webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Urban
Zu wenig Bewertungen
108 Chs

MCMM 16

Dikala semua orang seolah bersekutu melawanmu dan waktupun seolah tak berpihak kepadamu, lalu apa yang dapat kau lakukan?

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Dys, ngapain lo pagi-pagi sudah kesini?" tanya Khansa heran saat pagi itu Gladys sudah sampai di rumahnya. "Elo nggak ngelindur kan? ini baru jam setengah enam pagi lho."

"Sa, gue pengen kabur." jawab Gladys dengan wajah ditekuk.

"Kabur? Kemana?" Khansa balik bertanya. "Elo nggak mabok kan?"

"Sialan lo. Gue serius nih. Lagipula sejak kapan gue demen minum alkohol?"

"Eh, aya neng Adis nu geulis. Isuk-isuk sudah sampai rumah ambu?" sapa Vina. "Sudah sarapan belum neng? Sa, ada teman kenapa dianggurin wae. Bikinin minum hangat atuh."

"Ah, dia mah bukan tamu ambu. Tapi biang kerok." sahut Khansa seraya berkelit menghindari cubitan Gladys.

"Dia kesini tuh bukan buat main, ambu. Dia tuh ceritanya kabur dari rumah. Tapi kalau cuma ke rumah kita, itu mah cara gak niat. Kurang jauh, Dys." sindir Khansa.

"Eh, aya naon neng geulis pake acara kabur dari rumah?" tanya Vina. "Nanti mami dan papi neng Adis teh bingung nyariin kamu."

"Biarin aja, Ambu. Mereka nggak sayang sama Adis." Sahut Adis sambil membanting dirinya ke kursi.

"Eh, ulah ngomong begitu atuh neng. Mami papi pasti sayang banget sama neng Adis. Mana ada sih orang tua yang nggak sayang sama anak." ucap Vina sambil mengelus kepala Gladys.

"Kok elo random banget sih tiba-tiba aja bilang mereka nggak sayang elo plus pake acara kabur." tanya Khfansa penasaran. Ghiffari, calon suami sekaligus kakaknya Gladysnya, belum bercerita tentang apapun. Gladys diam saja ditanya seperti itu, namun dari raut wajahnya terlihat bahwa dirinya saat ini sedang kesal. "Kalau elo sudah kabur kesini, nggak usah gegayaan nggak mau cerita sama gue. Nggak usah kayak di novel-novel yang bilang jangan tanya apa alasanku kabur, aku cuma ingin sendiri dan berpikir. Ah, basi deh kalau model gitu."

"Ambu nggak tahu apa permasalahan yang sedang neng Adis hadapi di rumah. Cuma ambu hanya ingin mengingatkan bahwa masalah apapun yang neng Adis hadapi saat ini, pikirkan baik-baik dengan kepala dingin. Jangan turuti emosi. Sekarang ambu masuk dulu ke dalam, mau bikin sarapan. Nanti neng Adis sarapan di sini ya?" Vina masuk ke dalam rumah, meninggalkan Khansa dan Gladys berdua.

"Elo kenapa sih?" Khansa melembutkan suaranya. Ia tahu kalau ia ikutan emosi, maka Gladys takkan mau bercerita kepadanya. Bahkan bukan mustahil dia akan kabur ke tempat lain.

"Sa, bokap nyokap nyuruh gue menikah, setelah elo dan bang Ghif menikah nanti." Kirana terbelalak mendengar ucapan sahabatnya ini. "Gue dikasih waktu 2 bulan untuk mencari calon suami dan dalam waktu 6 bulan gue4rqsw sudah harus menikah."

"Ah, elo pasti bercanda ya? Bang Ghif kok nggak cerita apa-apa. Terus bang Gibran gimana? Dia nggak papa elo langkahin?"

"Bang Ghif belum tau soal ini, Sa. Dari kemarin siang gue belum ketemu dia."

"Kok bisa tiba-tiba mami papi nyuruh elo kawin? Mereka kan tahu kalau elo lagi nggak punya pacar."

"Ini semua gara-gara eyang Tari."

"Kok gara-gara eyang Tari? Eyang kan lagi dirawat di rumah sakit. Apa hubungannya sama elo disuruh nikah?" tanya Khansa tak mengerti.

"Eyang nyuruh gue kawin dalam waktu 6 bulan." jawab Gladys pelan. "Itu kan nggak mungkin, Sa."

"Kenapa nggak mungkin?Jangan bilang elo belum siap dan sebagainya. Gue sudah hafal sama alasan-alasan lo. Elo tuh bukan anak remaja lagi, Dys. Sudah saatnya mulai serius memikirkan masa depan lo."

"Omongan lo sama aja kayak papi mami. Kalian bersekutu ya?" tanya Gladys kesal.

