**Bab 009 Keputusan**
---
Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.
Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.
Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Kemudian, dengan tegas namun lembut, Atthy memecah keheningan, suaranya terdengar serius, meskipun ada sedikit rasa keraguan yang ia simpan di dalam hati.
"Ayah, Kakek!" panggilnya, menarik perhatian kedua orang penting dalam hidupnya. "Aku sudah memikirkan mengenai lamaran pernikahan itu."
Ash menatap putrinya dengan sorot mata yang tajam, seolah-olah menilai keputusan besar yang sedang diambilnya. "Atthy, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan dulu baik-baik!" serunya, terdengar khawatir. "Masih banyak waktu, baru semalam kami memberitahumu..."
Atthy menghela napas, merasa sedikit tersentak oleh kekhawatiran ayahnya. "Maaf, Ayah... Aku tidak tahu apakah keputusan ini terlalu terburu-buru atau tidak. Tapi, Ayah, aku merasa sudah memikirkannya dengan matang, dan aku memutuskan untuk menerima lamaran pernikahan itu."
Rowt yang semula diam, kini menatap cucunya dengan serius. "Atthy, kau yakin dengan keputusanmu?" tanyanya, suara berat dan penuh perhatian, mengandung kekhawatiran yang mendalam.
"Eum," jawab Atthy sambil mengangguk, menatap wajah ayah dan kakeknya, mencoba meyakinkan mereka. "Ayah, Kakek... Seperti yang kalian katakan, ini adalah kesempatan langka. Lagi pula, dia seorang Grand Duke yang sangat disegani, dengan wilayah besar seperti Alpen..." Dia mengucapkannya dengan penuh keyakinan, meskipun ada sedikit keraguan yang mengintip di matanya.
Rowt tidak langsung menyerah. "Atthy, apa kau yakin tidak mau memikirkannya lagi?" tanyanya sekali lagi, dengan suara lebih menekan. "Masih ada waktu untuk kita sebelum memberikan jawaban."
Atthy menatap wajah keduanya, matanya penuh ketegasan. "Ayah dan Kakek memintaku untuk memikirkannya, dan aku sudah melakukannya. Keputusan ini aku ambil setelah semalaman berpikir. Tapi," suara Atthy sedikit mengendur, meskipun bibirnya tetap melengkungkan senyum tipis yang tidak sepenuhnya bahagia, "Seandainya nanti kalian menemukan bahwa dia bukan pria yang baik untukku, aku akan menerima keputusan kalian. Kalian bisa menolaknya tanpa harus bertanya padaku." Suaranya tegas, namun ada rasa lapang hati yang terlihat di matanya, seolah ia mencoba menenangkan mereka dengan memberi ruang untuk keputusan keluarga, meskipun hatinya sudah mantap dengan pilihannya.
Rowt dan Ash saling berpandangan, merasakan kedalaman tekad putri sulung mereka, namun kekhawatiran masih menggelayuti hati mereka. Mereka tahu bahwa ini bukan keputusan yang sederhana, tetapi Atthy sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Dan di tengah-tengah keheningan itu, meski Atthy merasa sedikit cemas tentang apa yang akan terjadi, ia tetap melanjutkan makannya dengan tenang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang berselimut dalam dirinya.
---
Alpen di utara tidak jauh berbeda dengan Nauruan di selatan. Kedua kota tersebut merupakan kota besar yang terletak di perbatasan Kerajaan Xipil, dan keduanya sangat dihindari oleh banyak orang karena medan dan kontur wilayahnya yang sangat berbahaya. Wilayahnya memang luas, namun banyak bangsawan yang enggan terlibat dalam urusan di Alpen, mengingat tingginya risiko konflik yang melibatkan wilayah-wilayah perbatasan kerajaan.
