webnovel

Merasa Cemburu

"Aku tak hadir di acara pernikahan Griselda karena memang aku tidak merestui mereka, sudah aku bilang kalau lelaki seperti itu hanya menginginkan harta kita!" tegas Eroz dengan nada tinggi.

Tanpa putranya beri tahu sekalipun Frans sudah mengetahui semua itu lagipula tak ada alasan lelaki mau menikahi Selda selain karena harta, "Memangnya kenapa? Bukankah memang tak ada alasan lain yang bisa mereka terima selain harta, kau tahu bagaimana keadaan adikmu bukan?"

"Ya, aku tahu. Tapi Feroza terlihat sangat tak baik, mengapa tak yang lain saja?" tukasnya masih dengan egonya yang begitu besar.

Dengan suara yang lirih dan pelan Dara menjawab, "Eroz, kalau saja bisa memilih maka kami akan menikahkan adikmu dengan lelaki lain jauh lebih tulus tapi kenyataan memang hanya Feroza yang mau menerima tawaran itu."

"Bukan hanya kau saja yang merasa gelisah pada niat Feroza, karena ibu juga merasakan hal yang sama." Dara melanjutkan perkataannya dengan begitu mendalam.

Kali ini Eroz terdiam mendengar perkataan ibunya, sebab ia tak tahu harus berbuat apa lagi jika memang kenyatannya hanya Feroza yang mau menikahi adiknya.

Namun tak lama kemudian Eroz kembali berkata, "Kalau begitu mengapa kalian ingin menikahkan Selda dengan keadaannya yang seperti ini, mengapa tak membiarkannya saja di urus oleh para asisten?"

"Kau belum mengerti, Eroz. Bagaimana bahagianya orang tua melihat anaknya menikah dan mendapatkan pendamping hidup," sahut Frans yang masih dipenuhi dengan kekecewaan di hatinya pada Eroz.

Merasa tak ada gunanya lagi berada di tempat itu akhirnya Eroz memutuskan untuk berpamitan kepada keduanya, "Aku pergi, semoga ibu lekas sembuh."

Keduanya tak menahan kepergian Eroz, mereka membiarkan anak itu melangkah pergi menuju luar ruangan. Memang sudah sejak cukup lama, hubungan orang tua dan anak mereka yang satu ini tidaklah baik.

Terlebih Eroz selalu merasa jika kedua orang tuanya menyayangi Griselda sepenuh hati dibandingkan dirinya, apalagi semenjak mengetahui Griselda akan menikah dengan seorang lelaki dari kalangan biasa sikap Eroz semakin menjadi-jadi.

Setelah berada di luar ruangan orang tuanya, Eroz langsung berhadapan dengan istrinya yang sejak tadi menunggu di depan pintu. Wanita itu memandangi sang suami dengan datar seakan sudah mengetahui hal apa yang baru saja terjadi di dalam, "Apa kau tak bisa menurunkan egomu?"

"Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan," sahutnya lebih tegas.

"Tapi mereka kedua orang tuamu, Eroz!"

"Aku tahu, lalu kenapa? Aku berhak memiliki pemikiranku sendiri," ujarnya lagi.

"Kau tak bisa bersikap seperti ini terus, apalagi terhadap adikmu."

"Sudahlah jangan mengajakku berdebat begini, lebih baik sekarang kita pulang." Eroz mengajak Kalila untuk pulang dan sudah berniat melangkahkan kakinya pergi.

Namun Kalila segera menahannya sembari berkata, "Apa kau akan pergi secepat itu pada saat ibumu sakit keras? Yang benar saja, Eroz!"

"Ibu terlihat cukup baik, lagipula aku sudah menengoknya. Untuk apa berada di sini terlalu lama? Nanti juga Selda dan suaminya akan segera pulang dari bulan madu mereka, ya meskipun aku tak yakin apa saja yang mereka lakukan di sana." Eroz mengatakan hal itu dengan nadanya yang meledek.

Dan hal ini membuat Kalila semakin kesal, "Eroz, mengapa kau berkata seperti itu? Selda adikmu sendiri, seharusnya kau tak begitu padanya."

"Terserah apa katamu, sekarang aku akan pulang dan kalau kau masih ingin berada di sini silahkan saja!" ujar Eroz lalu melangkahkan kakinya untuk pergi dari hadapan Kalila.

