Surabaya, 2027
Yasmine
Setelah melalui pemikiran yang panjang selama hampir satu bulan, akhirnya Ibu mengizinkanku pergi ke Eropa tanpa ditemani. Namun, rencana kepulanganku dari Praha harus diubah. Aku tidak diizinkan pulang sendiri ke Surabaya. Aku harus kembali ke Norway dulu dan pulang bersama Ibu. Walaupun ini berbeda dengan rencana awalnya, aku menyerah. Akhirnya, Ibu juga jadi harus mengalah.
Rencana hanya pergi selama satu dua minggu, menjadi tiga minggu, demi menungguku.
"Kamu tahu, Yasmine, harusnya kamu bisa seperti ini sejak dulu!" kata Ibu.
"Memangnya kenapa, ma?"
"Kalau ini kejadiannya waktu kamu masih SMA, mungkin mama masih kuat nemenin kamu jalan-jalan."
"Mama egois. Mama kan sudah pernah jalan-jalan sama ayah dulu."
"Iya, itu kan dulu, saat ayah masih bersama kita, sekarang mama hanya punya kamu yang bisa diajak jalan-jalan."
"Yah, jangan sekarang ya, ma. Kan ada Jay...," candaku.
Mama menjewer telingaku. "Hati-hati ya selama kalian di sana pergi berduaan."
"Tenang...,mama kan sudah kenal lama sama Jay."
Aku tersenyum sendiri, aku tahu aku akan segera sibuk menyiapkan semua perjalananku dan melupakan sakit hati dan kemarahanku pada Megan yang tidak pernah kuakui secara jujur.
***
Semakin dekat ke hari keberangkatan, aku semakin rajin membuka-buka situs perjalanan. Aku sudah membuat daftar kota-kota mana saja yang wajib dikunjungi. Couch surferku juga sudah siap menerimaku. Aku jadi semakin bersemangat. Aku sudah berencana membelikan banyak oleh-oleh untuk setiap anak-anak di sekolahku. Semua transportasi selama di negara-negara Eropa akan ditangani Jay.
Hubunganku dan Jay intens, meski lewat e-mail. Aku benar-benar bahagia. Aku tidak menyangka akan seperti ini rasanya, merencanakan sebuah perjalanan.
Hatiku berbunga-bunga, kupu-kupu di dalam perutku terus beterbangan.
Namun, hari ini, ada satu e-mail yang masuk dan membuat suasana hatiku sedikit bergeser.
Hi
How are you? I hope things are alright at your end. Apa kabar Sekolahmu? Aku kepikiran sama kamu dan
beberapa anak di sana. Jaka sudah bisa apa aja ya sekarang? Bagaimana kabarnya Jelita?
Yasmine, aku ada rencana untuk ke Jakarta bulan ini. If I come to Surabaya, will you meet me? I feel bad about our last conversation. Let me know ya. Terus kalau bisa kasih tahu tanggal pastinya. I really need to meet you. I'll be in Indonesia from 17—27 this month. Semoga waktunya pas kamu tidak lagi sibuk ya.
Megan
Aku terpaku, kenapa perasaanku kosong membaca e-mail itu. Aku sedang bertarung dengan diriku sendiri. Di satu sisi, aku ingin segera membalas e-mail itu dan memberi tahu kalau tidak bisa ketemu di tanggal-tanggal itu karena aku baru sampai di Surabaya tanggal 31. Sementara itu, sejujurnya aku sendiri ingin sekali bertemu dengan Megan, tetapi aku tak ingin rencana-rencanaku ke depan rusak karena kehadiran pria ini, lagi. Aku tidak segera menekan tulisan reply. Aku hanya terpaku di depan laptop dan gamang harus menjawab mau bertemu atau tidak. Akhirnya, aku menutup laptop dan memutuskan untuk membalas e-mail itu nanti.
***
Dua hari kemudian, aku baru tahu apa yang aku inginkan. Apakah bertemu dengan Megan atau tidak.
Aku balas e-mail itu.
Dear Megan,
I'm very sorry for taking sometimes to write to you. I have a plan to visit my sister in Oslo, dan jalan-jalan sedikit ke Central Europe. Dan bisa kebetulan ya, tanggalnya pas bersamaan sama kamu di sini. So... I'm not sure if we can meet up by the time you're here. Aku pergi dari tanggal 10 sampai tanggal 31. Kalau mau datang ke Surabaya dan bertemu Jaka cs di Sekolah, feel free. I'm sure they'll be happy to meet you. Belum pernah lihat Sekolahku yang sekarang kan? Yura would love to take you there, kalau memang mau. Atau kalau memang mau ketemu denganku, tanggal 1 Desember aku sudah ada di Surabaya. Tentukan aja tanggalnya.
See you
Yasmine
***
Akhirnya, aku berangkat juga ke Norway. Berbagai perasaan bercampur aduk. Untuk perjalanan yang hanya satu jam, aku rasanya sudah amat sangat pusing. Selain rasa sedih karena meninggalkan anak-anak, aku juga sangat tegang karena akhirnya berada di ketinggian riibuan meter dari atas tanah. Sepanjang perjalanan mama menggenggam tanganku.
"Kamu tidak apa-apa, Yasmine?"
Aku menggeleng.
"Coba untuk tidur."
"Iya nanti, ma. Kepikiran anak-anak."Aku mencoba berdalih.
"Kenapa anak-anak?"
"Rasanya sedih ninggalin mereka. Merasa bersalah, aku seperti bersenang-senang sendiri. Padahal, aku tahu,mereka sangat membutuhkanku."
"Kamu tidak bisa begini terus. Ada anak-anak lain yang menjaga mereka. Kamu tidak boleh membalik keadaan. Sekarang, malah kamu yang jadi bergantung sama mereka."
"Aku sayang mereka, ma..."
"Yasmine, mereka akan tumbuh. Suatu saat, akan ada masa ketika kamu harus melepaskan mereka."
Aku menelan ludah.
"Menurut mama, sebaiknya mulai sekarang kamu sudah membayangkan melepaskan mereka. Membiarkan mereka mandiri."
Aku menghela napas.
"Kamu tahu Yasmine, semakin sedikit anak-anak yang datang ke Sekolahmu, semakin bagus maknanya."
"Kenapa begitu?"
"Artinya tidak ada lagi anak-anak yang hidup di jalan."
Aku mendesah lagi. Aku berharap suatu hari akan datang masa itu. Ketika semua anak duduk di dalam rumah mereka, dipeluk orang yang menyayanginya sebelum tidur, pergi ke sekolah, bermain di taman, dan hidup aman, jauh dari cekaman ketakutan. Aku heran, dengan membayangkan hal-hal yang indah itu, aku jadi tidak merasa setakut pada awalnya ketika take off tadi. Dalam hati, aku membenarkan apa yang dikatakan Yura. Begitu kita memiliki niatan yang bulat, masalah lain akan bisa dilewati dengan mudah.
To Be Continued