webnovel

Dasar Laki-laki Pengecut!

Devaro berjalan menyusuri koridor kampus. Semua pasang mata menatap ke arahnya dengan tatapan manis. Karena ia merupakan salah satu cowok paling populer selain Algo.

"Kak Dev makin ganteng aja. Pasti yang jadi pacarnya beruntung banget."

"Kalau menurut gue lebih gantengan Kak Algo, deh. Hanya saja ... ia lebih dingin."

"Berita tentang skandal Kak Dev itu beneran nggak, sih? Kenapa berita itu tiba-tiba lenyap gitu aja!"

Begitulah pendapat mereka mengenai seorang Devaro Mahardika Sanjaya. Tidak sedikit yang banyak menaruh harapan pada lelaki itu. Namun, hatinya selalu tertutup dan hanya untuk Fida.

"Dasar fans," lirihnya.

Ia berjalan tanpa melihat ke arah mereka. Karena ia malas jika harus berdebat dengan orang-orang bodoh.

Buggghhh!

Tiba-tiba, seorang laki-laki menghampirinya dan membogem pipinya hingga ia meringis. Darah segar mengalir dari area hidung. Ia pun jatuh tersungkur karena serangan yang mendadak.

"Dasar laki-laki bejat!" cerca Algo.

Ia ingin membogem laki-laki itu sekali lagi, namun dengan cepat Dev menangkisnya.

"Maksud lu apa ha?! Dateng-dateng main mukul segala. Lu pikir siapa diri lu? Kalau mau berantem ya pakai cara laki, dong! Dasar banci!" cerca Devaro.

Ia menatap ke arah Algo dengan tatapan meremehkan. Senyum miringnya menambah kekesalan bagi Algo.

"Lu itu cupu. Kenapa lu harus ngambil Clara dari gue?! Itupun dengan cara murahan!" lontarnya tak terima.

"Cih, jadi lu masih cinta sama tuh cewek? Kalau lu cinta, kenapa nggak lu perjuangin? Malahan lu bikin dia tambah trauma!" tukas Dev.

Ia menyeka darah yang keluar dari hidungnya. Rasanya memang sakit. Tapi ini tidak seberapa dengan penderitaan yang dialami istrinya yang malang.

"Gue nggak bilang kalau gue masih cinta sama pelacur kayak Clara. Karena gue yakin, bukan cuma lu doang yang pernah tidur dengan jalang itu!" tuduh Algo macam-macam.

Splassssh!

Tangan Dev yang sudah gatal sejak tadi, langsung menampar wajah Algo dengan keras. Hingga ia tersungkur ke lantai.

Buggghhh!

Ia juga menendangnya hingga ia terpental jauh. Hal itu belum cukup untuk memberikan pelajaran pada si mulut pedas.

"Kalau punya mulut dijaga! Jangan asal bicara. Karena apa yang lu lihat, belum tentu itu yang sebenarnya," ujar Dev.

"Dan gue peringatkan untuk yang pertama dan terakhir kalinya, jangan pernah menyebut Clara sebagai perempuan jalang. Karena dia sekarang udah jadi milik gue. Milik Devaro Mahardika Sanjaya! Camkan itu!" tegasnya.

Dev pun berbalik meninggalkan laki-laki tak berperasaan itu. Ingin rasanya ia menghabisi nyawanya, tapi ia tahu jika Clara sangat mencintainya.

"Harusnya orang seperti lu mati aja. Daripada nambah beban negara," batinnya.

Algo tersenyum miring. Bukannya merasa takut dengan kata-kata Dev, ia justru merasa geli. Karena seorang Algo tidak pernah kalah. Ia akan mencapai tujuannya bagaimanapun caranya.

Buggghhh!

Ia menendang punggung tegap milik Dev. Ia memang seorang pengecut. Beraninya melawan dari belakang. Dev pun, jatuh tersungkur ke lantai.

"Ya ampun, itu Kak Dev sama Kak Algo kenapa? Mereka berantem?"

"Udah, mendingan kita jadi penonton aja. Nggak usah ikut campur. Kalau nggak bisa mati kita di tangan mereka. Please, gue masih pengen hidup."

Mereka yang melihat perkelahian sengit diantara dua laki-laki populer itu, hanya menjadikan bahan tontonan. Karena jika mereka ikut campur, hanya akan menambah beban hidup.

"Sial, dasar cowok nggak tahu diri!" umpat Dev dalam hati.

Ia pun bangun dan menatap tajam ke arah Algo. Sedangkan lawannya, malah tersenyum seolah dirinya sudah menang.

"Kenapa? Lu pasti sekarang sudah tahu kan di mana posisi lu? Harusnya lu sadar diri sadar posisi. Lu bilang apa tadi? Ah ya ... lu bilang Clara milik lu. Ngimpi kali. Harusnya lu tahu kalau Clara hanya milik gue. Bahkan jauh sebelum lu hadir menjadi pelakor!" cerca Algo.

Devaro mengepalkan tangannya. Kata-kata yang dilontarkan laki-laki itu benar-benar membuatnya mendidih.

"Nggak usah lihatin gue kayak gitu? Mendingan lu balik sono! Bantuin Emak nyuci piring kek, hahaha."

