webnovel

Enam

Jihan masih melihat gerak gerik Deno yang masuk ke hotel dan berbicara dengan penerima tamu.

"Centil banget asli tuh cewek." Ucap Jihan melihat Deno masuk ke dalam lift mengikuti penerima tamu yang berjalan lenggak lenggok.

Jihan tiba tiba saja turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam hotel membuat Zidan panik. Zidan segera berlari mengikuti Jihan dan melemparkan kunci mobil pada petugas di depan pintu.

"Mbak!"

Jihan tersenyum seram pada wanita di balik meja penerima tamu.

"Ruangan yang ada Pak Gibran di mana ya?" Jihan sempat melihat siapa yang menelpon Deno tadi. Awalnya ia tak tahu bahwa Pak Gibran yang menelpon sama dengan Pak Gibran yang ia kenal. Namun ketika Deno memminta diantar ke hotel tempat di mana Pak Gibran yang ia kenal menginap Jihan jadi yakin bahwa itu Pak Gibran yang sama.

"Maaf, apakah sudah ada janji sebelumnya?" Tanya wanita itu tersenyum.

"Saya istri dari klien yang tadi naik untuk ketemu Pak Gibran." Senyum wanita itu hilang. Zidan melotot di belakang Jihan.

"Atasan gua emang ga waras." Batinnya.

"Mari saya antar." Jihan berjalan di belakang wanita itu dengan wajah seriusnya. Ketika sampai di depan pintu kayu coklat dengan nomor 25 Jihan menghentikan tangan wanita itu yang hendak mengetuk pintu.

"Saya bisa sendiri, makasi ya."

Wanita itu pergi meninggalkan Jihan dan Zidan di depan pintu. Jihan di depan pintu diam menempel mendengarkan pembicaraan di dalam. Sedangkan Zidan hanya melihat tingkah atasannya yang aneh sejak kemarin.

Tak beberapa lama Jihan membuka pintu dan masuk sambil menyapa Pak Gibran.

"Kok kamu bisa ada di sini?" Tanya Pak Gibran tersenyum kaku.

"Tadi saya abis nganter tunangan saya ke sini, katanya dia mau ketemu sama Pak Gibran."

Pak Gibran melihat Jihan dan Deno bergantian. "Tunangan?"

"Iya Deno tunangan saya." Deno menarik tangan Jihan mendekat dengan keras.

"Jika masih ingin bernegosiasi silahkan hubungi saya kembali ya Pak Gibran, saya pamit." Dengan cepat Deno menarik tangan Jihan keluar ruangan dengan langkah besar hingga Jihan keteteran.

Zidan yang melihat hal tersebut menepis tangan Deno hingga terlepas. Namun, Zidan justru mendapatkan tatapan mematikan dari Jihan. Zidan pun menelan ludahnya takut dan perlahan menjauh.

Jihan kembali tersenyum dan meraih tangan Deno lalu meletakkannya di atas lengannya, tempat sebelumnya.

Deno yang sedikit bingung menurut. "Ayo lanjut jalan." Setelah sadar Deno manarik tangannya salah tingkah.

Deno sedikit memukul tangan Jihan lalu menjauh. "Aw! Sakit." Jihan menghusap tangannya seolah olah pukulan Deno menyakiti tangannya.

"Ngapain di sini? Ngikutin?" Tanya Deno sebal.

"Engga! Tadi ga sengaja lewat." Deno tersenyum simpul sambil menggeleng tak percaya.

"Sebenernya kenapa sih lu ngikutin gw terus?"

Jihan menatap Deno. "Kan kemaren udah bilang."

"Nikah?" Jihan mengangguk.

"Gak masuk akal lu!" Deno berbalik lalu berjalan meninggalkan Jihan.

Jihan berbalik menatap Zidan. "Apanya yang ga masuk akal sih? Kan gue cuma minta nikah. Gue salah di mana?"

Zidan terlihat bingung, ia mengedipkan matanya beberapa kali. Ia lalu menarik napas untuk menjawab pertanyaan Jihan namun tercekat saat Jihan lebih dulu meninggalkannya.

Jihan berlari mengejar Deno lalu menarik tangan Deno kencang. "Ayolah!" Katanya memaksa.