"Bukan bersekutu, tapi memang itu suatu hal yang elo nggak bisa hindari lagi Dys. Apalagi ini permintaan eyang. Memangnya elo nggak mau membuat eyang bahagia di usia senjanya ini? Elo tau kan kalau eyang sayang banget sama elo? Apakah susahnya sih membahagiakan orang yang elo sayang? Berpahala tau."

"Iya sih, tapi... waktunya itu lho Sa. Mepet banget. Cuma 6 bulan. Mami malahan memperkeruh suasana dengan memberi waktu hanya 2 bulan buat mencari calon. Lo bayangin, 2 bulan buat cari calon pendamping hidup. Untuk jatuh cinta aja butuh waktu lebih dari itu, Sa." oceh Gladys sambil berjalan mondar mandir. Khansa hanya diam memperhatikan sahabatnya yang sedang gusar. Berdasarkan pengalamannya bersahabat dengan Gladys selama ini, biarkan saja dulu dia mengomel sampai lelah. Kalau sudah lelah baru dan mereda omelannya, baru deh dikomentari.

"Neng Adis nggak capek dari tadi mondar-mandir?" tanya Vina yang membawakan pisang goreng yang masih hangat dan teh manis. "Nih, ambu bikinin pisang goreng dan air jahe kesukaan neng Adis. Tenang, makan satu dua potong pisang goreng ambu nggak akan bikin neng Adis menggendut."

"Makasih ambu." Gladys duduk dan mencomot satu pisang goreng yang disediakan Vina.

"Neng Adis, maaf nih tadi ambu nggak sengaja mendengar omongan neng Adis soal mencari calon suami. Kenapa nggak sama si kasep wae? Kayaknya orangnya baik dan bertanggung jawab. Ganteng lagi." Ucap Vina. "Kalo ambu masih muda, ambu mah nggak bakal nolak disuruh nikah sama si kasep."

"Ih, ambu apaan sih. Adis kan sudah5dtf bilang kalau dia itu bukanda siapa-siapanya Adis. Kenal juga nggak."

"Masa sih nggak kenal. Ambu dengar lho waktu dia bilang kamu itu imut. Menurut ambu, secara tidak langsung dia itu memuji kamu."

"Ah, itu mah cara dia bilang kalau aku itu pendek, ambu." Sahut Gladys. Wajahnya memerah bila mengingat kejadian di resto Vina sebulan yang lalu.

"Neng Adis tahu adik ambu yang sekarang tinggal di Malaysia?"

"Om Aden, Mbu?" Vina mengangguk. "Yang istrinya cantik badai itu kan?"

"Iya Dys. Yang istrinya orang Malaysia itu lho," imbuh Khansa. "Hmm.. kayaknya Khansa tau nih apa yang ambu akan ceritain."

"Ada cerita apa sih, Mbu?" Tanya Gladys penasaran. "Mereka tuh bucin banget kan, Mbu. Waktu tahun lalu ketemu mereka, pas kita ke KL, kita sempat meledek om Aden dan tante Liza. Kita sampai gerah sendiri melihat betapa bucinnya mereka satu sama lainnya."

"Neng Adis percaya nggak kalau dua tahun lalu mereka itu musuh bebuyutan."

"Masa sih, Mbu?" Tanya Gladys tak percaya. "Segitu bucinnya mereka, dulunya musuhan?"

"Iya, kayak kamu dan si kasep gitu neng."

"Ah, ambu mah ngada-ngada. Manusia model si tukang kue gitu mana mungkin bisa jadi bucin kayak om Aden."

"Eh, neng Adis henteu percaya sama omongan ambu? Sok lah, kapan nanti neng Adis coba telpon si Aden dan Liza. Mereka pasti akan membenarkan cerita itu."

"Tapi Mbu, Adis tuh nggak suka sama si tukang kritik itu. Cuma tukang kue yang nggak jelas kerjaannya aja kok berani-beraninya mengkritik Adis. Ih, amit-amit deh kalau harus jadian sama dia."

"Hush.. neng Adis nggak boleh ngomong begitu. Itu mah sama aja neng Adis meng-underestimate orang lain. Sa, benarkan istilahnya begitu? Ambu nggak ngerti bahasa Inggris tapi sok bisa ya," Vina tertawa sendiri mendengar ucapannya. Khansa mengangguk membenarkan ucapan ambunya. "Adis yang ambu kenal mah nggak bakal bersikap kayak gitu. Adis yang ambu kenal tuh orangnya penyayang dan selalu menghormati orang lain walau dari tingkat sosial yang berbeda."

"Sejak ketemu sama Banyu, sifat jelek Gladys keluar semua, Mbu." Timpal Khansa yang dari tadi diam saja mendengarkan ambunya ngobrol sama Gladys.

