webnovel

May dan Aji (Completed Story - TAMAT)

Aku tidak serentan yang kamu pikir. Tidak! Aku kokoh, sekokoh tegaknya pohon jati berusia ratusan tahun. Terpaan badai yang kamu kirimkan, tidak akan mudah membuatku tumbang. (MAIRA FAIZHURA) Jika saja kamu tahu alasan Hawa diciptakan untuk Adam. Maka kamu akan tahu kenapa Allah kembali mempertemukan kita. (ARSAN FAHRURAZI) Di tengah-tengah kesuksesan karirnya, tidak pernah terbayangkan oleh Maira, jika takdir akan kembali mempertemukannya dengan pria yang pernah merobek hatinya dengan belati tajam dari mulutnya. Dan hingga kini robekan itu tak dapat dipersatukan kembali, bahkan untuk dijahit sekalipun. Lalu bagaimana mungkin ia bisa menikahi Razi, sang pangeran bermulut pedang dan menjadikannya pendamping hidup untuk selama-lamanya? Namun dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa itu masih ada di sana, berlonjakan setiap kali pria itu dekat dengannya. Apakah Maira akan menuruti kata hatinya yang diam-diam menikmati luka? Atau menuruti impian yang telah dipupuknya sejak kecil? ***** Ikuti kisah May & Aji selengkapnya ♥️♥️♥️

Kaira_Mayza_Milady · Allgemein
Zu wenig Bewertungen
39 Chs

24. Dosa Alma

Takdir tidak memihakku

Mengujiku berturut-turut

Lalu apa dayaku?

Selain meminta belas kasih-Mu

-Alma -

*****

Alma menangis histeris. Ia yang biasanya bersikap lembut dan tenang, kini meracau tidak karuan. Bahkan ia menarik jilbabnya hingga lepas di depan Arga. Arga berusaha menghentikan aksinya, namun malah didorong hingga terjengkang oleh Alma.

Untungnya tak lama kemudian, para perawat yang berada di pos jaga langsung masuk ke kamar rawat inap itu dan mengambil alih. Salah satunya berlari keluar untuk mengambil obat. Arga membantu seorang perawat lagi untuk memegangi tangan Alma agar tidak sampai menyakiti diri sendiri.

Tak lama kemudian, seorang perawat lagi membawa sebuah obat berupa suntikan untuk menenangkan Alma.

Efek obat itu tidak langsung bekerja, Alma masih menangis tapi sedikit mereda. Meratapi takdir yang berlaku kejam kepadanya.

Beberapa jam yang lalu, Alma tersadar jika kedua kakinya tidak bisa ia gerakkan.

Dokter menjelaskan jika sepertinya saat kecelakaan, terjadi trauma bivertikal yang menyebabkan kelumpuhan pada kakinya. Dokter masih mencari tahu seberapa parah kelumpuhannya ini. Namun, Alma sudah terlanjur bersikap pesimis. Ia sudah terlalu lelah menghadapi ketidak-berdayaannya ini. Sebelumnya dokter juga telah menyatakan bahwa ia mengidap aritmia. Alma harus menjalani serangkaian pengobatan untuk menstabilkan jantungnya.

Ia sangat merindukan menggendong Sarah, putri satu-satunya itu. Ditambah lagi, ia harus kembali menghadapi kenyataan jika laki-laki yang dicintainya telah menjadi milik wanita lain. Dan kini, ia harus dihadapkan oleh fakta bahwa kedua kakinya mengalami kelumpuhan, dan jantungnya tidak bekerja dengan normal. Bagaimana ia dapat terus mencari nafkah bagi sang putri semata wayang dengan kondisinya ini?

Tubuh dan pikirannya terlalu lelah untuk menahan semua beban itu. Dulu, ia percaya jika Sang Robb tidak akan memberi cobaan kepada hamba-Nya melebihi kemampuannya. Tapi kini? Ia terus bertanya-tanya, kenapa Allah memberinya ujian yang tak sanggup dilewatinya ini? Alma kecewa, Alma marah. Inilah titik lemah imannya.

Kini Alma sudah lebih tenang. Ia kembali merebahkan diri di atas brankar. Senyum manis yang biasa terkembang di wajahnya, kini menghilang. Berganti dengan amarah yang menguasai.

"Kapan Razi akan datang, Ga?" Ini ketiga kalinya Alma mengajukan pertanyaan yang sama kepada Arga.

