webnovel

Mencintaimu Salahkah Aku

Mencintaimu salahkah aku? Kata orang lebih baik dicintai daripada mencintai. Menurutku sendiri dua pilihan itu sangat sulit. Kalau kita mencintai seseorang kemungkinan besar orang tersebut enggak akan membalas perasaan kita. Tapi kalaupun dicintai giliran kita yang sulit untuk mencintai orang tersebut. Perasaan itu datang secara tiba tiba tanpa ada undangan, tanpa kita tahu orangnya itu siapa. Salah memang mempertahankan perasaan dengan seseorang namun cinta ini bertepuk sebelah tangan.

Mawar_Biruku02 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
277 Chs

Pertama Kali Bertemu

Hai perkenalkan namaku Lisa Ambarwati, anak bungsu dari 3 bersaudara. Di umur yang di katakanlah sudah mulai untuk merencanakan masa depan. Tapi justru Lisa masih memikirkan perasaan yang tak terbalas alias bertepuk sebelah tangan. Sakitnya rasanya cinta yang tak berbalas.

Dia tahu sangat tahu kalau aku mencintai dirinya tapi dia mengabaikan perasaanku. Jangankan untuk memberi harapan, menyapaku pun dia tak mau. Salahku memang masih berharap dengan dia. Dua tahun sudah perasaanku untuknya. Laki laki yang selalu ku sapa setiap kali aku main ke rumah sahabatku.

Yaps! Orang itu tak lain adalah kembarannya dari sahabatku. Ali Aditya Utama mempunyai kembaran yang bernama Aisyah Amalia Sari. Berkali kali Aisyah selalu bilang padaku untuk enggak berharap dengan kembarannya itu. 

Bila cinta bisa kita atur akan aku pilih laki laki yang bisa ku cintai dan mencintaiku kembali. Aku dan Aisyah bersahabat sejak bangku kuliah semester satu. Awal pertemuan kami sangat lucu.

***

Flashback

Ospek paling di benci oleh semua maba (mahasiswa baru). Selalu di suruh sama kakak tingkat, membawa perlangkapan yang aneh aneh. Intinya rasa malu harus di simpan agar enggak mudah baper.

"Buk, aku mau berangkat dulu ya sudah mau telat nih. Assalamualaikum." ujar Lisa sambil mencium tangan Ibu.

"Tan ini loh caping kamu ketinggalan." teriak Ibu sambil memanggil anaknya.

Sampainya digerbang kampus aku merasa seperti ada yang kurang tapi apa ya. 

Astagfirullah capingnya ketinggalan di rumah. Panik dong bentar lagi mau mulai lagi ospeknya. 

Mondar mandir ke sana kemari berharap Ibuk mengantarkan capingnya. Tapi Ibuk tak kunjung datang, dan ternyata ospek sudah dimulai. Aku cuman bisa pasrah kalau emang dihukum dihari pertama ospek.

"Bagi siapa saja yang perlengkapannya belum lengkap entah itu alasan lupa, ketinggalan, enggak ada yang jual bisa maju ke depan semuanya." ucap Ketua Dema dengan tegas.

Aku maju ke depan dan banyak dari temen-temen yang perlengkapannya belum lengkap. Banyak sekali pengandaian di pikiran ini. Mau di hukum apa pun aku yang lagi berdiri di sini pasrah. Emang aku juga yang salah karena enggak displin.

"Baru jadi calon mahasiswa dan mahasiswi aja kayak gini. Enggak ada displinnya sama sekali. Apa lagi nanti jika sudah mulai perkuliahan. Mau dibawa kemana bangsa ini kalau penerusnya saja seperti kalian." bentak Ketua Bem dengan pengeras suara. "Sebagai hukumannya kalian semua mengucapkan pancasila sebanyak 30 kali. Kalian siap?"

Astagfirullah ini hukuman gini amat nanti kalau pegel, capek, haus gimana. Mudah mudahan aja enggak ada yang pingsan dah. Kasihankan kalau ada yang sakit nanti yang capek juga para kakak tingkat ini harus bawa mahasiswa yang berjatuhan dilapangan.

"Hukuman kok gini amat ya kak, masak di suruh menghafalkan pancasila kayak anak SMP aja. Adiku juga bisa kali di hukum sambil merem mah." gerutu perempuan di sampingku.