Ia tertawa jahat, seolah ini hanyalah sebuah lelucon. Dev berusaha untuk menahan amarahnya. Karena percuma juga menghadapi laki-laki pengecut seperti Algo.

"Kita lihat aja nanti. Siapa yang bakal dapetin Clara. Lu ... atau gue!"

"Oke, siapa takut. Tapi lu harus inget satu hal. Kalau gue menang, lu harus jadi babu gue seumur hidup."

Tanpa berpikir panjang. Dev langsung mengiyakan tantangan itu. Karena ia yakin jika gadis itu akan memilih dirinya.

Cinta tidak akan mengkhianati perasaan. Ketulusan cintanya pada Clara akan membawa kebahagiaan tiada tara. Ia yakin dan percaya jika cintanya tulus, akan terbalas dengan ketulusan pula.

Algo tersenyum miring. Karena ia yakin jika dialah pemenangnya. Karena dalam kamusnya, tidak ada kata kalah ataupun mundur.

****

Meskipun istrinya sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit, Dev tetap memutuskan untuk kuliah. Karena gadis itu akan sangat marah jika ia bolos kuliah karena dirinya.

"Gue harap lu akan tetap jadi milik gue, Ra. Karena gue mulai suka sama lu. Gue juga nggak mau kehilangan lu. Entahlah gue nggak tahu apa penyebabnya. Yang pasti, lu selalu ada di pikiran gue sejak pertama kali."

Ia mengelus foto pernikahan mereka yang hanya ia simpan di ponsel. Meskipun pernikahan mereka ibarat pernikahan kontrak, ia tetap ingin bertahan.

Karena pada dasarnya ... pernikahan itu sekali seumur hidup. Tak peduli sesulit apapun rintangannya nanti, ia akan berusaha memenangkan takdir cintanya.

Karena semua adil dalam perang dan cinta.

"Woiiii Dev!"

Suara mercon itu mengalihkan perhatian Dev yang sedang duduk santai di taman.

"Kenapa si tukang ngomel ini dateng lagi, sih?" gerutunya dalam hati.

Gadis itu berlari ke arahnya dengan tatapan penuh amarah. Bisa dipastikan jika gadis itu akan mengomelinya dengan ribuan kata yang membuat telinganya panas.

"Huh ... huh ... hah ...."

Napasnya terengah-engah akibat berlari cukup kencang. Dev malah menatapnya dengan tatapan dinginnya.

"Ngapain lu ke sini?" tanyanya to the point.

"Bentar, biarin gue bernapas dulu. Gue butuh asupan kasih sayang, eh ... oksigen," jawabnya.

Ia mengatur napasnya. Sedangkan laki-laki yang ia cari hanya mengernyitkan dahi. Seolah kehadirannya adalah pengganggu.

"Kok hari ini Clara nggak kelihatan? Di mana dia? Jangan macem-macem sama sahabat gue. Awas aja kalau lu sampai neror dia. Bakal gue tusuk sama susuk konde Nenek gue," ancam Caca.

Ia menatap Dev penuh selidik. Karena ekspresinya menunjukkan sesuatu yang tidak bisa ia mengerti.

"Woi, lu nggak punya telinga? Gue lagi ngomong sama lu!" ketus Caca.

"Clara baik-baik aja. Lu nggak usah khawatir, karena gue bisa menjaga dia dengan baik," balas Dev.

Ia sengaja berbohong. Karena ia tidak mau berita ini menyebar hingga seantero kampus. Caca memang sahabat dekat istrinya. Namun, hal itu tidak menjamin jika ia bisa menutup mulutnya.

Untuk saat ini, ia tidak bisa mempercayai siapapun. Bahkan Caca. Karena ia tahu jika terkadang ... sahabat adalah pengkhianat yang merupakan akar dari peperangan.

"Kalau dia baik-baik aja, kenapa nggak ngampus? Jangan-jangan lu sekap dia!" tuduhnya.

Laki-laki itu mendengus sebal. Karena satu jawaban tidak cukup untuk Caca. Memang gadis menyebalkan ini selalu menyulitkan orang lain.

"Ish, jadi orang nggak usah kepo. Lu tahu kan kalau banyak kepo itu nggak baik. Mendingan sekarang lu cabut. Gue muak liat muka lu. Kayak genderuwo!" ejeknya.

Gadis itu menyipitkan matanya.

"Lu bilang apa barusan? Muka gue kayak genderuwo? Muka cantik dan cetar membahana gini, lu bilang kayak genderuwo?! Mata lu pasti minus. Kayak orangnya," cerca Caca tak terima.

"Muka lu aja tuh benerin. Kayak tembok, datar," lanjutnya.

Dev memutar kedua bola matanya malas. Karena gadis seperti Caca memang selalu merasa benar. Ia tak akan pernah menyerah sebelum lawan bicaranya mengaku kalah.

"Terserah. Kalau gitu biar gue aja yang cabut. Bye, mulut mercon!"

Ia berjalan menjauh dari gadis bar-bar itu. Jika dipikir-pikir ... sifat Caca dan Clara hampir mirip. Mereka sama-sama bar-bar dan maunya selalu menang.

Bedanya, Clara lebih good looking dan good rekening. Jadi, banyak kaum adam yang mengidolakan dirinya. Bahkan ada yang mengakui perasaannya terang-terangan.