webnovel

Wawancara Pertama Bersama Eggi

"Iya, tapi kan itu di luar daftar?" Jawab Judith Ragu.

"Ya memang! Tapi, ini kan cuma alasan saja, supaya loe bisa deketin dan mencari tahu, apa yang dia lakukan setelah menerima warisan berlimpah dari Pamannya itu." Lina jadi kelihatan bersemangat.

Judith melongo. Otaknya berpikir keras dan hatinya menimbang-nimbang. Lina sangat peduli kepada mendiang Bos-nya itu. Lina banyak berhutang Budi sama beliau. Oleh karena itu dia bersikeras.

"Iya dehh, nanti aku pikir-pikir dulu!" Judith mengangguk.

"Hiks makasih banget! Loe emang temen terbaik!" Lina memeluk Judith.

"Kan aku belum memastikan. Di bilang di pikir-pikir dulu!" Judith mengingatkan.

"Segitu juga aku udah seneng dan merasa tertolong!" Sahut Lina.

"Hmmm, berarti...kalau memang suatu hari gue mau wawancara Pak Rudy, itu harus tanpa sepengetahuan Eggi." Judith mengerutkan keningnya.

"Eggi yang tukang bikin game itu?" Tanya Lina.

Judith mengangguk.

"Memangnya kenapa dengan dia?" Lina heran.

"Dia kan jadi partner gue ikut wawancara orang! Katanya untuk kepentingan riset pasar game dia." Jawab Judith sambil menyemil roti yang tadi di belikan oleh Eggi.

"Haahh! Kok bisa begitu?" Lina juga jadi heran.

"Bisa. Dia minta ijin sama Madam, ikut gue wawancara. Madam udah setuju." Kembali Judith mengangguk.

"Ya sudah! Kalau entar jadi wawancara ke Pak Rudy, jangan sampai Eggi tahu, deh! Biar nggak jadi ribet." Lina setuju.

Sebenarnya, Judith ragu akan semua ini. Tapi, demi melihat sahabatnya memohon-mohon, bagaikan seorang anak yang minta dibelikan cilok sama ibunya, akhirnya, Judith setuju.

"Tapi nanti, Yahh! Gue harus ngeduluin yang dalam daftar dulu. Loe yang sabar." Judith mengingatkan.

Iya deh! Makasih ya, udah mau bersedia bantuin gue!" Sekali lagi Lina berterima kasih sama sahabatnya.

"Ya udah, sekarang tidur aja deh! Besok kita kan harus pagi-pagi. Loe juga kelihatan lelah tuh!" Judith mengajak sahabatnya untuk beristirahat.

Lina mengangguk. Dia mencuci muka dan kakinya dulu, lalu ritual skincare yang tak pernah terlewatkan. Kemudian, kamar kostan itu sepi dengan cahaya temaram kerlap-kerlip dari lampu Tumbler yang menyinari. Hanya terdengar suara dengkuran halus yang silih berganti.

Esoknya, Judith lebih dulu bangun. Alarm di ponselnya menjerit-jerit dalam bahasa Korea,

"Chagiyaaaa!" Dengan volume yang menggetarkan telinga.

Anehnya, walau suara itu kencang, Ibu dan anak yang menumpang tidur di kamarnya itu, sama sekali tak terbangun dan tetap tertidur lelap.

"Kalian kecapean, Ya! Sampai tidur juga ngebangke!" Judith mengacak rambutnya yang baru saja di keramas.

"Heran! Dengan suara hair dryer-pun mereka berdua masih tetap ngorok?" Judith benar-benar heran.

Judith menghampiri ranjang, dia mengguncang lembut tubuh sahabatnya itu.

"Lin...Lina! Loe nggak akan kerja?" Tanya Judith.

"Hoahmmm, libur! Skr kan acara pemakaman." Jawab Lina masih tetap menutup matanya.

"Owhh ya sudah! Gue keluar dulu gawe, Yah! Bentar lagi Eggi jemput. Jangan lupa, kunci pintunya!" Judith mengingatkan.

"Huum!" Lina menjawab dengan gumaman tak jelas.

"Ya sudah!" Judith cepat-cepat keluar dari kamar kostannya diikuti oleh Lina.

Setelah Judith keluar, Lina cepat-cepat mengunci pintu dan melanjutkan tidurnya.

"Hai!" Judith menyapa Eggi, lalu masuk ke mobilnya.

"Gimana tidurmu? Nyenyak?" Tanya Eggi.

"Lumayan. Lina pulang malam, dia sama Jodi masih tidur tuh!" Jawab Lina.

"Udah sarapan?" Tanya Eggi sambil menyetir dengan hati-hati.

