webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Urban
Zu wenig Bewertungen
108 Chs

MCMM 79

Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya." (Seno Gumira Ajidarma)

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Dek, boleh gue ngomong sama elo?" tanya Gibran dari balik pintu. Sudah seharian ini Gladys mengurung diri di dalam kamar. Dengan ogah-ogahan Gladys membuka kunci pintu kamar dan membiarkan Gibran masuk.

"Astagaaa... ini kamar atau kapal pecah sih, dek?" Gibran terkejut melihat kamar Gladys yang berantakan. "Elo tuh kenapa sih? Dari kemarin elo mengurung diri di kamar. Endah saja nggak lo bolehin masuk kesini. Elo nggak pergi ke butik. Papi mami bingung lihat kelakuan lo kayak gini."

"Abang kesini mau ngapain? Kalau cuma mau nyeramahin Adis, mendingan abang keluar aja," balas Gladys sambil kembali bergelung di dalam selimutnya. Gibran mendekati Gladys dan meletakkan tangannya di dahi Gladys. "Apaan sih bang?"

"Normal. Elo nggak sakit."

"Emang gue nggak sakit kok."

"Kalau nggak sakit ngapain di tempat tidur terus? Elo jangan bikin orang lain panik deh. Tuh calon suami lo bolak balik kesini nyariin."

"°Biarin aja sih bang. Gue lagi kepengen mikir aja," sahut Gladys. "Memangnya gue nggak boleh mikir?"

"Tumben elo mikir. Biasanya grasak grusuk nggak pakai mikir. Ternyata ada pengaruh baik juga ya elo sempat kenal sama Banyu, walaupun kalian nggak jadian."

"Ini nggak ada hubungannya dengan Banyu. Nggak usah bawa-bawa dia dalam pembicaraan ini." sahut Gladys ketus.

"Ada apa sih antara elo dan Banyu?"

"Nggak usah dibahas. Di antara kami nggak ada apa-apa lagi. Abang tahu kan kalau dia lebih memilih Senja daripada gue."

"Apa itu yang membuat elo memutuskan menyuruh Lukas untuk melamar? Kalau memang masih belum yakin kenapa elo suruh dia dan orang tuanya datang?"

"Kata siapa gue belum yakin?" sanggah Gladys. "Adis hanya ingin berpikir ulang. Banyak hal yang harus dipikirkan sebelum akhirnya meneruskan ke langkah berikutnya. Abang nggak bakal ngertilah."

"Memang abang nggak mengerti karena abang nggak pernah merasakan hal seperti ini. Abang nggak pernah membagi hati kepada dua orang di saat bersamaan."

"Kata siapa adek membagi hati?"

"Elo memang nggak membagi hati. Karena hati lo sudah untuk Banyu, walau elo tahu dia lebih memilih Senja." Gibran berdiri dan melangkah meninggalkan Gladys. "Abang cuma bilang, jangan kecewakan banyak hati."

"Bang .....," panggil Gladys dengan suara menahan tangis, Gibran langsung menahan langkahnya dan berbalik mendekati Gladys. Ia tahu adiknya saat ini dalam keadaan tidak baik-baik saja. Disingkapnya selimut yang menutupi tubuh Gladys hingga kepalanya. Dilihatnya wajah Gladys yang basah oleh air mata. Langsung dirangkulnya tubuh adik semata wayangnya.

Hampir setengah jam lebih Gibran membiarkan adiknya menangis dalam pelukannya. Selama itu Gibran tak mengatakan apapun hingga akhirnya ia merasakan tubuh Gladys sudah tak lagi berguncang karena menangis. Yang ia lakukan hanya memeluk erat tubuh Gladys sambil mengusap-usap punggungnya.

"Makasih ya bang." Akhirnya Gladys melepaskan pelukan sang kakak.

