Jika kamu jatuh cinta dua kali, tiga kali atau bahkan berkali-kali pada orang yang sama, apakah itu artinya hatimu bermasalah? Bisa jadi artinya jodoh.
-Author-
*****
"Kenapa kamu, Lang?" tegur Razi saat melihat wajah Galang yang kusut masai.
"Sudah tiga hari aku disetrap sama Ruri. Tidur di sofa ruang tamu, nggak dikasih makan, bahkan nggak boleh nyentuh dia," jawab Galang mendesah lemah.
"Disetrap? Kamu bikin salah apa?" Razi menahan tawanya.
"Jangan ketawa! Ini juga gara-gara kamu, tau!" Galang mendengus sebal.
Razi mengernyitkan dahinya bingung. Ditariknya kursi dari sebuah kubikel yang masih kosong. Lalu Razi duduk menghadap Galang. "Coba cerita."
"Ruri marah karena aku ngenalin kamu sama Amara. Katanya perbuatanku itu bisa bikin kacau rencananya."
"Kenapa bikin kacau?" tanya Razi yang langsung menaikkan kedua alisnya.
"Karena aku nyuruh kamu move-on, di tengah-tengah permainan kalian. Padahal maksudku ...,"
Razi menarik sebelah sudut mulutnya, tersenyum miring. "Tenang saja, the game is still on!"
"Ji, kenapa kamu nggak beneran move-on aja, sih? May sedang dekat dengan cowok lain. Kenapa kamu nggak nyoba sama Amara?"
Razi menghela napasnya sebelum menjawab, "Lang, aku nggak bisa menyerah sebelum aku benar-benar mencoba. Bukannya aku tidak mau membuka hati. Aku justru sedang mengikuti kata hati. Lagipula, aku punya rencana lain untuk Nia."
"Hah? Rencana apalagi? Udah deh, Ji. Stop main-main! Amara telpon aku. Dia bilang ternyata dia suka sama kamu sejak dulu. Kalo begini ceritanya, jadi terbukti kan omongan Ruri. Jadi tambah ribet!" Galang menunduk lemas.
Razi menarik kedua sudut mulutnya, tersenyum lebar. Ia berdiri lalu menepuk-nepuk bahu kiri rekannya itu. "Tenang, Lang. Semua akan berjalan sesuai yang sudah direncanakan. Bilang sama istrimu, semua akan baik-baik saja."
Razi menenteng tas kerjanya, hendak keluar dari ruangan kecil itu.
"Kamu mau kemana, Ji?" tanya Galang setengah berteriak.
Sambil tersenyum santai, Razi menjawab, "Ketemu Nia."
Galang menelan ludahnya. Tidak mengerti akan tindakan temannya itu. Dalam hatinya berdo'a semoga urusan ini tidak menjadi lebih rumit. Ngeri membayangkan lebih lama disetrap oleh istrinya.
--------------
dr. Ardhi : Lg sibuk ya, May?
13.41
dr. Ardhi : Kok tlp aku ga diangkat?
15.20
dr. Ardhi : May, aku bikin slh apa? 3 hari kamu nyuekin aku 😞
17.46
dr. Ardhi : Aku kangen, May. Tlg jwb!
20.21
Maira hanya mendesah kesal menatap pesan-pesan itu di layar ponselnya. Ia sudah semakin kehilangan minat untuk sekedar berbincang dengan dokter tampan yang seumuran dengannya itu.
Kadang Ardhi berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang sama sekali tak dimengerti olehnya. Namun jika gilirannya Maira bercerita, seakan Ardhi tidak tertarik dengan ceritanya.
Tapi bukan itu alasan utama penyebab Maira hilang minat terhadapnya. Pikiran Maira sedang teralihkan. Seseorang sudah berhasil mengalihkan perhatiannya dari pria manapun.
Sudah hampir dua minggu ini, Maira dibuat penasaran setengah mati dengan sosok A'an atau yang disebutnya ROBOCOP. Ingin sekali ia mengetahui sosok pria itu. Namun setiap ia bertanya pada Ruri, sahabatnya itu selalu beralasan. Tidak punya fotonya, pria itu pemalu, jarang bertemu dengannya, bahkan Ruri beralasan jika Galang tidak sengaja menghapus foto pria itu dari ponselnya.