Namun, meskipun keduanya berbagi kesamaan dalam hal tantangan geografis, perbedaan mencolok antara Alpen dan Nauruan terletak pada siapa yang menguasainya. Alpen, yang beriklim dingin, dikuasai oleh seorang Grand Duke yang tegas dan berwibawa. Kepemimpinannya yang kuat menjaga stabilitas di wilayah tersebut meskipun sering kali dilanda potensi konflik. Sementara itu, Nauruan, yang memiliki iklim tropis hingga cenderung panas dan seharusnya bisa makmur dengan tanahnya yang subur, justru dilanda gejolak akibat penguasa yang sombong dan gemar berfoya-foya, yang lebih mementingkan kemewahan pribadi daripada kesejahteraan rakyatnya.
Pola kehidupan masyarakat di kedua wilayah ini pun sangat berbeda. Penduduk Alpen terkenal tenang dan teratur, seolah-olah hidup dalam harmoni dengan alam yang keras di sekitar mereka. Sebaliknya, Nauruan lebih semarak dan ramai, meskipun kenyataannya mereka jauh lebih miskin dibandingkan Alpen. Ketidakseimbangan ini sebagian besar disebabkan oleh Count Veraga yang selalu iri dengan kemewahan Xerces, ibu kota kerajaan yang berkilau. Untuk mengatasi rasa iri tersebut, Count Veraga penerima mandat kerajaan untuk mengurus Nauruan. Dia berusaha keras agar Nauruan bisa tampil serupa dengan megahnya Xerces, meski kondisi sosial dan ekonomi wilayahnya tidak mendukung. Sedangkan banyak bangsawan dan aristokrat yang merasa penilaian kerajaan tidak adil, akibatnya pemerintahan Nauruan kacau balau karena yang berkepentingan sibuk dengan kepentingan masing-masing dan tidak saling mempercayai.
Wilayah Alpen, meskipun sangat luas, bahkan puluhan kali lebih besar daripada Xerces yang glamor, tidak menjadikannya kota yang penuh dengan kemewahan. Kota Alpen adalah kota yang makmur, namun kemakmuran itu berasal dari hasil tambang mereka, seperti batu bara, emas, dan berlian. Meskipun Alpen terletak di ujung negara, jauh dari hiruk-pikuk dunia, mereka tidak tertinggal berkat kepemimpinan Klan Griffith yang terkenal dengan tangan dinginnya. Kepemimpinan yang penuh ketegasan namun juga bijaksana ini menjadikan Alpen tetap bertahan dalam stabilitas meski dikelilingi ketegangan dan konflik.
Alpen memang luas, tiga kali lipat lebih besar dari Nauruan, namun wilayah tersebut sangat berbahaya. Letaknya yang bersinggungan langsung dengan tiga negara yang hingga kini masih enggan meraih perdamaian, menjadikannya wilayah yang rawan. Alpen, Skythia, dan Kargavs adalah tiga wilayah yang masih diperebutkan oleh enam kerajaan besar. Perang perebutan wilayah ini sudah berlangsung lebih dari dua abad, sejak era kepemimpinan Grand Duke Griffith generasi sebelumnya yang secara tegas dan mutlak menguasai Alpen setelah mengalahkan Zorthen dan Karzeth. Hingga saat ini telah menjaga Alpen dan Klan Griffith tetap mengendalikan wilayah ini dengan penuh kewibawaan.
---
''Baiklah kalau itu keputusanmu,'' ujar Ash, menatap lama wajah putrinya. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, tetapi ia tahu Atthy sudah memutuskan dengan tekad yang bulat. Dalam diam, ia merenungkan semua kemungkinan yang akan datang, sementara Atthy memandangnya dengan keyakinan. Begitu banyak yang dipertaruhkan, dan ia tak ingin Atthy merasakan beban keputusan ini sendirian.
''Atthy, kuharap ini akan jadi keputusan terbaik untukmu...'' ujar kakeknya, Rowtag, dengan suara berat, sambil menepuk kepala Atthy dengan lembut. Ada kehangatan dalam sentuhannya, namun juga kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. Usianya sudah lanjut, tetapi semangatnya tetap menyala, meski ia tahu setiap langkah Atthy membawa mereka lebih jauh dari kenyamanan yang mereka kenal.
