webnovel

MENGHINA TAPI TAK TAHU BATASAN

"Baik lah, bila Bapak memaksa ingin tahu, letak meja balkon berada di sana!" Tangan pramusaji itu menunjuk arah samping kiri Ethan, tapi wajahnya memandang ke arah lain sambil berusaha menahan tawa. "Saya permisi dulu," pungkasnya dan segera pergi menjauh sambil tertawa cekikikan.

Sesekali ia menengok ke arah Ethan dan pakaian yang ia kenakan, diam-diam ia merasa kasihan pada Ethan yang menurutnya terlihat seperti ayam yang tersesat di kandang merak.

Tak ada pilihan lain, Ethan pun berjalan ke arah yang ditunjuk oleh pramusaji itu. Meski sedikit heran dengan tingkah aneh pramusaji tadi, Ethan tak begitu ambil pusing karena sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.

Bruk!

Tanpa sengaja Ethan menabrak seorang wanita muda yang berjalan dari arah yang berlawanan. Sedikit minuman dalam gelas wanita muda itu tumpah mengenai setelannya.

"Duh, gimana sih. Kalau jalan itu matanya dipakai dong!" Wanita itu mengipasi bajunya yang basah dengan tas tangan yang berwarna senada dengan bajunya.

"Maaf, Nona." Hanya itu yang bisa Ethan ucapkan.

"Sial!" Selesai memaki Ethan, wanita muda itu langsung pergi dengan terburu-buru tanpa menjawab permintaan maaf dari Ethan.

"Hhh..." Ethan menarik napas panjang dan kembali berjalan menuju arah yang tadi ditunjukkan oleh pramusaji dengan lebih berhati-hati.

Benar juga, di hadapannya tertulis besar-besar dengan huruf berwarna keemasan, Private Balcony.

Pantas saja pramusaji tadi tertawa, sebab ternyata meja balkon yang dipesan Pak Danang bukan hanya sebuah meja. Tapi, sebuah ruang pribadi di balkon restoran. Balkon eksklusif yang menghadap langsung ke pemandangan kota dengan segala kesibukannya.

Ethan membuka pintu balkon dan semua kepala langsung menoleh kepadanya. Serentak semua orang di dalam ruangan itu berdiri, menghampiri Ethan dan menyalaminya.

"Tuan Ethan, lama tidak berjumpa." Pak Danang menjabat erat tangan Ethan dan menuntunnya untuk duduk di kepala meja. "Tuan, maaf. Sebentar lagi akan segera kita mulai, tapi saya perlu menunggu Maudy dulu. Berkas saya dibawa sama dia soalnya."

"Maudy siapa, Pak? Staf baru?" tanya Ethan pada Pak Danang, karena seingatnya staf inti Abraham Patlers Land tidak ada yang bernama Maudy.

"Putri saya. He he. Sebenarnya dia masih dalam tahapp magang. Sekalian belajar cara cari uang. Biar tahu juga bagaimana bapaknya kerja buat dia selama ini."

"Oke. Tidak apa-apa. Saya juga tidak sedang buru-buru."

Setelah semua orang menyalami Ethan, obrolan menjadi lebih santai. Beberapa pramusaji masuk ke ruangan mengantar minuman dan makanan kecil.

Beberapa saat kemudian seorang wanita muda dengan baju setelah datang memasuki ruangan.

"Maudy, akhirnya..." Pak Danang langsung menyambut putrinya. "Kenapa parkir mobil harus selama ini. Apa ruang parkirnya penuh?"

"Nggak penuh, kan aku parkir di bagian VIP. Tadi ada pria muda ceroboh yang nabrak aku di lobby restoran."

"Hah? Ceroboh gimana?"

"Ya ceroboh. Kayak orang bodoh gitu, jalan tapi matanya jelalatan ke mana-mana. Aku ditabrak sampai minuman aku tumpah kena baju. Terpaksa aku ke toilet dulu buat ngeringin bagian yang basah." Maudy terlihat emosi sekali karena orang itu telah membuatnya terlambat untuk acara rapat pertamanya dengan pimpinan sehingga ia lupa memelankan suaranya saat berbicara.

Seluruh ruangan mendadak sunyi dan semua orang memandang pada sosok Maudy. Gadis muda dengan rambut lurus sepunggung yang tergerai bebas. Dengan tubuh dibalut setelan trendi berwarna hijau lumut yang membuat kulit putihnya terlihat menyala.

Maudy mewarisi alis tebal ayahnya, tapi wajahnya memiliki aksen lembut dan rupawan yang kemungkinan diwarisi dari ibunya.