"Dek, coba sekarang elo ngaca." Gibran menarik Gladys agar bangkit dari tempat tidurnya dan mendorong adiknya ke cermin besar yang ada di kamar itu. "Coba lihat diri lo sendiri di cermin ini. Apakah ini seorang Gladys Mariana Praditho yang lo kenal? Yang pasti ini bukan Adis yang gue kenal. Kemana Adis yang selama ini gue kenal nggak gampang galau? Kemana Adis yang selalu positive thinking apapun pendapat orang lain tentang dirinya? Atau kemana Adis yang selalu enjoy dan memiliki mimpi-mimpi dalam hidupnya? C'mon wake up girl! You have to be strong whatever happen in your life."

Gladys memandangi pantulan dirinya. BERANTAKAN. KACAU. Itu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini. Rambut dicepol asal, mata sembab, hidung merah, kaos gombrong. This is not me! pikir Gladys.

"Dis, gue mau elo selalu kuat apapun masalah yang lo hadapi. Entah itu masalah pekerjaan, jodoh atau hal lainnya." Gibran menyemangati adiknya yang tampak kacau balau. "Elo dan kamar lo ini sama-sama kacau. Sekarang elo mandi, berendam di bath up. Enjoy your time, relax your body and mind. Kalau perlu hari ini elo pergi ke spa. Setelah pikiran lo tenang, baru lo pikir ulang semua perkara yang membuat elo galau."

"Bang, elo mau nggak nemenin gue hari ini?"

"Gue harus kerja Dis. Kenapa elo nggak minta Khansa buat nemenin elo?"

"Sejak dia hamil, agak susah ajak dia pergi. Sementara Intan dan Ayu juga lagi sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Gue nggak enak kalau harus ganggu mereka."

"Jadi elo lebih memilih mengganggu gue?" Gibran menghela nafas panjang. Gladys memasang senyum terbaiknya agar Gibran mau menuruti keinginannya. "Kenapa bukan Endah aja yang lo ajak?"

"Kalau Endah gue ajak, gue nggak bisa ajak debat. Dia pasti menyetujui apapun yang adek bilang. Lagipula Endah kan sekarang kerja di butik. Adek nggak mau, dia dianggap anak emas karena dia asisten pribadi gue."

"Gimana dengan kredibilitas gue sebagai seorang pegawai di perusahaan papi?"

"Kan elo anaknya papi. Nggak pa-pa dong kalau sekali-kali abang ijin nggak ke kantor. Mau ya bang... mau yaaa... please.." Gladys memohon dengan wajah memelas. Mau tak mau Gibran tertawa melihat hal tersebut.

"Okelah. Demi adek gue yang lagi galau akut, gue hari ini ijin nggak ke kantor. Untung saja hari ini lagi nggak ada kerjaan penting." Akhirnya Gibran menyerah dengan permintaan Gladys, adik kesayangannya. "Vania bisa marah nih kalau tau gue bolos demi elo, dek. Pasalnya minggu lalu dia minta gue bolos buat nemenin dia cari hadiah buat mamanya, gue menolak dengan alasan pekerjaan gue lagi hectic banget."

"Ajak aja bang. Siapa tahu mbak Vania lagi off. Gue yang traktir spa deh. Tapi makannya bang Gibran yang bayarin ya," bujuk Gladys.

"Huuu..... itu sama juga bohong dek. Elo pasti mau ajak ke spa hotel kan?"

"Spa hotel kita the best in town lho, bang. Tuh calon mertua gue aja senang banget bolak balik kesitu."

"Cieee... sudah bisa menerima tante Meisya jadi calon mertua nih?" ledek Gibran. "Calon mertua lo itu cari gratisan dek. Makanya dia mau ambil elo jadi mantu. Huahahahahaha...."

"Abang jeleeeeek!!!" Gladys langsung menghadiahi Gibran dengan cubitan mautnya.

⭐⭐⭐⭐

Banyu memilih tak banyak komentar saat dipanggil oleh pihak rektorat. Ia tak menyangka permasalahannya akan sampai ke pihak rektorat. Padahal ia tak melakukan kesalahan dalam bekerja dan mengajar. Semua ia kerjakan dengan baik. Bahkan bukan sekali dua kali para dosen dibantu olehnya, walaupun itu bukan job description-nya.

