webnovel

1.

"Buka pintunya Bea!" teriak sang ibu yang telah beberapa kali mengetuk pintu.

Bea yang sedang merokok sama sekali tidak memperdulikan suara bising di luar.

"Bea," panggil sang ibu dengan suara keras sambil mendobrak-dobrak benda berbahan kayu itu.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menyuruh Sebastian untuk mendobrak pintu ini.

Gadis dengan rambut pirang serta hidung mancung itu berdecak. Ia tertawa dalam hatinya. Karena ia benar-benar tidak mau memikirkan pintu kamarnya yang akan rusak.

"Sebastian! cepat dobrak pintu kamar Bea!" teriak wanita dengan rambut di cepol itu.

Pria dengan pipi tembem penuh rambut itu berlari dari dapur dan segera mendobrak pintu kamar berwarna coklat putih itu dengan keras.

Brak

Pintu terbuka dengan kasar. Sebastian langsung pergi karena perintah sang majikan.

"Ya Tuhan, bau apa ini?" tanya wanita dengan make up lembut itu. Hidungnya mengendus hingga sampai melihat anak perempuannya itu merokok dengan santai.

"Oh Tuhan! apa yang kau lakukan Bea!" wajah frustasi sang ibu mulai terlihat. Kedua tangannya memegangi kepala. Ia merasa sangat gagal mendidik anak gadisnya itu.

"Buang rokok itu Bea, cepat!" perintah wanita bernama Jane itu dengan mata mengancam.

"Aku tidak mau membuang rokok ini, Bu. Sudahlah jangan sok perduli denganku. Aku muak denganmu, Bu," keluh gadis dengan baju hitam bertulis Nirvana itu.

Sang ibu marah hingga akhirnya tangan kanan itu mencabut rokok yang ada di mulut Bea.

Benda itu di buang di bawah lantai lalu di injak oleh sepatu pantofel milik sang ibu.

"Kau harus patuh denganku Bea, aku ini ibumu!" seru Jane dengan penuh penekanan sambil menatap wajah gadis cantik di depannya. Namun wajah cantik milik Bea itu menyipitkan kedua matanya dengan perasaan penuh benci kepada ibu kandungnya. Hati Bea sudah membatu. Ia sangat kesal karena Jane tak pernah ada di saat hari-hari berharganya.

Jane adalah desainer yang sangat sibuk dan selalu memprioritaskan pekerjaan di banding anaknya sendiri. Meski Jane telah berkata bahwa ia sangat mencintai putrinya. Namun Bea sangat tidak percaya akan hal itu.

"Kau ibuku?" seru Bea dengan wajah jijik melihat orang yang telah melahirkannya.

"Kau tak pernah bertindak sebagai seorang ibu pada umumnya. Aku bahkan merasa kau seperti orang asing bagiku. Hatiku sudah berbeda terhadapmu. Entahlah aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Mungkin karena kau selalu di luar sana dengan pekerjaanmu," kata Bea dengan santai sambil melihat ke arah jendela. Ia tidak ingin menangkap wajah ibunya yang terlihat kasihan.

"Kau kurang ajar sekali kau Bea. Aku melakukan pekerjaan sebagai seorang desainer itu juga untuk memenuhi kebutuhan kita. Kau bisa makan apa saja yang kau mau. Kau bisa beli apa yang kau inginkan. Tidak bersyukur kah kau mempunyai ibu sepertiku hah?"

Bea berdecak sambil melirik sengit kepada Jane.

"Terserah kau mau bilang apa. Aku tidak suka denganmu!" sembur Bea dengan wajah menantang di depan ibunya.

Jane sang ibu hanya bisa menatap sedih kelakuan Bea. Kedua mata Jane berkaca-kaca. Ia merasa sangat tidak di hormati oleh anaknya sendiri.

Kini Jane hanya bisa menatap dengan penuh sedih ketika sang anak pergi keluar kamar. Bea lari dengan cepat menuruni anak tangga. Jane sempat mendengar suara sepatu yang keras. Lalu pintu yang di tutup dengan kasar.

"Ya Tuhan! kau jahat sekali denganku Bea," kata Jane dengan merintih sambil menitikkan air mata.

"Kenapa kau bersikap seperti itu padaku, Bea? aku melahirkanmu dengan penuh pengorbanan dan merawatmu sejak kecil tanpa seorang suami. Ya Tuhan!" rengek Jane dengan hati yang teriris.