Semua dalih itu terkesan dibuat-buat menurut Maira. Terasa aneh dan ganjil. Ada sesuatu yang disembunyikan, curiga Maira.
ROBOCOP : Assalamu'alaikum, May
Panjang umur! Maira yang tengah mengetik laporan di kantor, melirik pada tulisan yang muncul di layar ponselnya. Mulutnya yang tadi sedang menahan pensil, sontak membuka mulutnya untuk tersenyum lebar, membiarkan pensil itu terjatuh ke lantai.
Cepat-cepat diraihnya ponsel itu untuk segera membalas.
Me : Wa'alaikumussalam. Haaai!
ROBOCOP : Sptnya sdg senang sekali
Me : Emang! 😋
ROBOCOP : Baru dpt bonus?
Me : Iya
ROBOCOP : Apa bonusnya?
Me : Pesan dari kamu ☺️
ROBOCOP : Do you miss me?
Me : Klo aku blg iya?
ROBOCOP : I miss you too
Me : I know
Sang ROBOCOP tak bisa menahan senyum di wajahnya. Mungkin saat ini wajahnya tengah memerah panas. Rindu itu semakin membuncah. Ia melanjutkan ketikannya, tidak memperdulikan lirikan tajam dari orang yang sedang duduk di sampingnya.
Me : Sudah mkn siang?
Dear Wife : Ini sudah sore. Emgnya ga ada pertanyaan lain selain 'sudah mkn?'
Me : How's your day?
Dear Wife : Pertanyaanku blm dijwb
Me : How's your day? --> ini jwbn pertanyaan kamu
Dear Wife : Kamu orgnya pinter ya 😞
Me : I know 😊
Dear Wife : Klo kamu gini terus lama2 aku bisa...
Me : Jatuh cinta?
Dear Wife : Jatuh dari tebing! 😒
Me : 😂😂😂
Sang ROBOCOP semakin tersenyum. Tidak ada yang tahu, jika hatinya berbunga-bunga. Rasanya semakin tidak sabar untuk bisa menemui wanita itu.
Me : I want to see you
Kini giliran Maira yang berbunga-bunga. Jantungnya memompa darah dengan kencang. Seakan dentumannya bergema hingga ke kepala. Benarkah pria itu ingin menemuinya?
Me : Kita baru kenal
ROBOCOP : Not for me 😊
Me : Yes for me
ROBOCOP : Mungkin jg tdk
Me : Mksdnya?
ROBOCOP : Nanti kita bicara lg
Me : Knp nanti?
ROBOCOP : Aku sdg ada janji temu. Orgnya dtg sebentar lg
Me : Man or woman?
ROBOCOP : Woman 😊
Me : Nenek2?
ROBOCOP : Talk to you later. Assalamu'alaikum
Ck, apa sih maksudnya? Maira berdecak kesal. Mood-nya tumbang seketika, berganti gelisah. Terselip rasa tidak rela di dalam hati. Pria itu menyebalkan sekaligus misterius di saat bersamaan.
Benarkah? Maira cemburu? Pada pria asing yang ia bahkan tak tahu rupanya? Fenomena ini sungguh aneh bagi seorang Maira. Karena hatinya yang keras tidak biasanya dengan mudah jatuh ke hati lainnya. Benarkah? Bagaimana jika kali ini ia benar jatuh hati dengan mudahnya? Benarkah di hatinya sudah terhapus nama Razi? Toh nyatanya, Maira tetap merindukannya. Wajah tampannya tetap terpajang di screen-saver ponsel Maira.
--------------
Razi meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku kemejanya dengan senyum sumringah. Dan senyum itu terus-menerus terkembang di wajahnya. Ia meraih gelas minumannya, lalu menyeruput beberapa kali.
Arga yang duduk di sebelahnya menebak-nebak ada apa dengan mantan rekan kerjanya itu. Apa ia sudah mulai tidak waras?
"Apa, Ga?" Razi yang menyadari sorotan aneh dari sudut mata Arga, bertanya dengan sikap acuh.
"Chat sama siapa? Senyam-senyum nggak jelas dari tadi. Jangan-jangan ente mulai nggak waras!" cibir Arga dengan mata memicing.