"Saudara Banyu, dengan berat hati pihak kampus harus melepas anda. Demikian juga dengan penawaran beasiswa S2 yang seyogyanya saudara akan terima di semester depan. Terima kasih atas pengabdian anda selama ini. Semoga saudara Banyu bisa segera menemukan pekerjaan pengganti di kampus lain." Demikianlah sedikit dari perkataan rektor yang masuk ke dalam telinganya. Banyu menerima berita itu antara percaya tak percaya, namun ia harus menerimanya. Ia tak berusaha mencari tau apa permasalahan sebenarnya.

Ada beberapa selentingan berita mengenai pemecatannya. Ada yang bilang ada berita beredar yang mengatakan ia orang yang mesum. Ada juga berita yang mengatakan ia memakai posisinya sebagai asisten dosen untuk mendekati mahasiswi yang meng-idolakannya. Berita terakhir yang berhembus yaitu berita mengenai dirinya sebagai perusak rumah tangga orang lain. Entah siapa yang menghembuskan berita miring tersebut.

"Mas Banyu nggak pa-pa?" tanya Husein, salah satu dosen muda, saat Banyu kembali ke ruangan.

"Nggak pa-pa mas Husein," jawab Banyu sambil merapikan barang-barangnya. "Mungkin hasil kerjaku memang kurang sesuai standar kampus ini."

"Pasti ada yang nggak beres nih," celetuk Reza. "Apa ini imbas kejadian sore itu di parkiran?"

"Masa sih? Bukannya biasa aja ya kalau ada sepasang kekasih berciuman?" tanya Husein penasaran. "Banyak kan mahasiswa yang melakukan itu di kampus."

"Mas Husein belum lihat videonya ya?" Husein menggeleng. "Wuiiiih... hot mas."

"Apaan sih Za? Biasa saja kali," ucap Banyu sambil tertawa kecil. "Bukan karena itu kok. Masalah itu kan sudah lama selesai. Saya juga sudah terima SP dari pihak kampus."

"Jangan-jangan mas Banyu beneran menjadi perusak rumah tangga orang, seperti yang digosipkan selama ini." Bu Rosa ikut bicara. "Mas Banyu beneran punya hubungan spesial dengan bu Mila, ya? Kalau saya perhatikan mas Banyu dan bu Mila kan dekat banget. Dia juga marah banget waktu dengar berita pemecatan mas Banyu. Bahkan dia sempat ngotot meminta supaya kamu tidak dipecat. Pokoknya dia membela mas Banyu mati-matian."

"Hahaha.. ya nggaklah bu. Mila itu sahabat saya sejak SMA. Kita satu gank. Lagipula mana berani saya ganggu hubungan pernikahan Mila dengan suaminya. Saya sangat menghormati Dika, suami Mila," jawab Banyu. "Dia ngotot menahan supaya saya nggak dipecat, biar ada supir gratis bu. Hehehehe..."

"Nyu, maaf ya bapak nggak bisa membantu kamu. Bapak sudah berusaha meyakinkan pihak rektorat kalau kamu nggak melakukan apa yang digosipkan. Dosen-dosen yang pernah kamu bantu juga sudah berusaha membela kamu. Benar apa yang bu Rosa bilang, bu Mila juga mati-matian membela kamu. Tapi semua usaha kita sia-sia." jelas pak Yogi.

"Iya mas. Pak Fauzi sebagai rektor juga nggak bisa berbuat apa-apa karena perintah pemecatan kamu datang langsung dari pak Bintang, selaku ketua Yayasan," imbuh pak Firman.

"Aneh nggak sih, ketua yayasan ngurusin hal remeh kayak gini. Asdos di kampus ini kan bukan cuma Banyu. Ada banyak asdos yang bekerja disini, bukan hanya 1-2 orang," ucap Reza dengan wajah serius.

"Sudahlah Za, nggak usah diperpanjang lagi. Apapun alasan mereka memecatku, pasti sudah melalui pertimbangan yang cukup matang," sahut Banyu.

