"Bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu, manis? Kekasihmu itu belum kembali, kan?" goda salah satu dari kawanan liar yang tengah mengepung Mirielle. Sekitar sembilan orang dan hanya dua yang betina. Namun, sepertinya si betina pun sama liarnya dengan pejantannya.
Mengapa Mirielle menyebut mereka dengan betina dan pejantan? Karena kini, sembilan ekor kugsha tengah mengitari Mirielle yang tampak tenang. Atau lebih tepatmnya berusaha tampak tenang.
"Sungguh, kalian tidak akan ingin berurusan denganku, dog! Enyah, atau kalian akan menyesal!" ancam, Mirielle. Kali ini ia tak main-main dengan ancamannya. Meski belum andal dalam berburu, tak ada yang meragukan tampilan Mirielle ketika telah berubah menjadi bentuk lycannya. Banyak dari werewolf biasa yang akan gentar atau bahkan takjub ketika melihat Mirielle secara langsung. Hanya saja, memang gadis itu jarang merubah bentuk secara sembarangan.
Ada aturan yang harus dipatuhi, terkait dengan statusnya sebagai putri tunggal seorang pemimpin dari pack besar. Kedigdayaan bukanlah untuk sebuah kebanggaan. Itulah yang selalu dikatakan oleh ayahnya.
Lalu kini, ketika harus berurusan dengan para kelompok liar yang tak tahu diri dan menguji kesabarannya, apakah ia harus tetap diam?
Mirielle masih tenang. Menunggu dengan tenang. Ia pastikan tak akan mengambil start lebih dulu, ia janji.
Erangan beberapa anjing liar di sekelilingnya, mulai bersahutan. Tangan Mirielle berusaha meraih sesuatu yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi, sebuah pisau lipat yang ia simpan di balik gaunnya.
Tidak. Ia tak akan melakukannya sekarang. Hanya jika dibutuhkan saja. Toh dirinya bisa melawan mereka semua meski tanpa benda itu. Apa gunanya menjadi seorang putri pemimpin jika melawan sembilan ekor anjing saja ia tak mampu?
Mirielle mengitar perlahan. Memindai satu per satu yang ada di dekatnya. Saat salah satu dari mereka mulai maju, menerjang Mirielle yang mematung, gerakan makhluk itu seolah terhalang kekuatan lain yang tak kasat mata.
Satu serangan digagalkan, membuat kawanan lain mulai ambil bagian. Masing-masing dari mereka mulai maju dan kembali tumbang, hingga tersisa beberapa dan berhasil menerjang Mirielle hingga tersuruk di aspal dengan benturan yang cukup keras.
Mirielle berusaha membuka mata. Terdengar suara yang menggema di rongga kepalanya, tetapi ia tak mampu memaksa dirinya untuk tetap berada di batas sadar.
Hitam dan pekat.
***
Mirielle membuka mata engan perasaan berat. Tak hanya di matanya, tetapi juga sekujur tubuhnya. Ia berusaha untuk bergerak sedikit, tetapi rasa nyeri di mana-mana membuatnya urung, dan memilih untuk tetap berbaring saja.
Seseorang menghambur ke arahnya ketika menyadari bahwa ia telah sadar.
"Elle, apa yang kau rasakan?" tanya Zac. Tampak gurat kepanikan tergambar di wajahnya. Ada lebam di wajahnya, juga goresan dan lecet di tulang hidung dan sudut bibirnya, dan tangan yang diberi bebat membuat Mirielle bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada pria itu.
Zac meraih jemari Mirielle dan menggenggamnya. "Apakah kau baik-baik saja?" tanya pria itu.
Mirielle menggeleng lemah, kembali menoleh pada Zac yang masih menunjukkan perhatiannya. Namun, tidakkah ia melihat dirinya sendiri? Ia bahkan juga babak belur, tetapi masih bisa mencemaskan kondisi gadis itu.
"A-aku baik-baik saja. Apa yang terjadi, Zac? Kenapa aku di sini, dan kenapa kau babak belur begitu?" tanya Mirielle pada akhirnya setelah berhasil mengumpulkan kesadaran yang sempat tercecer ke berbagai penjuru.
"Para kelompok liar itu. Aku mencarimu ke dalam hutan, dan tak menyadari kehadiran mereka yang tiba di tempatmu lebih dulu. Maafkan aku karena terlambat menolongmu," sesalnya. Mirielle menggeleng, berusaha memaklumi apa yang terjadi padanya hari ini. Ia sedang tak ingin banyak berpikir dan menganalisa seluruh kejadian, apakah memang benar seperti itu, ataukah sebaliknya.
Hal terpenting baginya sekarang adalah ia dan Zac selamat.
"Mengapa kau tidak melawan, Elle? Mereka sudah keterlaluan padamu. Mereka membawa kawanan. Kau berhak untuk melakukan perlawanan."
"Karena aku tidak menyangka mereka akan benar-benar menyerang. Kau tahu sendiri, kawanan seperti itu tak akan benar-benar memberikan masalah. Namun, ini tadi ... sungguh di luar perkiraanku."
"Tak masalah, yang penting kau selamat dan baik-baik saja, meski pada akhirnya akibat keterlambatanku mereka sempat menyakitimu." Zac bangkit dari tempatnya, sedikit tertatih.
