Tempat dimana pertemuan diadakan, yang dinamai Vanilla Room, sudah penuh terisi para petinggi manajemen ketika Rania tiba. Suasana agak berisik karena dipenuhi berbagai pembicaraan di antara mereka. Saat itu ternyata hanya ada satu kursi tersisa. Tak ada pilihan lain, Rania harus duduk di situ.
Sialnya, si pria gunung es, si tua nan tampan, ternyata duduk di sampingnya.
Antara ragu, terpaksa, dan enggan, Rania menarik kursi dan mencoba duduk. Dan menyadari bahwa ia perlu bersikap biasa, ia pun mau tak mau menyapa orang-orang di sekitarnya. Termasuk Verdi yang masih tetap ngotot meminta dirinya dipanggil ‘Pak.’
‘Maunya dipanggil Pak Verdi atau Mbah Verdi atau Eyang Verdi? Supaya dianggap lebih senior? Dituakan? Dianggap penting? Cih, menyebalkan….”
Saat itu ia juga mendadak menyadari bahwa sebuah laptop telah berada di meja di depannya. Melihat nomor inventaris berupa stiker tiga angka yang tertempel, ia segera mengetahui siapa pemilik laptop itu.
"Lho. Siapa yang naruh laptopku di sini?"
Pertanyaan itu retoris saja sebetulnya. Tapi Roweena yang duduk di sebelah kirinya gatal untuk segera menjawab.
"Itu kan tadi dibawa sama si..."
"Vonny."
Ucapan terakhir yang memotong kalimat Roweena keluar dari mulut pria di sebelah kanannya, Verdi.
"Vonny tadi yang bawa ke sini."
Rania menoleh ke arah Verdi. Pria itu tidak menoleh ke arahnya melainkan dengan tajam menatapi laptopnya sendiri. Roweena sendiri yang melihat bahwa omongannya diputus oleh Verdi hanya tersenyum-senyum penuh arti.
"Oh. OK."
Rania membuka laptop yang ternyata hanya dalam kondisi sleep dan mengutak-utik sesaat. Matanya bersinar ketika mengetahui bahwa masalah dalam laptopnya telah diselesaikan.
“Ngikut rapat pertama saja sudah terlambat.”
Suara Verdi kembali terdengar. Walau tidak terdengar ketus seperti biasa dan terucap perlahan tapi Rania masih merasa bahwa pria itu lagi-lagi mengusik dirinya.
"So what? Lagipula aku nggak telat karena boss besar belum dateng."
Jawaban Verdi terlontar tak kalah perlahannya. "Aturan main di sini beda. Biarpun boss besar belum dateng tapi kalo jamnya udah lewat kamu tetap dianggap telat. Ada yang nyatet lho, dan itu..."
"Kalau memang aku telat, itu bermasalah buatmu?" akibat merasa mulai terintimidasi, Rania kini benar-benar tak bisa membendung kekesalannya. Ia sudah nekad kalau pun harus diomeli ia siap.
"Nggak, Ran. Nggak. Itu bermasalah buat di-ri-mu. Sebentar lagi akan ada orang yang nyinyir dengan keterlambatanmu dan itu bisa mempengaruhi penilaian atas kamu. Ingat, kamu tuh masih di probation period."
"Aku memang masih di masa percobaan dan rawan dipecat kalau prestasiku nggak performed. Tapi kupikir ucapanmu itu omong kosong. Cuma terlambat sebentar dan GM pun belum hadir masa' sih bisa dinyinyiri? Itu namanya bullshit. Di perusahaan kelas dunia seperti ini aku yakin nggak ada aturan seperti begitu."
"Berani taruhan bahwa kamu gak bakal dinyinyirin?"
Ini benar-benar sebuah tantangan bagi Rania. Dan Verdi sepertinya sudah terasa makin menjengkelkan. Rania menyandarkan punggung dan berkata secara lirih yang ia yakini Verdi masih dapat mendengarnya.
“Yang kalah traktir makan siang.”
Rania tercekat. Dalam hati ia terpekik girang karena Mama baru saja mentransfer uang saku yang mungkin akan menjadi yang terakhir baginya sebelum ia mulai hidup dengan gajinya yang lumayan besar di akhir bulan. Artinya, kalau pun ia kalah, ia siap. Rania jelas terlalu gengsi untuk menampik tantangan orang itu.