"Lalu mas Banyu mau kerja dimana setelah keluar dari sini?" tanya bu Rosa penasaran.

"Belum tau bu. Mungkin sementara akan fokus ke pengobatan ayah saya. Kebetulan pas banget, saya harus mendampingi ayah saya berobat ke Malaysia."

"Berobat saja ke Malaysia? Wah mas Banyu anak orang kaya tho. Pantas saja santai banget kehilangan pekerjaan. Jangan-jangan mas Banyu ini sebenarnya CEO muda yang menyamar menjadi tukang sayur dan asisten dosen," terka bu Rosa.

"Ah, nggak juga bu. Saya mah hanya tukang sayur biasa yang kebetulan beruntung banget bisa bekerja disini," elak Banyu jengah.

"Tapi mas, biasanya yang berobat ke luar negeri itu orang-orang berduit lho. Ayah mas Banyu pengusaha kaya ya?" desak bu Rosa dengan kekepoan tingkat tinggi. Yang lain menunggu jawaban dari Banyu.

"Ah, nggak juga bu. Kebetulan saja ayah saya punya usaha kecil-kecilan. Kalau untuk berobat memang dokternya orang sana. Ini juga nggak setiap bulan ke sana." Banyu tetap mengelak, tak ingin dihubungkan dengan kekayaan sang ayah.

"Sudah bu Rosa, mas Banyu jangan didesak lagi," potong pak Yogi saat melihat bu Rosa bersiap membuka mulutnya. "Nyu, kalau kamu memang masih ingin menjadi dosen atau ingin mengambil S2 kamu hubungi saya. Nanti saya akan bantu kamu."

"Terima kasih pak Yogi. Sepertinya untuk sementara saya harus melupakan impian itu dan kembali menjadi tukang sayur," sahut Banyu sambil terkekeh. "Sekaligus fokus mendampingi ayah saya."

Saat Banyu sudah selesai merapikan mejanya, tiba-tiba Mila memasuki ruangan dengan wajah kesal.

"Nyu, elo benar-benar nggak mau banding? Elo kan nggak salah. Kalau elo diam saja seperti sekarang, itu sama aja elo membenarkan apa yang dituduhkan. Kalau elo mau, gue bisa minta waktu untuk bertemu dan bicara dengan pak Bintang. Bokap gue kenal baik sama dia."

"Benar kata bu Mila. Kamu ajukan banding saja. Kamu kan nggak salah," tambah pak Yogi. "Terus terang saja saya merasa kehilangan asisten yang handal, kalau kamu berhenti."

"Mil, gue tuh kerja disini karena kemampuan gue. Kalau elo ngomong kayak begitu, orang-orang akan berpikir gue bisa kerja disini karena koneksi dari elo. Sudah cukup elo membantu gue untuk kasus Gladys. Sekarang gue minta elo nggak usah melakukan apa-apa lagi. Biarkan gue terima keputusan ini. Gue nggak mau ada rumor lain beredar. Gue nggak mau orang meragukan kredibilitas lo."

"Nyu, kenapa sih dalam kondisi kayak gini elo malah mikirin gue? Seharusnya elo tuh mikirin diri sendiri. Seharusnya elo membela diri karena sudah dituduh dan diperlakukan nggak adil oleh kampus ini."

"Mil, elo kenal siapa gue. Elo tau gimana prinsip gue kan? Sudah ah, gue mau pamitan dulu sama yang lain. Kapan-kapan kita makan siang bareng. Gue traktir elo. Ajak mas Dika sekalian."

Mila hanya bisa menarik nafas dalam dan menghelanya perlahan. Ia sangat mengenal sifat Banyu yang tak akan ngotot mempertahankan haknya. Ia cenderung mengalah. Hal yang sama terjadi saat Senja direbut Awan dan saat Gladys dilamar Lukas. Entahlah apa Banyu akan melanjutkan menunggu Senja bercerai atau kembali menyerah.

⭐⭐⭐⭐