"Tadi minum susu sama makan roti yang kemaren nyisa itu!" Jawab Judith.

"Makannya entar aja sekalian makan siang kalau begitu. Lokasi sekarang lumayan jauh! Macet juga." Kata Eggi.

Judith mengangguk. Dia mencuri pandang dengan sudut matanya. Hari ini, Eggi nggak memakai kaca mata seperti biasanya. Kali ini, dia mengenakan softlense. Eggi mengenakan kemeja berwarna navy dengan celana jeans cargo warna abu-abu gelap.

Kali ini, sepatunya memakai model resmi berwarna hitam. Sederhana, namun tampak elegan. Wajahnya bersih habis bercukur, rambutnya juga tersisir dengan rapi. Aroma maskulin tercium dari tubuhnya yang nampak segar bugar.

"Ganteng sih! Wangi juga!" Judith memejamkan mata menghirup aroma menyenangkan dari pria di sebelahnya.

Eggi menoleh saat Judith memejamkan matanya. Penampilan gadis itu seperti biasanya. Sederhana dan casual. Judith mengenakan celana kulot berwarna krem, blouse tangan panjang berwarna coklat, juga flatshoes dengan warna senada.

Sekali melihat, Eggi sudah tahu harga barang-barang yang di kenakan oleh Judith. Rupanya, gadis ini lebih mementingkan brainly daripada barang bermerek. Eggi tersenyum dengan sudut bibirnya.

"Besok-besok, kalau wawancara lagi. Penampilannya harus lebih berkelas!" Eggi hanya berani berkata dalam hati.

Jika dia mengatakannya langsung kepada Judith, Eggi khawatir Judith bakalan nabokin dia make tas ransel hitamnya yang di penuhi pin sama peniti.

"Beuhh, jalanan ke Setiabudhi kok macet begini sih?" Judith terbelalak.

"Sudah langganan kali!" Eggi nampak memperhatikan lalu lintas lewat spion kanannya.

Setelah setengah jam merayap di kemacetan. Akhirnya tiba juga mereka di kediaman seorang pria bernama Taufik Wahyudi, seorang pria pintar yang katanya salah satu idaman para wanita.

"Selamat datang, Nona Judith!" Sapanya ramah.

"Dan ini?" Pria bernama Taufik Wahyudi memandang kepada Eggi.

"Ini partner saya, Pak Eggi Hamdani!" Judith memperkenalkan mereka.

Kedua pria itu bersalaman sekedar formalitas. Terlihat dari raut wajah Eggi, dia sama sekali tidak menyukai pria berusia hampir empat puluh tahun ini.

Wajahnya memang lumayan tampan, walau perawakannya cukup besar. Secara keseluruhan, pria ini termasuk enak di pandang mata.

"Silakan duduk! Mau minum apa?" Taufik bertanya kepada keduanya.

"Teh manis saja!" Sahut Judith.

"Sama dengan rekan saya!" Eggi menjawab setelah pria itu menoleh padanya.

Taufik Wahyudi memanggil pembantunya agar menyiapkan minuman. Seleranya terhadap interior ruangan cukup bagus. Semua furniturenya, keluaran model terbaru yang di tata dengan apik dan cantik.

"Sambil menunggu, bolehkah saya memulai wawancaranya sekarang?" Tanya Judith ramah.

"Ahh, Ya Silakan!" Jawabnya dengan raut wajah penuh kebanggaan.

"Coba ceritakan awal mula hingga bapak bisa menjadi sukses dan menjadi impian para wanita?" Tanya Judith.

Eggi melirik pada Judith. Dahinya mengkerut.

"Busett deh, pertanyaan nggak berbobot amat!" Keluh Eggi dalam hati.

"Jadi begini,...." Pria bernama Taufik Wahyudi itu menceritakan kisah hidupnya dari A sampai Z.

Dia terus nyerocos, kecuali saat minuman sudah di hidangkan oleh pembantu di meja.

"Jadi, karena rajin dan bekerja keras tanpa henti, saya bisa menguasai bisnis ini." Katanya dengan bangga.

"Wahhhh, itu keren sekali, Pak! Ehh, ngomong-ngomong...Bapak bisa berenang nggak?" Tanya Eggi tiba-tiba sambil bertepuk tangan.

"Apa?" Taufik Wahyudi memandang tajam kepada Eggi, karena merasa pertanyaannya konyol.

Judith menoleh kepada Eggi dan hampir saja membuat bola matanya melompat keluar.

"Itu, berenang! Yang kayak begini, niihh!" Eggi menirukan gerakan orang yang sedang berenang dengan raut wajah konyol.

Wajah Judith langsung memerah karena malu.