"Sialan lo, Sa. Calon ipar terkutuk lo. Jangan percaya omongan Khansa, Mbu."

"Iyalah, nyokap gue mah nggak bakal percaya sama gue. musyrik kalau dia sampai percaya sama gue. Percaya tuh sama Allah." Balas Khansa.

"Tapi nggak tau kenapa, hati kecil ambu teh bilang kalau kalian tuh bakal jadian. Entah bagaimana caranya." Lanjut Vina serius. Gladys tercenung mendengar ucapan Vina.

"Cieeee... mulai mikir nih kayaknya. Eh, tapi itu ide yang bagus lho, Dys. Kalau sampai sebulan ini elo nggak bisa menemukan calon suami, elo dekatin dia aja."

"APA?! MENDEKATI SI TUKANG KRITIK?! NO WAY!" Tolak Gladys cepat. "Nggak ada dalam sejarah hidup gue, jadian sama tukang kritik kayak begitu."

"Jangan menolak dulu, Dys. Banyu itu ganteng lho. Kata abang lo dia juga orangnya bertanggung jawab banget. Dia itu sudah bertahun-tahun bekerja membantu ibunya mencari nafkah buat membiayai hidup mereka."

"Kenapa gitu? Memangnya dia nggak punya ayah yang bisa membiayai hidup mereka?" Tanya Gladys mulai penasaran.

"Kalau menurut cerita bang Ghif, orang tuanya bercerai saat dia SMA. Sejak itu dia membantu mencari nafkah. Ibunya kan cuma guru madrasah. Adik dia ada 2 orang." Gladys terkejut mendengar cerita Khansa tentang  Banyu.

"Kenapa nggak minta bantuan sama ayahnya? Memangnya ayahnya miskin?"

"Nggak juga. Menurut cerita bang Ghif, keluarga mereka cukup berada. Tapi sejak orang tuanya bercerai, Banyu nggak mau meminta bantuan ayahnya. Entah apa alasannya. Mungkin lo bisa cari tau dari bang Gibran. Sampai sekarang mereka kan masih sahabatan."

Gladys kembali termanggu setelah mendengar cerita Khansa. Entah kenapa ada rasa bersalah di sudut hatinya karena sudah menilai Banyu seperti itu. Dia nggak menyangka jalan hidup Banyu seperti itu. Ah, tapi apa peduli gue, pikirnya. Mau dia orang kere, mau dia orang kaya, gue nggak suka dengan cara dia mengkritik gue.

"Mbu, kayaknya ada yang mulai tergerak nih hatinya," sindir Khansa. "Kalau penasaran, coba mengenal lebih jauh aja, Dys."

"Ogah banget gue mencari tahu soal manusia yang satu itu. Kenal juga nggak kok berani-beraninya mengkritik gue."

"Tapi dari semua cowok yang pernah pdkt sama elo, cuma dia lho yang berani jujur dan berani mengkritik elo. Gue rasa itu bagus buat mengimbangi elo, Dys. Supaya elo bisa menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi daripada sekarang."

"Jadi menurut lo sekarang ini gue bukan manusia baik?" Tanya Gladys mulai tersinggung. Wajahnya memerah menahan marah. Vina menyenggol Khansa. Mereka sudah hafal tabiat Gladys. Bila diteruskan maka Gladys bisa ngambek berhari-hari dan yang lebih gawat lagi Gladys bisa kabur lebih jauh lagi.

"Neng Adis, kita sarapan dulu yuk. Si abah mungkin sudah selesai mandi dan nungguin kita di meja makan. Ambu teh sudah masak makanan kesukaan neng Adis." Vina langsung mengalihkan pembicaraan. "Nanti habis sarapan, kita jalan-jalan ke taman yuk. Kalau hari Sabtu Minggu pasti rame deh. Banyak tukang jajanan."

"Yang benar Mbu? Wah Adis sudah lama nggak main ke taman. Eh, tapi Adis nggak bawa baju olahraga."

"Pakai baju gue aja, Dys. Biasanya juga gitu. Eh, nanti malam kita ajak anak-anak kesini yuk. Kita barbecue-an. Sudah lama juga kan kita nggak kumpul-kumpul. Nanti dari taman kota kita mampir ke pasar buat beli jagung. Ba'da dzuhur kita ke supermarket buat beli daging. Gimana ide gue?"

"Wah, boleh juga tuh ide lo. Oke deh. Sekarang gue mau sarapan dulu ah. Gara-gara urusan kawin, dari malam gue nggak makan." Vina dan Khansa tersenyum lega berhasil mengalihkan perhatian Gladys.

⭐⭐⭐⭐