Atthy tersenyum tipis, meski di dalam hatinya, ia merasa seolah ada gumpalan ketegangan yang mengganjal. ''Terima kasih, kek...'' jawabnya, matanya sedikit berkilau, namun senyumnya mengandung sedikit keraguan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.
Ash bangkit dari sofa tua di ruang keluarga dengan gesit, memutuskan keheningan yang menggantung. ''Baiklah...'' ujar Ash, suaranya penuh perintah yang biasa terdengar di rumah ini, meskipun ada kecemasan yang masih mengerling di matanya. ''Ay, kabari yang lain, kita akan melakukan konvoi!'' serunya kepada Ay dengan tegas. ''Kita akan mengirim surat balasan ke pusat kota di Nauruan untuk dikirimkan ke Xerces sambil menjual barang dagangan kita.''
''Baik, ayah,'' jawab Ay dengan suara tegas, tetapi ada kerutan tipis di dahinya, menandakan pikirannya melayang, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu betul keputusan ini bukan hanya soal bisnis, ini adalah keputusan yang bisa mengubah hidup mereka, terutama kakaknya.
''Kak, aku akan membantumu,'' ujar Dimi dengan wajah semringah, langsung mengejar kakaknya. Meskipun ceria, ada kilatan kecemasan di matanya yang tak terucapkan, merasa terjebak di antara rasa hormat pada keputusan Atthy dan kecemasan yang menggelayuti hatinya.
''Baiklah, aku mempersiapkan barang dagangan kita,'' ujar Atthy dengan keyakinan yang ia coba tunjukkan, meski di dalam hatinya, ada suara kecil yang bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang tepat. Dia berpamitan pada kakeknya dan juga Gafy yang sudah mulai sibuk dengan meja makan.
''Kak, aku akan segera membantumu setelah aku membereskan meja makan...'' sahut Gafy dengan semangat, dan Atthy mengangguk dengan senyum di bibirnya. Melihat adik bungsunya begitu penuh semangat, sedikit membantu meredakan ketegangan di hatinya, meskipun dia tahu, keputusan besar sedang menunggu mereka di luar sana.
Namun, dalam diam, Atthy merasakan ketegangan yang semakin menggelayuti pikirannya. Keputusan ini bukan hanya tentang pernikahan. Ini adalah pintu yang akan membawanya ke dunia yang jauh lebih besar, dengan potensi bahaya yang tak terlihat. Meskipun ia mencoba menenangkan dirinya dengan senyum, di balik tatapannya, ada ketidakpastian yang menyelimuti hati kecilnya. Apa yang akan terjadi setelah ini?
---
Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.
Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi di perbatasan hutan menjadi ancaman nyata, memaksa warga untuk selalu waspada. Penduduk gurun ini sudah terbiasa mengatur waktu mereka agar bisa berangkat bersama dalam kelompok besar. Mereka berangkat dalam konvoi yang terdiri dari delapan desa lain, yang menghuni sembilan oase di wilayah gurun pasir dan sabana Caihina, semuanya masih termasuk dalam wilayah milik Nauruan.
---
Satu minggu telah berlalu sejak Ash dan Ay kembali dari pusat kota. Mereka telah berhasil menjual barang dagangan dan mengirimkan surat balasan ke Xerces. Namun, pagi ini, sebuah kejutan menghantam keluarga Galina. Seorang utusan tiba dengan surat resmi dari Alpen, menyatakan bahwa mereka akan segera menjemput Atthy sebagai calon mempelai Grand Duke Griffith.
Ash dan Rowt membaca isi surat itu berulang kali, tak percaya dengan apa yang tertulis di dalamnya. Rasa bingung berubah menjadi kemarahan yang membara, menyulut api konflik di antara ayah dan anak.
''Ash! Apa kau sedang mabuk saat menulis surat itu?!'' hardik Rowt, suara tuanya melengking penuh emosi. Ia menatap Ash tajam, seolah ingin menelannya hidup-hidup.