Kalila sudah tak bisa menahan Eroz lagi dan ia juga tak bisa terus berada di tempat itu, karena Eroz pasti akan marah besar kepadanya dan perdebatan mereka akan jauh lebih parah nantinya.

Sehingga mau tak mau Kalila harus menurut pada suaminya, ia bergegas menyusul langkah Eroz yang sudah menjauh darinya menuju luar rumah.

Brakkk

Dengan sangat kencang lelaki itu menutup pintu mobilnya untuk meluapkan amarahnya yang begitu bergejolak, dan Kalila yang melihat hal itu hanya bisa mengelus dada lalu segera menyusul suaminya masuk ke dalam mobil.

"Eroz, tenangkan dirimu."

"Aku tak bisa tenang selama lelaki sialan itu masih menjadi adik iparku," sahutnya dengan sangat tajam dan sinis.

Kalila perlahan mengangkat tangannya lalu ia mengelus lembut bahu suaminya berusaha memberikan ketenangan, "Jangan seperti ini terus, Sayang. Bagaimanapun juga kau harus memikirkan kebahagiaan Selda, jika Selda bahagia menikah dengan Feroza maka kau harus bisa menerimanya."

"Kebahagiaan macam apa yang seperti itu?" sanggah Eroz lagi yang merasa perkataan istrinya sama sekali tak benar.

Kalila yang merasa tidak akan menang melawan suaminya akhirnya memutuskan untuk mengalah dan ia tak memaksakan lagi pendapatnya, "Lebih baik sekarang kita pulang, kau butuh istirahat agar pikiranmu tenang."

Berbeda halnya dengan Frans dan Dara yang masih berada di dalam ruangan mereka, baru saja keduanya berunding untuk mengambil satu jalan yang baik agar rasa cemas mereka bisa sedikit berkurang.

"Lebih cepat lebih baik, Sayang." Dara berkata dengan sangat lembut sambil membelai lengan suaminya.

Frans mengangguk pelan membenarkan perkataan Dara lalu ia berdiri dari duduknya sembari mengeluarkan ponsel di dalam celananya, "Aku akan menghubungi kedua orang tua Feroza sekarang juga."

Setelah mendapatkan nomer telepon tujuannya Frans langsung mendekatkan ponselnya ke telinga menunggu besannya akan segera menjawabnya, tak lama kemudian suara serak basah menyapa Frans dengan hangat dan lelaki itu segera memfokuskan pikirannya pada tujuannya saat ini.

"Halo," sapa balik Frans terdengar cukup baik.

"Ada apa menelepon tiba-tiba begini, Besan? Apakah ada hal penting yang ingin kau sampaikan?" tanyanya dengan nada yang sangat penasaran.

"Ya, ada. Aku ingin mengundang kalian makan malam bersama hari ini, agar hubungan kekeluargaan kita semakin kuat dan juga ada sesuatu hal penting yang ingin aku bicarakan mengenai Feroza."

Tak ada jawaban apapun dari seberang sana untuk beberapa waktu, lelaki paruh baya itu seperti sedang berpikir keras mengenai sesuatu hal yang berat.

Bagaimana tidak ayah Feroza merasa tak tenang karena putra mereka memang cukup sering membuat masalah sejak masih remaja, "Baiklah, kami pasti akan datang."

"Senang sekali mendengar jawabanmu, aku akan menunggu kedatangan kalian malam ini."

Dengan cukup lega Frans kembali berkata, "Kalau begitu aku akan menutup teleponnya, sampai bertemu di rumahku."

Tut tut tut

Tanpa menunggu jawaban dari besannya, Frans langsung menutup panggilan teleponnya dan fokusnya kembali tertuju pada sang istri yang hanya bisa terbaring lemah di atas kasur.

"Mereka akan datang malam ini, jadi kau tak perlu merasa cemas lagi karena kita akan segera membicarakannya kepada mereka."

Dara mengangguk paham meski sebenarnya rasa cemasnya saat ini sama sekali tidak berkurang, "Iya, Sayang. Terima kasih banyak karena kau selalu memahamiku, dan mau mengikuti permintaanku."

"Tentu saja aku akan melakukannya, karena aku adalah suamimu dan Selda adalah buah hati kita."

Baru saja Frans berniat akan mencium kening istrinya, suara ketukan pintu di ruangan mereka cukup mengejutkan dan membuat Frans mengurungkan niatnya.

Tuk tuk

"Siapa?"

"Maaf Tuan, saya ingin memberi tahu kalau Nona Selda dan Tuan Feroza sudah pulang."