"Ada, deh!" jawab Razi dengan sebuah cengiran.
Arga memutar kedua bola matanya. Sesekali melirik jam tangannya. "Mana nih orang yang ditunggu-tunggu? Sudah lewat setengah jam, lho. Keburu habis waktu maksi-ku."
Kaki Arga mengetuk-ngetuk lantai restoran itu. Kadar sabarnya mulai berkurang. Sebelas-duabelas dengan Razi, Arga sendiri tidak menyukai orang yang tidak tepat waktu. Menurutnya, orang yang tidak bisa menghargai waktu, berarti tidak bisa menghargai orang lain.
Sesekali pandangannya menatap orang-orang yang sedang asyik menyantap hidangan di restoran itu. Seperti biasa, jam makan siang di restoran area perkantoran pasti dipadati oleh para karyawan yang kelaparan. Bukan hanya lapar makanan, tapi juga lapar akan gosip-gosip di kantor.
"Nunggu calon klien harus ekstra sabar, Ga," Razi tersenyum aneh. Membuat Arga semakin curiga.
Tak jauh dari pandangan Arga, terlihat wanita berkacamata yang menurut Arga berukuran terlalu besar untuk proporsi wajahnya, berjalan tergesa-gesa ke arah meja mereka. Rambut panjang ikalnya yang tergerai tak rapi, mencuri perhatian Arga.
Razi berdiri menyambut kedatangannya, lalu menyapanya dengan senyum datar, "Telat lagi, Nia!"
"Iya, maaf ya. Tadi aku harus mengecek proposal dulu. Tanggung!" jelasnya sambil memohon maaf.
Razi hanya mengangguk tanpa ekspresi. Ia mempersilahkan Dania duduk di hadapannya dan Arga. Razi pun duduk kembali.
"Kenalin, ini teman kantorku dulu, Arga."
"Halo, aku Dania," ucap Dania ramah sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat.
Alih-alih membalas uluran tangannya, Arga justru menatapnya sedikit dingin sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Arga. Maaf, aku tidak menyentuh wanita yang belum halal bagiku."
Razi menahan senyumnya saat melihat reaksi Dania yang terperangah lalu menyorot tajam.
"San, aku pikir kita cuma makan siang berdua," sindir Maira sambil melayangkan lirikan ganas.
Arga akan bereaksi namun tangan kiri Razi segera menahannya. "Nia, kamu ingat kan waktu aku bilang mau ngenalin kamu sama orang yang bisa bantu project kamu? Arga ini orangnya. Dia otak di balik rancangan-rancangan yang pernah aku buat."
Ekspresi Dania berubah. Kekecewaan terlihat di raut wajahnya. Ia pikir makan siang kali ini akan menjadi kencan kedua mereka. Ternyata Dania salah total. Di saat Dania berniat rehat dari pekerjaannya, Razi justru datang membawa pekerjaan untuknya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dengan sebal.
Razi yang memperhatikan reaksinya spontan bertanya, "Kenapa?"
"Kalo begini ceritanya, sia-sia aku datang kemari."
"Maksudnya Mbak?" sela Arga turut bertanya tidak paham.
"Panggil saya Dania!" balas Dania dengan tegas tanpa menjawab pertanyaannya, lalu cepat-cepat memperbaiki sikapnya menjadi lebih profesional. Prinsip utamanya, tidak mencampur-aduk urusan pribadi dengan pekerjaan. "Jadi, Mas Arga ini arsitek di kantor kamu, San?"
"Iya, dia arsitek terbaik di kantor lama. Orang kepercayaan Pak Hardi."
"Ooh ... ehm, oke kalo gitu." Dania membuka tote-bag merah miliknya lalu merogoh sesuatu dari dalam. "Ini kartu nama saya. Bisa minta kartu namanya?" Dania meletakkan selembar kertas berbentuk persegi panjang kecil di atas meja lalu mendorongnya ke hadapan Arga.
Arga menerima kartu nama itu, meski tak yakin kartu kecil itu tidak akan melayang di tong sampah nantinya. Arga membaca sekilas tulisan yang tercetak di sana. Dania Amarani. Direktur Operasional.
