webnovel

28. Ranu

Malam ini dia menunggu, termenung dalam diam menikmati sepi yang ada. Pada akhirnya Lova menerima tawaran ini. Tanpa basa-basi mengambil sebuah job yang tak berbeda dari sebelumnya. Seorang bar waitress. Hanya itu yang cocok dengan dirinya sejauh tinggal di kota metropolitan.

"Jadi nama kamu Lova Tilotama Surendra?" Seorang pria datang, duduk di depannya, menatap Lova. Sejauh dia memandang hanya menemukan wajah cantik yang begitu nyaman dipandang mata.

Lova mengangguk sekali, tersenyum.

"Pak Pritam jarang sekali membawa pegawai baru dengan cara begini. Tahun kemarin dia bahkan menolak lima gadis cantik dan seksi," imbuhnya tertawa ringan. Menatap Lova kemudian.

"Namaku Hendy. Aku yakin kamu gak perlu tahu nama panjangku." Dia tertawa aneh. "Aku bar supervisor. Kalau ada apa-apa kamu tinggal datang ke ruangan ini, mengadu barang kali."

Lova diam, setidaknya pria yang asal 'nyablak' begini sudah biasa untuknya kalau masuk lingkungan 'malam' begini. Dia sudah punya mental untuk itu.

"Gak ada yang ditanyain lagi?" Hendy bertanya lagi. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Sejak tadi hanya diam, mengangguk, atau tersenyum. Kalau saja saat datang dia tidak menyapa, Hendy mungkin berpikir bosnya setengah gila dengan membawa gadis bisu datang ke Black Mouse.

"Kamu bisa bekerja," ucapnya. Bangkit dari tempat duduknya.

"Pak?" Lova akhirnya membuka suaranya. Mencegah pria itu pergi begitu saja. "Tidak ada tes wawancara? Tanya jawab? Tanya keahlian atau pengalaman barang kali? Risiko dan sebab akibatnya ..." Lova mulai cerewet. Ada yang aneh di sini. "Bagaimana bisa saya langsung kerja di sini?"

Pria itu hanya tertawa. Menepuk pundak Lova. "Memangnya siapa yang bisa menolak rekomendasi Pak Pritam?" katanya berbasa-basi, setelah itu dia benar-benar pergi dari hadapan Lova. Meninggalkan gadis itu diam dalam tanda tanya.

Namun, benar juga. Dia datang atas rekomendasi dari pemilik tempat ini.

"Ah, sial ...."

••• Marriage Obsession ••••

"Pegawai baru?" Seseorang menegurnya. Datang dengan handuk kecil yang melingkar di atas lehernya. Pria yang cukup tampan, mungkin dia juga seorang pelayan di tempat ini.

Lova menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum manis untuk itu. "Lova," ucapnya memperkenalkan diri, sembari mengulurkan tangannya. Tentu saja untuk pria yang ada di depannya sekarang ini.

Sayangnya dia seakan diabaikan. Pria itu hanya diam dan terus-menerus fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang. Tidak peduli dengan kebaikan gadis asing di sisinya yang mencoba untuk akrab dengannya.

Lova perlahan-lahan mulai menurunkan tangannya. Meskipun tersinggung dengan sikap dingin pria itu, tetapi dia mencoba untuk memahaminya. Tidak semua orang suka diajak berkenalan dengan cara begini. Juga tidak semua orang bisa menerima orang baru dengan lapang dada.

"Kuliah atau bagaimana?" Pria itu tiba-tiba saja membuka mulutnya. Tidak mau menoleh ke arah gadis yang juga mulai menyibukkan dirinya meletakkan semua barang-barangnya di dalam loker.

Lova menghela nafasnya panjang. "SMA aja aku tidak lulus. Dia tertawa tentu saja menertawai dirinya sendiri. Nasibnya tidak semujur orang-orang yang ada di luar sana. Akan tetapi setidaknya dia bisa bersyukur dengan kondisinya sekarang ini. Jauh lebih baik ketimbang dia tinggal di kolong jembatan atau semacamnya. Setidaknya dia tidak menjual dirinya meskipun sedang butuh uang dan didesak oleh keadaan.

"Kalau kamu?" tanyanya. Melirik ke arahnya. "Ngomong-ngomong kita juga belum berkenalan secara formal. Siapa nama kamu?"

