hidungnya mancung, bibirnya terlihat mungil. Err ... ini juga menurun Yoona juga kurasa.

Tidak tahu kenapa, gen dari ibu mereka yang lebih mendominasi. Jeje malah lebih mirip Yoona dari pada Jia, meski Jeje laki-laki.

Tunggu! Aku pernah mendengar jika anak perempuan itu cenderung lebih mirip ayah mereka. Tapi, kenapa itu tidak berlaku pada keluargaku ya? Kedua anakku lebih mirip ibunya semua. Jadi, heran. Apa genku seburuk itu, ya? Sampai kedua anakku tidak ada yang mirip diriku?

Ah, tidak perlu resah. Jeje kan memang baru berusia tiga bulan. Jika besar nanti, aku yakin Jeje akan sangat mirip denganku. Benar, aku sungguh yakin.

Setelah membayar es, Yoona menggandeng Jia menuju ke taman bermain lagi. Aku masih menggendong Jeje di lengan, menghadapkannya di depan. Umur segini sangat rawan. Jeje baru bisa menyangga lehernya, jadi aku menempelkan kepala anakku di dada bidangku agar lehernya nyaman.

Aku berjalan ke kursi yang berada di bawah pohon. Istirahat dulu ah, pegal dari pagi mengajak bermain Jia. Aku meletakkan Jeje di pangkuanku. Lehernya masih kusangga dengan lengan, karena Jeje belum bisa mengangangkat kepalanya dengan tegak.

Jeje mulai tidak nyaman di pangkuanku. Aku menidurkan bayiku ini di lengan. Aku dapat melihat pipinya yang tumpah ke mana-mana karena anakku yang kedua ini cukup gemuk. Bahkan, matanua terlihat hanya segaris saat ini. Wajah Jeje seolah dipenuhi pipi. Rasanya aku ingin mengigit pipi anakku sendiri saking gemasnya.

Tentu saja tidak sampai kulakukan. Bisa dihajar Yoona aku nanti karena tidak becus merawat anak.

Aku ingin sekali menghisap sebatang rokok, tapi Jeje sedang berada di dekatku saat ini. Jadi, aku menahan hasrat untuk merokok. Jauh di tengah taman sana, aku melihat Yoona dan Jia yang tengah tertawa lepas. Bahagiaku sangat sederhana. Melihat mereka saja sudah membuatku bahagia saat ini.

Setelah beberapa saat, aku melihat sosok bayangan wanita yang berjalan sambil mendorong kereta bayi. Aku mengenal benar sosok itu. Meski dari jarak jauh, aku masih dapat mengenalinya.

Untuk apa dia di sini? Apa sebenarnya dia memang tinggal di sekitaran sini? Jika memang iya, habislah aku yang tidak akan pernah move on dari wanita itu. Benar, dia adalah Namira, cinta pertamaku. Seseorang yang coba aku lupakan, tapi sungguh aku tidak mampu.

Namira terlihat mendorong kereta bayinya beberapa meter dari Yoona berada. Sial! Apa mereka benar-benar akan dipertemukan?

Bersambung ....