Jika ada yang menebak tulisan jabatan itu membuat Arga terintimidasi, maka salah besar. Karena Arga bukanlah seorang pria yang dengan mudahnya mengkerut jika berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih apapun darinya.
Dania memperhatikan raut wajah Arga yang justru berubah angkuh setelah menerima kartu namanya. "Maaf, saya tidak punya kartu nama. Kalo ibu Dania ada perlu dengan saya, bisa menanyakan nomor HP saya lewat teman saya ini." Arga menyorot ke arah Razi dengan matanya.
Dania hanya tersenyum aneh, tidak mau menanggapi lebih jauh. Hanya mendongkol dalam hati. Tadi panggil Mbak, sekarang panggil Ibu, jangan-jangan nanti panggil Tante! Cih!
"Aku jamin, kamu pasti puas dengan hasil kerja Arga nantinya. Kalian silahkan lanjutkan perbincangan. Aku harus segera kembali ke kantor sekarang. Galang kirim pesan, katanya ada emergency di kantor." Dengan santainya Razi berkata lalu berdiri. Dalam hatinya tersenyum geli saat melihat mulut sepasang manusia di sekitarnya itu menganga lebar secara bersamaan.
"Zi, kok ... eh, dia kan temanmu. Wah, nggak bisa begini, dong! Lagian kapan Galang ngomongnya?" Arga memprotes, tidak percaya dengan kata-kata temannya itu, lalu ikut berdiri.
"San, ka—kamu kok mau balik gitu aja? Aku kesini kan buat ketemu kamu! Bukan buat ketemu yang lain," sergah Dania sambil melirik tak suka ke arah Arga. Dan Arga pun membalas dengan tatapan yang sama.
"Maaf, Nia. Hari ini aku cuma menepati janjiku. Kemarin itu aku sudah bilang kan, akan mengenalkan kamu sama temanku yang bisa bantu project pembangunan cabang kantormu yang baru."
"I—iya, tapi kok ... sekarang kamunya malah pergi?" Dania mengekang tangan Razi. Spontan tatapan tajam Razi terlayang pada jemari wanita itu yang menempel di lengannya. Dania cepat menyadari lalu melepaskan tangannya.
"Maaf, aku sedang ada urusan lain yang lebih penting. Semoga kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik," ujar Razi menambahkan dengan senyum miring. Lalu ia pun meninggalkan keduanya yang menyorotnya dengan tatapan membunuh.
------------
Maira menghela napas lega. Akhirnya tumpukan pekerjaannya selesai juga. Model tally-sheet yang akan diaplikasikan untuk menentukan populasi spesies sudah siap. Tinggal koordinasi dengan para Forest-Rangers di lapangan besok, sekaligus pembagian grup kerja.
Untung saja ia memiliki seorang asisten. Sehingga Maira tak perlu repot untuk selalu terjun ke lapangan langsung. Apalagi di pertengahan musim dingin seperti sekarang ini. Bisa rontok badannya seketika. Satu hal yang baru diketahui oleh Maira adalah, tubuhnya yang sulit sekali beradaptasi dengan udara dingin. Sedikit-sedikit masuk angin. Sebentar-sebentar flu. Setiap harinya ia harus mengenakan minimal tiga lapis sweater. Maira sempat mengeluh, di suhu yang belum mencapai angka minus saja ia sulit bertahan. Bagaimana mau keliling dunia, bagaimana mau mampir di Alaska, Alpen, atau bahkan Himalaya?
Maira menatap keluar jendela, mengawasi jalanan yang sedang dipadati oleh warga Kyoto yang mungkin baru saja pulang dari bekerja. Lalu pandangannya beralih menatap seisi kantornya, kosong. Tidak ada siapapun lagi di sana. Maira seorang diri penghuni ruangan itu.
Mungkin kondisi ini bisa menggambarkan kehidupannya saat ini. Ramai di luar, sepi di dalam. Tidak di kantor, tidak di apartemen, tetap saja kesehariannya hanya bertemankan sunyi. Pengorbanan yang harus dilakukan demi menjemput impian. Ya, ia berhasil menjemput impiannya. Berkat pekerjaannya ini, ia sudah mampir ke beberapa negara di Asia, Eropa, bahkan Afrika. Tapi, apakah ia berhasil menjemput kebahagiaannya? Apakah Maira puas dengan semua ini?