"Aku tidak bisa hanya tidur di sini, Zac. Hari ini ada pesta penyerahan jabatan dari rival bisnisku. Aku harus hadir untuk menunjukkan eksistensi bisnis yang telah lama dijalankan oleh keluarga Alsen."
Zac mengurungkan niat untuk pergi, kembali duduk sejenak. Selama ini persahabatan mereka baik-baik saja, sehingga apa pun yang diucapkan oleh Zac akan berpengaruh pada Mirielle. Namun, itu dulu, ketika Gerard belum memiliki ide gila untuk menjodohkan mereka.
"Mereka hanya rival bisnis, Elle. Kau tidak harus hadir, terlebih dalam kondisi seperti ini."
Mendengar kalimat larangan dar bibir sahabatnya, Mirielle jistru melakukan sebaliknya. Ia memaksakan diri untuk bangkit dan berdiri di hadapan Zac, seolah menantang pria itu.
"Apakah kau belum pernah melihat seberapa tangguh seorang Mirielle Alsen? Saat ini kau sudah lihat. Antarkan aku ke kantor, bukankah itu yang diinginkan ayahku, kita bisa beroringan seperti sepasang kekasih?"
Zac melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan Mirielle. Maniknya tak henti mengagumi gadis cantik berambut sewarna tembaga di hadapannya.
"Aku ingin kau melakukan ini bukan karena keinginan ayahmu, Elle. Aku ingin kau lakukan ini karena memang kau ingin, bahkan jika perlu aku menginginkan hatimu juga. Bukan hanya status terlebih jika itu hanya untuk sebuah keturunan."
"Hmm ... begitukah? Baiklah ... beri aku waktu untuk memikirkannya, dan selama aku memikirkan itu semua, kita bukan siapa-siapa selain hanya berpura-pura. Ayo kita berangkat."
Zac tak dapat menjawab atau menyanggah perkataan Mirielle. Ia hanya turut dan ikut saja apa pun yang dikehendaki oleh gadis itu. Karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaan Mirielle, bukan yang lain.
Zac bergegas tancap gas menuju ke kantor setelah menurunkan Mirielle di depan sebuah gedung pertemuan. Mirielle tampil begitu anggun dengan gaun malam satin berbelahan rendah. Rambut sebahunya hanya ia tata sekenanya.
Ia tak begitu tertarik dengan pesta ini, hanya rasa penasaran dan kesempatan untuk dikenali banyak pebisnis, itu yang membuat Mirielle rela meluangkan waktu untuk pesta ini.
Baru saja hendak melangkah ke ruang pesta, sebuah lemgan kokoh meraihnya dan membawa gadis itu menjauh dari pintu menuju ke sebuah ruangan. Pria itu membawanya masuk, lalu menutup pintu di balik punggungnya.
"Ash! Apa yang kau lakukan di sini?!" desis Mirielle, saat melihat pria menawan di hadapannya, berpakaian rapi dan formal. Seolah dirinya adalah primadona di pesta ini.
"Aku tidak tahu kalau kau juga hadir." Pria itu tidak menjawab pertanyaan Mirielle melainkan justru melontarkan komentar yang seolah sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.
"Hai, cantik. Bagaimana kabarmu?"
"Ash, sudah kukatakan padamu kalau kita tidak seharusnya—"
"What the hel, Elle! Aku menyukaimu. Kenapa kalau kita berbeda? Bukankah itu justru bagus?"
"Kau tidak mengerti."
"Kalau begitu jelaskan padaku." Ashton melangkah mendekat pada gadis itu, tanpa mengalihkan tatapannya dari manik kelabu nan cantik, yang sejak awal sudah berhasil menawan hatinya.
Ashton kini tak tahu bagaimana cara agar dirinya bisa menjauh dari Mirielle, meski ia tahu bahwa dirinya dan Miriellw terlalu jauh berbeda.
Jarak sedekat ini, membuat Mirielle tak berkutik. Ia berusaha keras menelan saliva yang memcekat batang tenggoroknya, memaksa air liurnya mengalir tatkala aroma tubuh Ashton menyeruak masuk ke rongga hidungnya dan terhidu berulang kali, berulang kali lagi, lagi dan lagi.
Mirielle tak mampu singkirkan aroma otu, juga tak mampu menghindar dari dorongan apa pun yang dengan kirang ajar membuatnya tak mampu mengekang hasratnya saat ini.
"Jelaskan padaku agar aku mengerti. Bahkan bila perlu, lakukan sesuatu agar aku bisa membencimu dan menjauh darimu."
Aroma napas Ashton, sungguh ... Mirielle nyaris gila dibuatnya.
Ashton bisa membaca kilatan hasrat yang jelas tergambar di mata Mirielle, juga yang bergumam di otaknya. Ia mulai membenamkan wajah di ceruk leher Mirielle, mengendus aroma tibuh gadis itu dengan nikmatnya. Tampak biji tenggorokannya yang naik turun karena dirinya pun berusaha menahan hasrat yang kini singgah sebentar.
Bolehkah jika mereka berdua berpesta sebentar sebagai intermeso sebelum pesta yang sesungguhnya nanti?