webnovel

Pernikahan Penebus Hutang

Alessia mematut wajahnya di depan cermin rias yang berdiri tegap di hadapannya.

Sambil tersenyum getir, Alessia menitikkan air mata. Ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya dipertaruhkan di sini. Ia tak bisa menolak, karena sebuah alasan yang selalu menggerogoti jiwanya.

Jika saja sang ayah tak berhutang begitu banyak pada Christian Allen, ia tak mungkin menikah semuda ini dengan pria tampan nan angkuh tersebut.

Seandainya, hanya seandainya, ketika mendiang sang ibu tidak harus mengalami hal naas di istana megah ini, yaitu terjatuh dari anak tangga yang menyebabkan dirinya dioperasi pada beberapa bagian, mungkin saja Matthew Falco tidak akan berhutang pada Christian Allen.

Mengingat itu, hatinya mencelos. Ia merasa nilai dirinya hanya sebanding dengan barang yang bisa ditukar lalu mungkin saja setelah ini ia akan dibuang.

Bisa jadi, bukan?

Ceklek.

Pintu terbuka, menampakkan dua orang pria berwajah rupawan memasuki kamar besar nan megah tersebut.

Pandangan dua pria itu seketika tertuju padanya. Alessia menundukkan kepalanya, ia ragu, haruskah ia menyapa pria tampan yang telah sah menjadi suaminya beberapa jam lalu? Dan pria yang notabene pengawal sekaligus tangan kanan suaminya?

Alessia tampak gelisah.

Di hadapan Tuhan, Pastor, dan beberapa saksi kunci pernikahan, ia telah berjanji akan menemani si pria berkursi roda dalam suka maupun duka. Dalam untung ataupun malang. Dalam sehat ataupun sakit.

Oh tunggu dulu..

Apakah pria itu termasuk dalam golongan orang sakit?

Jikalau sakit, kenapa pria itu tetap arogan seperti biasanya? Malahan, menjadi semakin menjadi-jadi usai kecelakaan yang menimpa dirinya beberapa saat lalu.

"Apa yang kau lihat, hah?" tanya Christian dingin pada istri kecilnya.

Ya, sebutan istri kecil memang pantas disematkan pada Alessia Falco.

Bagaimana tidak, Raymond mencarikan mempelai wanita untuknya yang masih pantas dibilang belia.

Usia Alessia baru menginjak 19 tahun. Sementara dirinya sudah berusia 26 tahun. Selisih jarak yang lumayan bukan. Seperti kakak beradik saja.

Ya, itu masih lebih baik daripada ia harus menikahi wanita lain yang ia tidak tahu bagaimana nanti hubungan keduanya ke depan. Ia tak mau ada wanita yang mempersulit hidupnya.

Christian memicingkan mata. Alessia yang ditatap dengan cara seperti itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya, ia amat ketakutan.

Mungkinkah suaminya datang ke kamar untuk melakukan ritual malam pertama seperti banyak orang bicarakan?

Membayangkannya saja bulu kuduk Alessia meremang sempurna. Ia memang gadis yang polos, belum pernah menjalin kisah cinta dengan pria manapun.

Bukan karena Alessia terlalu pilih-pilih lelaki yang akan menjadi kekasihnya, hal itu semata-mata ia lakukan demi masa depannya yang cerah. Ia tak mau jika menjalin kisah cinta dengan seorang pria, sekolahnya akan terganggu.

Alessia tersadar dari lamunannya ketika ia menyadari sorot mata tajam berasal dari pria bermata hazel yang duduk di kursi roda terarah jelas padanya.

"Kenapa diam? Apakah kau bisu sampai-sampai tak bisa menjawab pertanyaanku?" serang Christian sembari memiringkan salah satu sudut bibirnya.

Alessia semakin menundukkan wajahnya. Ia tak mau suami dinginnya terus menatapnya seperti itu. Ia takut. Ia tak menyangka kehidupan pernikahannya yang belum ada sehari akan semengenaskan ini.

"Maaf Tuan jika saya menyela, bolehkah saat ini saya undur diri? Saya akan melaksanakan perintah Tuan Christ beberapa saat yang lalu sebelum terlambat," pamit Raymond sopan.

Christian terdiam selama beberapa saat. Tak lama kemudian ia pun mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang memiliki jutaan pengertian. Senyum yang memantik jiwa penasaran bagi yang melihatnya.

Alessia tampak perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Ia hanya diam ketika melihat tata cara berpamitan Raymond yang begitu sopan dan tunduk pada Christian.