Semakin memikirkan semua itu, penyesalan dan rasa kecewa semakin menyelimutinya. Ingin rasanya memperbaiki segala sesuatunya. Namun, sudah telatkah?
Maira membereskan barang-barangnya di atas meja lalu meraih tas punggungnya. Sejenak ia berpikir. Lalu ia duduk kembali. Lalu berdiri lagi. Lalu duduk kembali. Lalu berdiri lagi. Bahkan untuk pulang ke apartemennya pun ia enggan. Maira memilih untuk kembali duduk. Wajahnya kembali manyun.
Ia meraih ponselnya, lagi-lagi mengecek pesan yang masuk untuk kesekian kalinya. Maira mendesah lemah, belum ada notifikasi apapun. Sang ROBOCOP belum mengirimkan pesan lagi kepadanya sejak siang tadi. Maira memilih untuk menghubungi Ruri saja untuk mengusir rasa bosannya.
Hingga nada panggil itu selesai, Ruri tidak mengangkat teleponnya. Tidak biasanya. Maira mencoba menghubunginya sekali lagi. Masih belum diangkat juga. Maira mencoba peruntungan sekali lagi.
"Halo, assalamu'alaikum."
Maira mendesah lega setelah mendengar suaranya.
"Wa'alaikumussalam. Ya ampun, kok nggak diangkat sih telepon gue?"
"Eh, ma—maaf, May. Gu—gue ... gue lagi ... lagi nidurin Garu." Suaranya terdengar panik.
"Bener? Lo nggak apa-apa, Rur?" Maira bertanya curiga.
"Nggak papa, May. Ada apa, nih? Tumben telpon." Ruri berusaha menenangkan suaranya.
"Nggak papa, gue lagi bosen aja. Nggak di apartemen, nggak di kantor, sepi semua."
"Lho, temen-temen kantor lo kemana? Kok lo sendirian?"
"Udah pada pulang, Rur. Gue ngelembur dewek, beresin urusan buat besok di lapangan. Ada sih asisten, tapi nggak tega nyuruh dia ikut lembur. Secara punya tiga anak di rumah."
"Oooh ... kasian bener sahabat gue. Cep ... cep ... cep ... cep ... cep! Makanya buruan balik kesini. Biar nggak berteman sepi!"
"Gue juga pinginnya begitu!" sungut Maira dengan wajah merengut.
"Maksud lo? Lo udah nggak betah di sana?"
"Nggak tau deh, Rur. Dulu gue pikir, kalo impian gue tercapai, gue akan bahagia. Nyatanya? Gue jauh dari kata bahagia." Maira berusaha menahan perasaannya untuk tidak terbawa melankolis.
"Sekarang gue nyadar. Bahagia itu nggak ada ukurannya, Rur. Nggak ada standarnya. Nggak ada wujudnya. Gue yang sok kepinteran menjadikan impian gue sebagai tolak ukur kebahagiaan. Kalo dulu gue tau bakal begini rasanya, gue nggak bakal mati-matian, bela-belain diri terlibat dalam pernikahan konyol yang justru menjebak perasaan gue sendiri. Semuanya nggak worthed!" Sesal Maira dengan kesal. Ucapannya hampir terdengar histeris.
"Ya Allah, istighfar May. Be strong! Lo lagi lelah mungkin, makanya jadi baperan gini. Istirahat dulu, deh. Biar pikiran lo juga jernih."
Maira masih sibuk menghapus bulir-bulir bening yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan olehnya. Ia bukan lagi wanita tangguh seperti dulu. Kini ia merasa menjadi wanita paling lemah yang ada di muka bumi.
"Gue bosen istirahat! Gue bosen sendirian! Gue ...." Kata-katanya tercekat di kerongkongan.
"Lo kenapa sih, May? Duh, gue jadi khawatir nih sama lo. Tumben-tumbennya lo sentimentil begini." Ruri menggigit kukunya sambil menatap dua laki-laki yang ada di hadapannya.
"Nggak tau nih, gue lagi mellow banget! Mau dapet kali!" jawab Maira asal.
"Mau dapet duit?" sindir Ruri sambil tertawa pelan.