"Sabar ya, Al. Emmm, i — ini... kenakan dulu kerudungmu," Arga mengembalikan jilbab Alma yang tadi dilepas sambil memalingkan wajahnya. Alma meraih penutup kepala itu dengan wajah memerah malu lalu memakainya kembali.

"Kamu sudah telepon Razi kan, Ga?" tanyanya lagi.

"Sudah, Al. Dia dan istrinya sedang di Bandung. Sekarang mereka sedang di jalan menuju ke sini."

"Ke Bandung?" tanya Alma dengan wajah terkejut.

"Iya. Razi bilang, ingin melaksanakan bulan madu yang tertunda."

"Bulan... ma–du?" Alma mengulang dengan lirih.

"Iya. Al, kamu harus belajar ikhlas. Ikhlaskan Razi, Al. Dia sudah menjadi milik istrinya." Arga menasehatinya sambil menghela napas. Ia tahu bagaimana kuatnya cinta Alma terhadap Razi.

"Kamu, tidak perlu mengajari aku!" ujarnya dengan ketus. Otot wajahnya menegang.

Arga mengernyitkan dahinya melihat sikap Alma yang berubah 180 derajat. Kini Arga memilih untuk diam saja. Ia melirik jam tangannya. Sudah pukul dua pagi, kantuk dan lelah semakin menerpa tubuhnya. Arga duduk bersedekap sambil memejamkan matanya.

Lagi-lagi air mata membasahi wajah Alma. Ia merindukan sosok Razi. Terlalu menyakitkan baginya untuk membayangkan bahwa laki-laki itu telah sepenuhnya menjadi hak milik wanita lain. Cepat-cepat dihilangkannya pikiran buruk yang menjurus. Mengganti dengan memikirkan Sarah, putri kecilnya. Oleh siapa ia diurus saat ini? Apakah putrinya itu baik-baik saja? Sehatkah ia? Pikiran Alma kusut, matanya lelah mengisak tangis. Tak lama, Alma turut memejamkan matanya, menyusul lelapnya Arga.

-----------------

Malam Pertama Setelah Pernikahan

"Al, aku —"

"Please, Zi. Stop!"

"Al, tolong jangan begini. Aku —"

"Zi! Stop! Aku mengerti, Zi! Aku sangat mengerti!" Alma memberanikan diri menatapnya dengan nanar.

"Al, aku...aku nggak bisa lihat kamu begini. Aku —"

"Terus, mau kamu apa?? Aku juga nggak bisa begini, Zi!"

"Maaf, Al. Aku —"

"STOP, Zi! Tolong, antar aku pulang. Aku lelah."

"Al, aku mencintai Maira."

Dengan matanya yang sembab, Alma memicing. Ia sudah mengetahui kenyataan itu, tapi mendengar kata-kata itu langsung terlontar dari lisan Razi, hatinya terasa teriris sembilu.

"Aku... sudah tahu. Dari awal aku berkenalan dengan May, aku sudah tahu. Cara kamu menatapnya, cara kamu berbicara dengannya, bahasa tubuhmu... aku sudah tahu, Zi."

Razi membanting setir lalu menghentikan mobil di pinggir trotoar. Matanya menyalang ke arah jalan di hadapannya. "Aku juga peduli padamu, Al. Lalu bagaimana dengan perasaanmu terhadapku?"

"Aku... aku tidak perlu berbicara, kamu sudah tahu bagaimana perasaanku. Tapi, bagaimana perasaanku sudah tidak penting lagi. Aku yang salah sejak awal."

Razi menghirup napas dalam-dalam. "Al... "

Menuruti bisikan di hatinya, tiba-tiba Alma memegang sebelah pipi Razi lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium singkat pipi Razi. Lalu cepat-cepat ia menarik diri sambil menangis.

"Al... " Razi terkesiap atas tindakan Alma.

"Maaf! Aku minta maaf, Zi! Tolong... mulai sekarang, hubungan kita hanya sebatas rekan kerja saja. Tidak lebih dari itu."

"Bukankah selama ini juga begitu?" balas Razi dengan tatapan tajam.

"Ya, selalu begitu dan akan terus begitu. Tolong, jangan pernah mengajak aku berbicara lagi selain untuk masalah pekerjaan. Ini semua terlalu menyakitkan untukku. Dan akan lebih menyakitkan bagi May."

----------------

Hari Ini

Alma membuka matanya karena mendengar sayup-sayup suara beberapa orang melakukan percakapan. Di pandangnya jendela kamarnya yang sudah terbuka tirainya. Entah ini masih pagi, atau sudah siang. Ia ingat selesai melaksanakan sholat Subuh, matanya kembali terpejam. Mungkin efek bermacam-macam obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya.