Maudy mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan terperanjat saat melihat pria muda yang tadi menabraknya juga ada di dalam ruangan privat itu.

Setelah terkejut sebentar, Maudy langsung menunjuk pada pria dengan pakaian paling sederhana di dalam ruangan yang tak lain adalah Ethan.

"Nah itu dia orangnya. Dia yang tadi nabrak aku. Kok bisa sih orang macam dia sampai di sini?" ucap Maudy sambil mengacungkan telunjuknya pada Ethan.

Seketika wajah Pak Danang pucat pasi. Sementara staf lain terlihat ngeri menunggu reaksi dari Ethan yang terkenal sebagai pimpinan yang tegas dan berdarah dingin.

"Sssttt... itu Pak Ethan..." bisik Pak Danang pada putrinya gemas.

Perlahan Maudy menurunkan tangannya dengan muka tertunduk. Wajahnya terlihat merah padam, semburat merah itu menyebar sampai ke telinga.

"Maaf, Pak. Saya..." ucap Maudy dengan suara bergetar.

"Sudah, lupakan saja. Apa sudah bisa kita mulai sekarang rapatnya, Pak Danang?"

"Eh, baik. Mari segera kita mulai." Pak Danang yang biasanya selalu cekatan dan berwibawa, jadi gagap karena kesalahan yang tadi dilakukan putrinya. "Langsung siapkan laporannya," desis Pak Danang pada Maudy.

Tidak sampai setengah jam, rapat sudah selesai dan dilanjutkan dengan acara makan. Selama makan, Pak Danang tak henti-henti melirik pada Ethan. Meski tadi Ethan bilang tidak apa-apa, tapi tetap saja Pak Danang takut kalau kesalahan kecil ini bisa mengakibatkan reputasi yang ia bangun selama ini jadi buruk.

Selesai makan, acara diisi dengan mengobrol santai. Ethan bangkit dari kursi dan membawa gelas minumannya ke tepi balkon. Sambil melihat kendaraan dan manusia yang hilir mudik di luar sana, Ethan menyesap teh chamomile dalam cangkir porselin di tangannya.

Pak Danang datang mendekatinya. "Tuan Ethan, saya sangat meminta maaf atas kesalahan tadi. Putri saya sungguh tidak tahu bahwa yang menabraknya itu adalah Tuan Ethan."

"Sudah, tidak apa-ap. Saya juga sudah maafin kok. Lagian tadi Maudy bagus kok bawain presentasinya. Saya puas," jawab Ethan santai sambil tetap memandang ke arah luar.

Melihat gelagat Ethan, Pak Danang jadi semakin percaya diri dan membuatnya melambungkan harapan andai saja Ethan mau menjadi menantunya.

"Baik. Terima kasih, Tuan. Sebenarnya, saya ingin merekomendadikan Maudy sebagai sekretaris pribadi Tuan Ethan bila Tuan berkenan." Selesai berkata begitu, Pak Danang langsung meneguk minuman dari dalam gelasnya banyak-banyak. Pipinya terlihat sedikit memerah.

"Oh. Terima kasih. Tapi untuk saat ini saya masih belum memerlukan seorang sekretaris pribadi."

"Oh iya, tidak apa-apa. Saya hanya mau Tuan Ethan tahu, kalau Maudy akan siap kapan pun Tuan Ethan membutuhkannya."

Acara siang itu berakhir saat matahari sudah mulai turun. Pak Danang terus merendengi Ethan.

Saat Ethan bersiap untuk pulang, Pak Danang langsung menawarkan Maudy untuk mengantarnya.

"Tuan Ethan pulang ke mana?"

"Ke rumah. Kenapa?"

"Iya ke rumah. Maksud saya arah rumahnya ke mana?"

"Panglima Polim."

"Oh, kebetulan Maudy juga mau ke arah sana. Sekalian saja, Tuan Ethan biar diantar sama Maudy."

Ethan melirik ke arah Maudy yang tengah mengobrol dengan staf lain. Maudy berdiri membelakanginya, menampakkan betisnya yang mulus, langsing, dan terawat.

Diam-diam Pak Danang memperhatikan arah pandangan Ethan.

"Hmmm..." Ethan masih juga belum menjawab tawaran Pak Danang.

"Baiklah, saya akan memberitahu Maudy bahwa Tuan Ethan akan pulang bareng sama dia," putus Pak Danang dengan semena-mena.

"Tapi, Pak..."

"Tenang, Tuan. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf dari kami."