"Itu sih udah dapet." Maira ikut tertawa di tengah sedihnya.
"Ciyeee ... yang udah banyak duit."
"Aiisshhh, kalo udah banyak gue nggak perlu ngais-ngais sampe ke negri orang kali!
"Kalo gue banyak duit juga udah nyamperin lo kesana, kali! Berarti, lo kudu lebih banyak bersyukur. Setidaknya masih ada yang bisa lo syukuri. Inget, lo sering ngomong begitu ke gue."
"Iya, gue lagi kurang bersyukur kali, ya. Tumben nih gue lagi lebay!" Tangisnya sudah mereda, berganti dengan tawa kecil. Menertawakan sikap sentimentilnya yang berlebihan.
"Lagi kena sindrom kangen kali, lo!" Tebakan Ruri tepat mengenai sasaran. Ya, Maira mengakui. Dirinya memang sedang terserang sindrom kangen. Merindukan semua orang yang dicintainya.
"Lo bener, gue lagi kangen semua orang. Eh, kok ... suara gue kayak bergema. Rur? Hmmm, lo pake speaker ya?" tanya Maira kembali curiga.
"Eh, i—iya. Gue speaker-in. Tangan gue ... lagi sibuk ngelabelin botol ASIP." Ruri beralasan sambil menatap manusia-manusia di depannya.
"Yaaah, ntar kedengeran Mas Galang dong curcol gue yang unfaedah ini!"
"Orangnya lagi di kamar mandi."
"Beneran?"
"Iya."
Maaf ya, May. Gue terpaksa bohong. Ucapnya dalam hati.
"Rur ...," seru Maira lalu mendesah pelan.
"Naon?"
"Gue kangen ROBOCOP."
"Ya'elah, namanya A'an! Lo pake ngatain orang ROBOCOP segala."
"Abis dia kaku banget kayak robot!"
Ruri ingin tertawa terbahak-bahak namun ditahannya. Salah seorang di hadapannya tengah memicingkan mata ke arahnya. "Disetrika dong biar licin! Lagian kaku gitu aja lo klepek-klepek. Selera lo emang yang begitu kan, sama yang lempeng aja, lo malah ogah."
"Iya, selera gue yang aneh kayaknya." Maira mengakui dengan menggumam.
"Eh, terus yang ... ehm, pak dokter itu gimana?"
"Dokter Ardhi? Kayaknya dia sebelas-duabelas sama Dida. Baik sih, perhatian, tapi kadang lebay, posesif. Better be friend!"
"Jadi ... lo beneran suka sama si ROBOCOP ini?"
"Nggak tau, deh! Gue belum berani jawab. Pingin sih ngobrol langsung sama dia, denger suaranya. Tapi masa gue duluan yang nelpon? Gengsi banget gue! Lo kenapa sih nggak mau ngasih gue liat fotonya?"
"Makan tuh gengsi sampe kenyang! Merana sendiri kan lo jadinya. Mending lo minta sendiri langsung sama orangnya. Kali dia mau kirim fotonya."
"Ogah! Mau ditaruh di mana muka gue?"
"Gue baru tau muka lo bisa pindah-pindah tempat. Ya udah, pas mau ngomong sama dia, tuh muka dicopot dulu, simpen di lemari. Entar kalo udah dapet fotonya, baru dipasang lagi tuh muka di tempatnya."
"Hahaha ... lucu banget lo!" Maira tertawa dibuat-buat lalu menyindir dengan sarkasme.
"Ya udah, tungguin aja. Paling bentar lagi lo dapat pesan baru dari ROBOCOP."
"Eh—eh—eh, lo nggak lagi sama dia kan?"
Ruri tercengang mendengar pertanyaan itu. Karena tebakan Maira itu benar, ia sedang bersama sang ROBOCOP. Right on point!
"Ih, ngo—ngomong apa sih lo? Ya enggaklah!" Lagi-lagi Ruri terpaksa berbohong. Karena di hadapannya sang ROBOCOP sedang tersenyum sekaligus menyorot tajam.
"Kok feeling gue mengatakan ada something-something, ya?"
"Something apaan? Lebay, deh! May, udah dulu ya. Mas Galang keluar dari kamar mandi, tuh."