"Apanya yang ayo?"

"Ya nikah."

Deno memejamkan matanya lalu menghusap belakang kepalanya resah. "Gini loh, gue ga kenal lo, lo ga kenal gue. Kita kebetulan pernah ketemu dan lu tiba tiba ngajak nikah. Alasan gue memenuhi permintaan lu tuh ga ada."

"Ada!" Teriak Jihan.

"Apa?" Tanya Deno.

"Gue cantik." Cicit Jihan.

"Apa? Ga denger."

"Gue cantik." Zidan menahan tawa saat melihat Jihan mengatakan hal memalukan itu.

"Ga." Deno meninggalkan Jihan yang kini tak mau mengejar karena rasa malunya.

***

Pak Harto berjalan dari dapur menyusuri lorong sambil membawa nampan dengan gelas berisikan air mineral. Beberapa kali ia tersenyum pada para penjaga dan pelayan yang berpapasan dengannya.

"Permisi pak." Katanya sambil mengetuk pintu kayu besar di ujung lorong.

Setelah mendengar suara dari dalam yang mengizinkannya untuk masuk Pak Harto membuka pintu dan masuk ke dalam ruang baca Himas.

Himas berdiri di balik meja membaca buku membelakangi Pak Harto.

Pak Harto dengan perlahan masuk dan meletakkan gelas kaca itu di meja.

Himas meletakkan buku yang telah ia baca lalu berbalik. "Batalkan jadwal saya besok."

"Saya mau ke makam Arum." Katanya setelah melihat wajah bingung Pak Harto.

"Baik, akan saya batalkan dan atur ulang." Himas mengangguk lalu duduk dan meminum air yang dibawakan Pak Harto tadi.

"Tolong bujuk Jihan untuk datang ke makam ibunya bersamaku." Suara Himas melembut.

Setelah sang istri meninggal hubungan Himas dan Jihan tidak pernah baik. Keduanya tidak pernah datang berdama ke makam.

"Akan saya usahkan."

Pak Harto keluar dari ruangan dan segera menelpon seseorang melalui ponselnya.

"Antar saya ke tempat laki laki itu."

Setelah mengatakan satu kalimat Pak Harto segera keluar rumah, berjalan menghampiri Zidan yang berdiri di samping mobil. Zidan membukakan pintu mobil untuk Pak Harto dan segera berjalan memutar ke kursi pengemudi.

***

Pak Harto dan Zidan berdiri di depan pintu rumah Deno. Zidan beberapa kali maju untuk mengetuk pintu itu lalu kembali lagi ke belakang Pak Harto.

"Iya sebentar!" Deno membuka pintu terburu buru.

Rambutnya basah, handuk kecil tersampir di bahunya. Deni sepertinya baru selesai mandi.

Deno awalnya menatap Pak Harto bingung. Namun matanya menangkap sosok yang ia kenal di belakang Pak Harto. Zidan.

"Ada apa?" Tanya Deno ragu.

Pak Harto tersenyum lembut "Boleh bicara di dalam?"

Deno mempersilahkan kedua orang itu masuk dan duduk di ruang tamu. Deno menyediakan segelas air putih dan meletakkan setoples camilan di meja.

"Saya Pak Harto. Atasan Zidan, pengurus keluarganya Jihan." Kata Pak Harto menjelaslan karena melihat wajah bingung Deno.

"Saya Deno."

"Maaf sebelumnya karena mungkin saya terkesan lancang. Ayah Jihan ingin mengunjungi makam ibu Jihan bersama. Tapi memang sudah lima tahun terakhir ini mereka tidak pernah pergi ke makam bersama. Apakah Deno bisa bantu?"

Deno bener benar terkejut saat ini. Bisa dibilang ia sama sekali tak mengenal Jihan. Mereka baru bertemu minggu lalu dan beberapa hari belakangan ini.

"Kalaupun saya bisa bantu, apa yang harus saya lakukan?" Otak dan bibibirnya tidak sejalan. Ia menyesal mengatakan kalimat itu.

"Tolong ajak Jihan ke makam besok, saya dan ayahnya akan menunggu di sana."

Tidak sulit, pikir Deno.

"Akan saya usahakan."