Matanya menerawang kepada tiga sosok yang berdiri di hadapan brankarnya. Senyumnya terkembang begitu mendapati sosok Razi salah satunya.

"Razi ..." panggilnya lirih.

"Al! Al... kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?" Razi menghampiri di sebelahnya dengan wajah cemas.

Alma menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Aku senang kamu datang."

"Al, gimana kondisi kamu?" tanya Maira dengan tersenyum ramah.

Senyum yang tadi terulas di wajah Alma segera menghilang.

"Aku nggak apa-apa!" jawabnya lirih.

"Zi, aku mau minum. Bisa minta tolong?" pinta Alma dengan nada sedikit manja.

"Aku ambilkan ya, Al!" Maira berinisiatif membantu, namun Alma terlihat berang.

"Aku mau Razi!" Alma membentak.

Sontak mereka bertiga terperangah melihat sikap Alma yang tiba-tiba kasar.

"Ma — maaf," sesal Alma kemudian sambil menyentuh kepalanya yang terasa agak nyeri.

Razi memberi isyarat pada Maira agar menuruti permintaan Alma. Maira menyerahkan gelas air putih yang sudah diraihnya itu kepada Razi.

Razi membantu mengangkat kepalanya lalu meminumkan isi gelas itu.

"Terima kasih. Zi, kapan kamu bawa Sarah kesini? Aku kangen sama Sarah. Sarah juga pasti kangen sama aku," tutur Alma dengan mata sayu.

Razi terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Alhamdulillah, Sarah baik-baik saja. Ada ummi dan Asha yang bantu mengasuh Sarah. Sarah juga anak baik, dia tidak rewel."

"Alhamdulillah," ucap Alma lega, "Tapi, kayaknya dia akan lebih senang kalau kamu yang mengurusnya di hari libur."

Razi hanya mengulas senyum tipis. Maira menggigit bibir bawahnya. Ucapan Alma sedikit menimbulkan nyeri di hatinya.

"Zi, Ga, bisa kalian tinggalkan aku dengan May sebentar? Ada yang perlu aku bicarakan dengannya," pinta Alma dengan tutur lembut.

"Bicara apa, Al?" Razi bertanya penasaran.

"Masalah wanita, Zi. Malu kalau didengar laki-laki," Alma berkilah.

Razi dan Arga saling memandang, isi pikiran mereka sama. Sama-sama tentang 'tamu bulanan' wanita. Razi mengusap bahu Maira sejenak, lalu ia dan Arga meninggalkan kamar itu.

Maira membisu, menunggu Alma yang membuka pembicaraan. Ada sedikit rasa cemas terselip sejak mendengar hardikan Alma tadi terhadapnya.

"May... kamu sudah tau kondisiku sekarang?" tanya Alma pelan.

"Arga sudah cerita," jawab Maira pelan. Ia berhati-hati agar Alma tidak merasa tersinggung. Pasalnya, Arga sudah menjelaskan perubahan sikap Alma semenjak dokter memberitahukan perihal kelumpuhannya.

Air mata mulai menggenang di mata Alma. Dengan tatapan kosong ia melanjutkan, "Aku bingung, May. Aku tidak bisa mencari nafkah untuk kelangsungan hidup Sarah. Aku tidak bisa mengurus Sarah seorang sendiri."

Maira mengernyitkan dahinya. Ia mulai menebak maksud arah pembicaraan Alma, tapi ia terlalu takut jika tebakannya itu benar. "Al, aku... Bagaimana kalau —?"

"Sepertinya satu-satunya cara, aku harus mencari pendamping hidup. Dan Sarah, dia butuh seorang ayah. Ta — tapi... " Alma terdiam sejenak sambil menghapus air mata yang sudah mengalir, lalu melanjutkan, "Aku lumpuh, May! Apa ada lelaki yang mau menerima kondisiku yang seperti ini? Untuk melayani seorang suami saja, mungkin aku tak mampu."

Maira tak mempercayai penglihatannya. Wanita yang beberapa saat lalu terlihat tangguh di matanya ini, kini menjadi seorang pesimistik. Namun Maira tidak mau menghakiminya. Mungkin saja jika Maira yang berada di posisinya, ia akan lebih depresi. Terlalu banyak cobaan yang menghantam wanita ini berturut-turut.