“Siapa takut?”
"Deal."
"Bukan cuma untuk kita berdua tapi seluruh departemen."
"Aku bilang: siapa takut?"
Perbincangan seru namun dengan suara serba lirih antara keduanya masih terus berlanjut.
"Sudah lama aku nggak ke Pizza Cafe."
"Aku lebih suka Sari Kuring."
"Pizza."
"Sari Kur...," Verdi berhenti seketika. "Aku capek kita berantem melulu. Kita suit aja deh. Gunting batu kertas, gitu."
"Suit? Idih, udah belasan tahun kali aku nggak pernah suit."
Roweena yang menguping diam-diam merasa lucu ketika melihat Rania dan Verdi kini bertingkah bak bocil yang melakukan suit hanya karena tak ada satupun yang mau mengalah. Saat melihat mimik kegirangan di wajah Rania, ia tahu bahwa Verdi berada di pihak yang kalah.
"Aku menang, jadi pilihannya adalah Pizza. Dan satu hal lagi. Sebagaimana disepakati, tawaran makan siang bersama bukan hanya untuk kita berdua tapi juga untuk kamu dan semua anggota tim. Jadi ini yang harus kamu laksanakan dalam mend..."
Mendadak, sebuah bentakan terdengar memenuhi ruangan.
"Silent!!!!"
Rania menoleh dan bertatapan mata langsung dengan seorang wanita yang duduk di meja seberang. Wanita itu cantik, berambut sangat ikal, langsing, dengan usia hanya terpaut beberapa tahun lebih dewasa. Di hari kesekian ini ia sudah banyak mengenal beberapa pemimpin departemen kendati hanya sekedar mengenal nama. Ia juga sudah beberapa kali mendengar tentang wanita tersebut. Namanya Renty. Dengan posisi sebagai seorang Import Manager itu artinya ia berada di level yang sama dengan Rania selaku Export Manager. Karena sama-sama berada pada Divisi Logistik dimana mereka bernaung, Edwin lah yang menjadi atasan mereka.
Di antara sekian banyak manajer, bisa jadi wanita lajang itu yang paling sarat dengan gosip. Mulai dari gosip anak emas sang GM, memanggil atasan dengan sebutan nama kecilnya, promosi ke jenjang lebih tinggi dalam waktu singkat, acap bermain mata dengan penyedia jasa, pengadu-domba, dan banyak lagi.
Rania hanya menatapi ketika Renty masih meneruskan teguran. Intonasi suaranya makin mengeras. Terlihat jelas bahwa Renty terganggu dengan suasana yang makin gaduh.
“Berisik amat! Bisa tenang sedikit? Boss nggak suka suasana berisik seperti gini! Ambil keq kegiatan lain..."
Orang-orang yang mengikuti seruan tadi spontan terdiam. Rania juga menurut dengan harapan Renty berbicara cukup sampai disitu. Tapi dugaannya salah. Gerutuan kecil masih sempat terlontar. Hebatnya, gerutuan itu kini malah dicetuskan Renty sambil tajam menatap dirinya.
“Elo juga. Orang baru tapi belum apa-apa udah berisik.”
Wajah Rania mendadak merah padam. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Verdi mencondongkan kepala sedikit ke arah Rania dan berkata dengan setengah berbisik.
"I told you..."
Verdi benar. Pria itu sudah memberi peringatan sebelumnya tentang akibat yang dialami saat terlambat tiba di meeting. Di lain pihak, Renty yang melihat ulah Verdi membisiki sesuatu ke Rania, kembali meradang.
"Kenapa, Ver? Keberatan dengan sikap gue?"
Pertanyaan itu hanya dijawab Verdi dengan mengembangkan kedua tangannya sambil mengangkat bahu. Para manajer lain yang mendengar gerutuan Renty nampak lebih memilih bersikap diam atau berpura-pura sibuk. Jelas bahwa mereka tidak ingin mencari masalah.
Tak lama, Sanjay Rajha memasuki ruangan rapat. Suasana ramai makin mereda saat melihat kehadiran sang GM. Rapat pun langsung dimulai. Sebuah rapat yang agenda utamanya adalah pembahasan kemungkinan tambahan investasi untuk perluasan kapasitas pabrik, mega order dari Thailand, dikuti dengan presentasi singkat beberapa manajer tentang situasi terkini.