"Asli orang Jakarta?" Dia mengabaikan pertanyaan dari Lova yang jelas-jelas ditujukan untuk dirinya. "Cara ngomong kamu sedikit berbeda, kamu asli mana?"

Gadis itu diam sejenak, sekarang dia mulai menatap ke arah pria itu secara perlahan-lahan. Mencoba memastikan kalau pria yang ada di sisinya itu memang benar manusia. Caranya berbicara dengan ekspresi datar dan nada bicara yang monoton, hampir saja mengingatkan Lova pada hantu-hantu yang ada di film horor yang kemarin dia tonton bersama Nike di bioskop bajakan kota, yang hanya menyewa 8000 untuk setiap tempat duduknya tanpa batasan film yang ingin mereka tonton.

"Dari desa." Lova tidak mau menyebutkan spesifiknya. "Kalau kamu sendiri dari mana dari kota ini? Kamu memang berasal dari Jakarta?"

Dalam sepersekian detik dia tidak memberi jawaban apapun. Dia kembali fokus dengan aktivitasnya di sana. Mereka tidak benar-benar berdampingan satu sama lain, ada jarak dua loker yang membatasi mereka.

"Kamu datang ke sini karena rekomendasi teman atau bagaimana? Aku tidak melihat lowongan pekerjaan yang tertempel di pintu depan. Kamu membawa orang dalam sebagai koneksimu untuk dapat kerja di sini?"

Sekarang Lova yang diam, sekarang dia sadar bahwa pria yang ada di sisinya itu sedang mencoba menggali informasi darinya. Akan tetapi, dia tidak memberikan balasan sedikitpun. Bahkan hanya mengutarakan namanya saja dia tidak bisa.

Pria itu tiba-tiba saja memandang ke arahnya. "Aku bertanya padamu."

Lova memicingkan matanya. Dia juga ikut menatap ke arah pria itu dengan aneh. Jujur saja dia mulai tidak suka dengan caranya bertanya dan menatap ke arahnya. Padahal mereka baru saja bertemu malam ini. Tahu namanya saja tidak bagaimana bisa akrab?

"Pak Pritam yang merekomendasikan aku untuk datang ke sini." Dia merogoh masuk ke dalam saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang sudah terlihat sedikit kusut sebab dia tidak melipatnya dengan benar. "Kebetulan aku mengenalnya secara pribadi, kebetulan juga aku baru saja keluar dari tempat kerjaku yang lama." Dia tersenyum manis meskipun di dalam hatinya mulai tidak suka dengan pria aneh di depannya itu. "Jadi ...."

"Aku tidak peduli." Tiba-tiba saja pria itu menyahut lalu melangkah pergi dari hadapannya. Tanpa kata-kata dia berlalu begitu saja, tentu saja dengan ekspresi menyebalkan dan nada bicara aneh seperti itu.

"Hei!" Lova memberanikan diri untuk memanggilnya. Membuat pria itu berdiri tepat di depan ambang pintu yang baru saja ingin dia buka.

"Kamu ini siapa?" Sekarang Lova yang memasang wajah aneh, heran dengan pria itu. "Aku tahu kalau kamu itu sudah lama kerja di sini, tetapi bukan artinya kamu bisa bersikap seenaknya sendiri begini."

"Kapan aku bersikap seenaknya sendiri?" Dia menyunggingkan senyum. "Jika bertanya tentang asal-usulmu adalah hal yang termasuk dalam kata seenaknya sendiri, maka aku selalu melakukan itu pada orang lain."

Lova mengerutkan keningnya. "Bukan itu yang ...."

Belum juga dia menyelesaikan kalimatnya. Pria itu menarik gagang pintu dan membuka pintu lalu pergi dari sana, meninggalkan Lova yang diam tidak tahu harus berkata apa lagi.

Dia hanya memejamkan matanya, lalu menghela nafas panjang. "Ck, sialan."

"Dia memang begitu!" seru seseorang keluar dari sebuah bilik yang tak jauh dari posisinya berdiri.

Lova menoleh dan menatap ke arahnya.

"Ranu," imbuhnya.

"Ranu?"

"Itu nama pria yang baru saja berbicara dengan kamu. Dia adik tirinya Pak Pritam."

... To be continued ...