"Iya bener banget kak, kalau ada yang pingsan gimana kan kasihan." ujarku

Setelah semuanya selesai dengan hukuman ini. Kami di perbolehkan kembali ke barisan, otomatis dapet barisan paling depan. Aku canggung harus apa, enggak kenal dengan ribuan orang orang disini. Mau kenalan juga malu tapi kalau enggak kenalan aku enggak dapet temen.

"Hai kita belum kenalan ya, kenalin nama gue Aisyah Amalia Sari. Kalau di rumah sering di panggil Icha. Nama kamu siapa?"

"Ouh iya hai kalau aku namanya Lisa Ambarwati di panggil Lisa. Senang berkenalan dengan kamu. Kamu ambil jurusan apa Sya?"

"Aku ambil jurusan Ekonomi Lis, kalau kamu apa?"

"Ouh sama dong ya, aku juga Ekonomi."

***

Flash On

Dari hukuman itulah aku dan Aisyah berteman. Orangnya ternyata asik dan ramah pula, semua tingkah laku dia semuanya bikin lucu. 

Mulai dari dia yang ingin ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) musik tapi suara dia pas pasan dan akhirnya enggak jadi ikut. 

Semangat dia yang mau nembak laki laki tapi enggak jadi karena sebelum di tembak laki laki itu udah punya tunangan.

Ada aja lah tingkah lakunya sampai aku baru tahu kalau dia ternyata punya kembaran. Kembarannya ambil jurusan di Pendidikan. 

Itupun aku baru tahu kalau ternyata Aisyah punya kembaran saat aku main ke rumah dia. Dari sanalah perasaan itu tumbuh tanpa aku bisa cegah sama sekali.

Pagi ini seperti biasa sebelum berangkat kerja aku selalu menyempatkan untuk berolahraga, apalagi di musim cuaca yang tak menentu mengakibatkan orang mudah jatuh sakit. Harus bisa menjaga kesehatan diri dengan sebaik mungkin.

Akupun demikian tak mau kalah dengan yang lain. Selepas shalat shubuh aku berlari kecil mengitari rumah.

"Lis, cepat buruan mandi bentar lagi mau jam 06.00 kamu kan mau berangkat kerja." peringati Ibu.

"Iya Bu, ini juga udah mau selesai kok." teriaku.

Hanya membutuhkan waktu selama 10 menit akhirnya kegiatan mandipun terselesaikan. Saatnya merias diri dengan make up senatural mungkin. Karena aku enggak suka kalau make up tebal, hanya polesan bedak dan lip gloss.

"Hari ini Ibu masakannya selalu top markotop dah. Buka cafe aja yuk Buk." ujarku sambil mencopot rendang di depan.

"Nanti aja lah nunggu anak Ibuk ini nikah dulu baru deh buka cafe."

"Dih, apa hubungannya kali Buk nikah sama buka cafe? Enggak nyambung Ibuku sayang."

"Iya tentu ada dong Lis, kalau kamu nikah kan otomatis rumah ini sepi. Baru deh Ibu buka cafe biar Ibu ada kesibukan dan rumah enggak sepi." jawab Ibu menatapku dengan gemas.

"Bener tuh apa kata Ibumu Lis, cepatlah nikah dan buruan move on dari si Ali. Ayah tahu dia enggak akan membalas perasaan kamu." tatap Ayah dengan sedih. 

Kalian pasti heran kenapa Ayah dan Ibu bisa tahu soal perasaanku sama Ali bahkan kedua abangku juga tahu kok. 

Karena Ayah dan Ibu selalu mengajarkan pada kami untuk selalu terbuka apapun itu masalahnya, mau itu masalah soal kerja, teman, keluarga sendiri dan perasaan dengan lawan jenis.

Setiap bahas soal Ali aku sedih sampai kapan rasa ini harus berhenti dengan dia. Akupun juga mau dia membalas perasaanku tapi aku juga susah buat move on. 

"Oke Ibu, Ayah ini sudah mau jam setengah 7 dan saatnya Lisa berangkat kerja. Kalau nanti terlambat si abang bakal ngomel sehari semalam." ujarku mengalihkan pembicaraan.

Aku bekerja di sebuah desain grafis yang letaknya lumayan jauh kalau dari rumah mungkin membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit.

Desain grafis ini milik abang pertamaku yaitu Abang Dito Winaryo.