''Ayah! Jangan omong kosong!'' balas Ash, nadanya tak kalah tajam. ''Aku jelas-jelas menulis penolakan di surat itu! Bahkan aku dengan gamblang menyatakan kalau Atthy tidak memenuhi kelayakan untuk lamaran ini!''
''Kalau begitu, apa kau lupa menyegel surat itu dengan benar?! Atau mungkin kau salah menitipkannya pada tukang pos yang otaknya setara kuda?!'' Rowt menggeram, tinjunya menghantam meja kayu di depannya hingga retak kecil terlihat di permukaannya.
''Ayah! Aku tahu apa yang aku lakukan! Jangan merendahkan diriku seperti itu! Aku bukan anak kecil tolol yang tidak bisa membedakan mana kalimat untuk surat penolakan atau penerimaan!'' Ash membalas dengan nada tinggi, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan emosinya yang sudah mendidih.
''Lalu kenapa mereka mengirim utusan untuk menjemput Atthy?! Kau pikir ini lelucon?! Kau pikir Grand Duke Griffith itu orang yang sabar menunggu jawaban bodoh kita?! Dia bukan tipe orang yang main-main, Ash!'' Rowt membentak, suaranya parau tapi penuh tekanan.
''Dan kau pikir aku tidak tahu itu?!'' balas Ash dengan sengit, napasnya memburu. ''Aku menolak lamaran itu dengan alasan yang jelas dan tegas. Bahkan Ay juga menegaskan penolakannya dengan mengatakan kalau Atthy tidak pantas menikah dengan seorang tua bangka seperti Griffith!''
''Sialan! Apa kau pikir aku mau cucuku menikah dengan pria yang sudah satu kaki di lubang kubur?! Aku tidak rela Atthy dijadikan alat tawar-menawar politik bangsawan busuk macam dia!'' Rowt menggeram, matanya menyala seperti bara api.
''Dan aku pikir kau tahu kalau aku juga tidak mau itu terjadi, Ayah!'' Ash membalas dengan suara yang hampir meledak. ''Tapi kita sedang berurusan dengan Grand Duke, seorang penguasa Alpen, bukan pedagang kelas bawah yang bisa kita tendang keluar dari desa ini! Jika kita menolak kedatangan utusannya, itu sama saja menyatakan perang dengan keluarga kerajaan! Kau tahu itu, kan?!''
''Lalu apa yang kau rencanakan, huh?! Diam saja dan menunggu mereka datang menyeret Atthy pergi seperti kambing yang dijual ke tukang jagal?!'' Rowt mendekat ke arah Ash, wajahnya memerah karena emosi.
''Aku sedang mencoba berpikir, Ayah! Tidak seperti dirimu yang hanya bisa berteriak dan menghancurkan meja!'' Ash menatap balik ayahnya dengan penuh amarah, tapi ada kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. ''Aku yakin ada sesuatu yang janggal di sini... Kenapa mereka bersikeras meski sudah jelas aku menolak lamaran itu? Apa yang membuat mereka bertindak seakan-akan mereka memegang kendali penuh?''
''Sial! Jangan bicara teka-teki di depanku, Ash! Kalau kau punya rencana, katakan sekarang!'' Rowt mendesak, suaranya serak.
Ash mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan dirinya meski pikirannya berputar cepat seperti badai pasir. ''Aku tidak tahu pasti, Ayah. Tapi yang jelas, ada sesuatu di balik semua ini. Sesuatu yang tidak mereka katakan. Dan aku yakin, ini bukan hanya soal lamaran biasa.''
''Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan?!'' Rowtag bertanya, kali ini nadanya sedikit lebih rendah, meski masih menyimpan bara kemarahan.
''Kita tidak punya pilihan lain selain menunggu mereka datang,'' ujar Ash dengan nada serius. ''Tapi, aku tidak akan membiarkan Atthy dijadikan korban tanpa perlawanan. Jika mereka pikir bisa mempermainkan keluarga Galina, mereka akan tahu betapa kerasnya kami bisa bertarung.''
---