Tubuh tegap itu telah menghilang dari balik pintu. Raymond telah pergi.

Pintu telah tertutup, menyisakan dua manusia berlawanan jenis di ruangan itu.

Bagi kaum awam sangat besar kemungkinan akan begitu bahagia menjadi istri orang terpenting di London, sekaligus istri pewaris Allen Group yang telah mendunia. Tapi tidak baginya.

Alessia sadar betul siapa dirinya. Suatu saat nanti keberadaannya pasti akan tersisihkan. Jangankan esok, saat ini saja Christian sudah memandang rendah dirinya. Dirinya hanya dipandang sebelah mata, hanya untuk menyelamatkan reputasi Allen Group.

"Lagi-lagi kau melamun, apakah aku harus memperistri seorang wanita linglung? Ditanya hanya diam, melamun, sebenarnya kau bisa apa selain melakukan dua hal itu? Sia-sia Mathew menyekolahkanmu sampai menjadi seorang mahasiswa, kau tidak mempunyai skill apa pun yang patut dibanggakan. Cih," hina Christian tanpa tahu hati gadis di hadapannya hancur berkeping-keping.

Apa salah wanita itu?

Kenapa setelah menikah, kelakuan pria itu semakin menjadi-jadi padanya?

Bukan salahnya jika Isabella pergi meninggalkan altar pernikahan yang telah lama dirancang untuk mereka berdua, bukan?

Alessia meratapi nasibnya.

"Maafkan saya, Tuan Christian, saya akan melakukan semua hal sesuai perintah Tuan. Apa yang bisa saya lakukan saat ini untuk anda, Tuan?" Alessia mulai buka suara walau terdengar terbata-bata. Ia tampak gugup setengah mati berhadapan dengan tuan mudanya sekaligus suami sahnya.

Christian berdesis pelan. Justru dirinya yang saat ini terdiam. Ia seperti memikirkan sesuatu yang tak terjangkau otak gadis di hadapannya.

"Apakah benar penawaran yang kau katakan barusan?" tanya balik Christian sambil tertawa, mengira Alessia sedang membuat lelucon untuknya.

"Benar, Tuan Christian," jawab Alessia seraya mengangguk yakin.

Alessia mengangkat wajahnya agar mereka bisa saling bersitatap dan mencoba tersenyum pada pria dingin itu.

Tatapan keduanya saling bersirobok. Alessia mendadak tersipu malu ketika netra hazel di hadapannya memindai penampilannya dari atas sampai bawah.

Apakah itu tandanya waktunya akan tiba?

Akankah ia melepas keperawanannya pada tuan mudanya?

Pertanyaan laknat itu menguasai isi otaknya.

'Sadarlah, Alessia, Tuan Christian tidak mungkin berniat dengan gadis seperti kau! Kau tak bisa dibandingkan dengan Nona Isabella Crews. Sadarlah!' Alessia menggumam tidak jelas. Otaknya terasa benar-benar buntu.

Alessia kesulitan menelan ludah. Tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan ia merinding. Semua itu karena pikirannya sendiri.

"Apa yang kau bayangkan? Jangan kau kira aku menginginkan tubuh kurusmu itu! Jangan menganggap harga dirimu terlalu tinggi! Aku tidak akan menyentuhmu, tidak akan," kata-kata Christian membuat Alessia benar-benar tersadar dari lamunannya.

Degg Degg Degg

Suara jantung seseorang berdegup begitu cepat. Lagi-lagi ia mendengar ucapan yang terlalu meremehkan harga dirinya. Alessia menahan tangis. Pelupuk matanya sudah tergenangi cairan bening yang sudah ia tahan sejak tadi. Ia tak boleh terlihat lemah di hadapan pria itu. Tidak boleh.

'Alessia, kau perempuan yang tangguh! Kau harus kuat! Mungkin memang takdirmu harus seperti ini, saat ini, tapi kau harus yakin supaya bisa terlepas dari jerat pernikahan penebus hutang ini suatu saat nanti! Tuhan tidak tidur, Alessia,' batin Alessia. Gadis itu menguatkan dirinya sendiri.

"Jangan diam saja! Mandikan aku sekarang juga!" titahnya begitu tegas memaksa masuk ke dalam gendang telinga gadis muda di hadapannya.

"Mandi? Tuan ingin mandi? Tuan tidak bercanda, bukan?" balas Alessia dengan rentetan pertanyaan penuh kepastian.

To be continue…

***