Terdorong oleh rasa empatinya, Maira menggenggam erat tangan kanan Alma. Berusaha menyalurkan kekuatannya kepada wanita malang ini. "Al, aku akan coba membicarakan masalah ini dengan Mas Aji. Semoga kita bisa mendapat jalan keluar yang baik untuk masalah kamu."

"May ... a — aku ... mau minta maaf sama kamu." Kedua bola mata Alma menatapnya dengan sungguh-sungguh.

"Kenapa, Al?"

"Sebenanrnya, sampai detik ini... aku... aku masih mencintai Razi."

Maira melepaskan genggamannya. Ia melangkah mundur dengan kaku.

"Aku yang salah, May. Aku yang terlalu berharap. Bahkan hingga kalian telah menikah, aku... sebenarnya aku masih menyimpan harap itu. Saat Razi mengantar aku dan Sarah pulang di malam pernikahan kalian, Razi masih berusaha menanyakan bagaimana perasaanku padanya. Dan aku... aku khilaf, May. Aku mencium pipi Razi. Maafin aku, May!"

Sakit! Alma berhasil membuatnya merasakan kembali sakit itu. Kini air matanya mengalir tak terbendung dalam diamnya.

"Aku pikir setelah malam itu, aku akan bisa menghilangkan Razi dari pikiranku. Tapi tidak! Justru... rasanya lebih sakit, May. Hari itu, aku mengendarai motor dengan perasaan kecewa, marah, kesal. Tapi aku tidak tahu, kepada siapa aku harus melampiaskan perasaan itu. Aku sudah berdosa, May ... karena aku mencintai suami orang lain. Maaf, May! Tolong, maafin aku!" sesalnya dengan mengisak tangis.

Sesaat Maira menundukkan kepalanya dalam diam. Kedua tangannya mengepal di samping. Ia menarik napas dalam, mengucap kalimat istighfar berkali-kali di dalam hati. Mencoba mencari kekuatan untuk berbicara.

Setelah beberapa menit keduanya membisu dalam tangis masing-masing, Maira kembali menengadahkan kepalanya tegak. Dengan berani ia menatap Alma yang masih sibuk menangis. "Al, aku berjanji. Mas Aji akan segera menjadi milikmu." Setelah berkata, Maira cepat-cepat keluar dari kamar itu. Meninggalkan Alma yang membeku setelah mendengar ucapannya. Ia berlalu melewati Razi dan Arga yang sedang duduk santai di tengah-tengah koridor.

Razi langsung bangkit mengejar istrinya yang sedang berjalan cepat sambil menangis. "May! May!"

Maira tetap berjalan menuju lobi tanpa menggubris panggilan suaminya. Razi pun berlari untuk menghadang jalan istrinya.

Maira menghentikan langkahnya. Ia menatap suaminya dengan penuh kebencian.

"Minggir!" bentaknya.

"May, kamu kenapa?" tanya Razi dengan lembut.

"Aku bilang minggir!"

"Aku nggak mau! Alma bicara apa sama kamu?"

Maira diam saja, ia menatap nanar sambil bergelimang air mata. Razi berinisiatif menarik tangannya untuk berjalan menuju parkiran. Razi meminta Maira untuk masuk ke dalam mobil. Lalu ia menyusul duduk di sebelahnya.

"Ada apa, May? Alma bicara apa?" desak Razi.

"Kamu jahat, Mas! Kamu jahat sama aku! Kamu jahat sama Alma!"

"May... maksud kamu apa?"

"Alma, dia sangat mencintai kamu. Apa yang sudah kamu lakukan sama dia sampai dia bisa seperti itu?"

"Aku nggak melakukan apa-apa, May. Kami hanya rekan kerja di kantor."

"Terus, kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku soal Al mencium kamu? Kenapa?"

Razi bergeming. Ia tak menduga Alma akan menceritakan kejadian malam itu. "Ya, aku merasa nggak penting untuk aku ceritakan."

"Nggak penting kata kamu? Berarti perasaan aku nggak penting buat kamu? Perasaan Al nggak penting buat kamu?" Maira mulai menghardik.

"Alma sedang khilaf waktu itu, aku juga —"

"Kita pulang sekarang! Ada yang harus aku lakukan!"

"May, tolong dengarkan aku dulu!"

"Aku mau pulang!"

Razi menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia bersiap memasang seatbelt lalu menyalakan mesin mobil. Pikirannya kalut tidak karuan. Sepertinya memang lebih baik menyelesaikan masalah ini di rumah. Harapnya dalam hati, semoga setelah tiba di rumah, emosi istrinya itu sudah mereda. Razi ingin membicarakan masalah ini baik-baik.

*****