Kini tengah malam telah datang. Jane belum tidur juga. Kakinya mondar mandir di depan televisi ruang tengah. Sebagai seorang ibu. Ia benar benar merasa sangat cemas. Dia mengira kalau Bea pergi hanya sebentar akibat kemarahan dirinya. Ternyata ia salah. Sudah sangat malam Bea belum memasuki rumah.

"Halo, apa kau teman, Bea? Bea, ada disitu?" tanya Jane dengan cepat.

"Tidak ada Bea disini," jawab seorang pria lalu menutup sambungan ponsel.

Jane menghembuskan nafas kesal.

"Tidak sopan sekali teman Bea itu," ucapnya sambil menyentuh layar ponsel dengan cepat. Benda yang ada di tangan Jane adalah milik Bea. Anak gadisnya itu lupa membawa ponsel nya sendiri.

"Ya Tuhan, siapa lagi yang harus aku telfon? Aku sudah menelfon banyak sekali teman Bea," keluh Jane sambil bersender di sofa yang empuk sekali.

Sementara Bea kini sedang duduk di atas gedung paling tinggi. Dia terlentang sambil menatap langit yang penuh dengan taburan bintang yang berkelip. Entah kenapa sekarang ia merasa lega sekali. Mungkin karena matanya bisa melihat ciptaan Tuhan yang paling memukau.

Langit yang luas seakan memeluk perasaan sedih di lubuk hati terdalam milik Bea. Langit memberikan hiburan dengan kerlap kerlip seperti lampu lampu kecil.

"Hm, andai hidupku bisa selalu indah seperti langit malam ini," katanya dengan berandai-andai sambil memiringkan kepalanya.

Tiba-tiba saat dirinya sudah bosan dan akan duduk. Ia mendengar suara aneh. Seperti kardus kardus yang tertumpuk dan ada sesuatu yang menubruk.

Bea bergidik ngeri. Ia membayangkan kalau ada seseorang yang akan menyakiti dirinya.

"Ya Tuhan, suara apa itu? aku merasa seperti ada seseorang disini," ucap Bea dalam hati. Kedua mata hazelnya menyapu seluruh tempat. Tak ada siapapun di tempat paling atas di gedung itu. Hanya ada tumpukan kardus yang berantakan juga ada kabel kabel yang terbengkalai.

Bea langsung saja melangkahkan kakinya. Ia bergegas dengan cepat. Namun belum sampai di pintu berbahan besi. Ia mendengar suara pria meminta tolong.

"Oke, ini mungkin hanya halusinasi aku saja. Tenanglah! Bea," ucap gadis ini di dalam hati. Jarinya menyembunyikan sedikit rambut di belakang telinga. Lalu menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan.

"Tolong jangan pergi!" suara itu terdengar lebih keras dari sebelumnya.

"Hei, siapa itu?" tanya Bea dengan memperhatikan ke sekelilingnya. Kini ia bisa menangkap tumpukan kardus bergerak.

"Kemarilah! aku kesakitan tidak bisa bergerak," Suara itu membuat merinding. Bea takut kalau itu hanyalah modus seseorang lalu tiba-tiba ia akan di buat celaka oleh orang tersebut. Pikiran negatifnya sudah banyak menyerang otaknya.

"Bagaimana ini?" tanya Bea dalam perasaan cemas.

"Aku tidak akan membuat kau terluka," suara itu terdengar jelas dan semakin membuat Bea ketakutan.

"Oke, baiklah aku akan menolong seseorang itu. Semoga aku baik-baik saja. Lindungilah aku yang lemah ini ya Tuhan," ucap Bea dalam hati. Kini ia mulai berbalik dan melangkah dengan hati-hati mendekat ke arah kardus kardus yang berantakan di pojokan itu.

"Tidak ada orang sama sekali disini. Lalu suara siapa itu?" tanya Bea dengan bingung. Matanya benar-benar sudah menyisir apa yang ada di depannya.

Bea dengan perasaan kesal mengorek-ngorek kardus. Karena ia merasa seperti di buat bodoh oleh seseorang.

Kini dengan jelas matanya menangkap merpati putih yang ada di dalam kardus dengan luka di sayapnya. Darah terlihat di sayap itu.

"Ya Tuhan, kasihan sekali!"