Maira dan Ruri pun segera mengakhiri percakapan itu. Selesai menutup telepon, Ruri menarik napas berkali-kali, sedikit lega. Sekarang gantian ia yang menyorot tajam pada dua kaum adam di hadapannya. Ia melepaskan tangannya dari stroller yang sejak tadi dimaju-mundurkannya untuk menidurkan Garu. Kakinya perlahan maju, selangkah demi selangkah, senyum kecut terlukis di wajahnya.
Ruri menarik beberapa carik kertas folio kosong dari atas meja. Kedua tangannya meremas kertas-kertas itu satu persatu dengan sekuat tenaga. Tatapannya fokus pada dua targetnya. Sedangkan dua orang yang ditatapnya bergidik ngeri.
"Lang, kenapa tuh istrimu?"
"Nggak tau, Ji. Kok jadi serem ya?"
Tak berapa lama timpukan demi timpukan remasan kertas-kertas tertuju pada keduanya.
"Rese' ya kalian berdua! Bisanya ngetawain, doang!!! Aku pusing sendiri ngejawab pertanyaannya May!" Hardik Ruri sambil terus melempar bulatan kertas-kertas itu.
Razi dan Galang berusaha menghindari dengan bergerak kesana kemari sambil tertawa.
"Ampuuun, Sayang! Kandamu ini khilaf!" seru Galang membela diri.
"Tenang, Rur! Istighfar, biar setannya keluar!" ujar Razi dengan penuh tawa sambil berusaha menghindar dari serangan Ruri.
Mendengar ucapan Razi, Ruri justru semakin meradang. "Aseeem! Dikata aku kerasukan! Ganteng-ganteng nyebelin juga, ya! Pantesan May sering murka sama Kak Aji!"
"Iya, iya! Maaf! Udahan, dong!" Razi mendekati Ruri berusaha menenangkannya.
"Eh, eh, jangan sentuh-sentuh biniku!" Galang terlebih dahulu mendekati Ruri berusaha menghalau Razi.
"Iiih, kalian apa-apaan sih! Sebel aku tuh!" Ruri merengutkan wajahnya lalu duduk di kursi salah satu kubikel yang masih kosong.
Razi turut menarik salah satu kursi beroda tiga di dekatnya lalu duduk menghadap Ruri. "Jadi gimana?"
"Gimana apanya? Tadi udah dengar sendiri, kan!" jawab Ruri masih sebal.
Razi tertawa sambil menundukkan kepalanya.
"Apa yang lucu?" tanya Ruri dengan nada jutek.
"Percakapan kalian tadi lucu, Sayang," jawab Galang.
"Lucu apaan? Tuh, si ROBOCOP yang bikin jengkel sana-sini!" tunjuk Ruri kesal ke arah Razi dengan dagunya.
"Ji, kamu kapan mau ngaku ke May? Kasian lho dia. Apa dia nggak bakalan marah kalo tau ternyata elo si ROBOCOP?" tanya Galang sambil meringis.
Razi terdiam sejenak, tersenyum miring, lalu menjawab, "Minggu depan aku akan ke sana."
"Hah? Maksudnya?" tanya Ruri dengan mulut menganga.
"Dua hari yang lalu, masa iddah Alma sudah berakhir menurut KHI putusan pengadilan. Kondisi Alma juga semakin membaik. Dia juga sudah bisa berjalan dengan bantuan kruk. Jadi, sekarang aku bisa mendekati May. Aku akan datang sebagai ROBOCOP. Mungkin May akan marah, kecewa, entahlah. Tapi aku akan berusaha menjelaskan semuanya."
"Kalo aku yang jadi May sih, bakal jengkel berat sama Kak Aji. Tapi ... mungkin juga aku akan senang, karena ternyata kalian orang yang sama," tambah Ruri.
"Kasian ya si May!" imbuh Galang mencibir.
Tatapan Razi dan Ruri tertuju padanya.
"Kasian, jatuh cinta dua kali dengan orang yang sama."
"Iya, aku juga kasian sama May," ucap Ruri menyetujui perkataan suaminya.
"Ckckck ... pantes kalian berjodoh!" Razi menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Ya udah sana, buruan kirim pesan ke May. Udah ditungguin sang kekasih tuh, ROBOCOP!"
*****