webnovel

Marriage in lost Memories

Hidup ku seperti potongan puzzle Banyak nama yang aku hapus dalam memori ku, otak ku menolak mereka yang pernah menyakiti ku dan sekarang mereka muncul satu persatu. Salah satunya adalah Devan-suami ku! Suami dalam pernikahan berlatar bisnis ini. Dan dia-J juga kembali dari koma mencoba membawa ku kembali dalam kehidupan nya! Saat kenangan itu kembali bisakah aku menerima mereka kembali.

Daoist253276 · Geschichte
Zu wenig Bewertungen
74 Chs

Lima Puluh Empat

Alena Pov....

Aku terbangun di tempat asing. Kepala ku pusing sekali dan sekujur tubuh ini kaku. Saat mengangkat tangan ada tali infus menancap. Kulihat sekeliling. Aku berada di atas tempat tidur besar dengan sekeliling tampak mewah. Sesaat aku ingat terakhir aku tidak sadar, didepan pintu rumah wanita yang wajah nya mirip Devi.

Spontan aku langsung meluruskan tubuh tapi kepala ini langsung pening.

Hatchi..

Harchi..

Ingus ku langsung meleleh.

Meski pusing aku berusaha turun dari sana.

Aku harus mencari anakku.

Tongkat infus ini ku jalankan dengan agak tertatih. Sekujur tubuh ku seperti baru di lindas dengan sesuatu. Benar benar sakit.

Aku terengah dan duduk diujung tempat tiduran bergerak sedikit saja membuat ku lesu begini. Serasa bertenaga aku kembali berjalan menuju pintu. Bahkan saat mengulurkan tangan rasanya gemetaran.

Pintu itu terbuka. Aku berjalan keluar. Kulihat ini bukan rumah yang tadi aku temukan. Ini seperti sebuah mension besar. Bisa kulihat dari jendela Estalase disana ada rumput hijau yang luas. Dan banyak pohon pohon di luar sana.

" Eh kamu sudah bangun? "

Aku mencari sumber suara itu. Berbalik dan mendapati sosok Devi. Aku kaget tapi hanya sekian detik setelah mengingat wanita ini hanya mirip dengan Devi. Dia Alea.

" Kamu masih lemah. Wajah mu puc-

" Dimana anak ku?" Tanya ku tidak mau basa basi.

Wanita ini mengulum senyum dan menarik nafas" Apa kamu mau makan sesuatu dulu?

" Aku ingin anak ku! " Sahut ku dingin aku kembali berjalan menjauhi nya mencari cari dimana kiranya anak ku disembunyikan.

Hingga kulihat ada seorang anak kecil yang mendorong kursi rodanya setelah melihat ku.

" Ibu peri...

Anak laki laki yang tentu aku ingat siapa dia Jeremy.

Jeremy semakin mendorong kursi roda nya dengan senyum mengembang. Sedikit banyak suasana hati ku agak melebur setelah melihat senyum nya.

" Jeremy... Apa kabar?" Tanya ku pada anak kecil ini setelah bersalaman dengan ku.

" Baik tante.." Jawab nya tampak riang.

" Aku ada bikinkan bubur. Sebaiknya kamu makan dulu Alena, tubuh mu butuh nutrisi" Alea kembali muncul dibelakang ku dan mengusap bahu ku.

Aku menepisnya, melihat nya seperti kuman. Jahat memang tapi wajah nya ini mengingat kan ku dengan Devi. Wanita iblis yang menciptakan malapetaka di masa lalu ku.

" Aku tak bisa lama lama disini! Setelah membawa anak ku aku pergi" Ujar ku dengan sudut pandang dingin pada Alea.

Alea melihat ku dalam dan sangat meyakinkan " Itu susah!! Devan tidak mengizinkannya "

" Dimana dia. Aku ingin bicara dengan nya" Kataku kembali mencari sosok itu. Mengabaikan wanita ini bicara lebih banyak, bertatap lama lama dengan nya membuat ku menjadi pemarah saja.

" Dia masih bekerja, 3 jam lagi di pulang! Tunggu lah. Dan pulihkan diri mu" Kata Alea lagi.

" Tante harus makan! Wajah tante pucat sekali" Celetuk Jeremy. Aku tersenyum kecil padanya " Jagoan apa kamu tau dimana Papa mu menyembunyikan bayi kecil??" Tanya ku tak mau menyerah.

Jeremy menggeleng. Maksud tante. Adela? Papa membawa nya tadi pagi" Jawab anak kecil ini membuat ku pupus untuk membawa anak ku dengan cepat. Pria itu sudah mengamankankannya lebih dulu.

" Aku akan membawakan bubur nya ke kamar. Kembali lah kedalam..." Kata Alea lagi.

Aku tak menurut emang siapa dia memerintah ku. Lagi pula aku benci wajah nya. Sangat membuat ku ingin mencakarnya.

Aku menuju sofa disana duduk dengan letih. 3 jam kan. Aku akan menunggu b*jingan itu datang.

Tapi kemudia Alea datang dan membawakan nampan berisi bubur. Ada kepulan di mangkok putih itu terlihat masih panas dan bau nya entah kenapa cacing pelihara diperut malah bikin parade dadakan. Aku merasa sangat kelaparan sekarang.

" Jangan bersikap baik dengan ku. Kamu tau. wajah mu ini sangat mirip dengan musuh ku yang sudah meninggal. Aku sangat membencinya" Ucap ku ketus.

Kulihat bibir nya tersenyum tipis. Ku alihkan lagi mata ku kelain arah. Melihat nya membuat mood ku tambah buruk.

" Devan sudah menceritakan nya! Sorry kalau wajah ku membuat mu sangat kesal" Sahut nya, aku terdiam sesaat. Emosi ini memang tak seharusnya kutunjukan pada Alea. Tapi otak dan hati kadang tidak bisa berkompromi.

" Terimakasih! Berkat kamu mampir di restoran aku jadi menemukan Devan dan anak ku" Kata ku kemudian kali ini lebih melunak.

Aku hanya melirik nya singkat. Alea tersenyum. Sebenar nya ia wanita yang baik. Tapi pengaruh wajah nya mirip Devi aku jadi kurang suka dengan nya.

Situasi terasa canggung beruntung ponsel Alea berbunyi. Ia segera menjauh untuk mengangkat telepon. Mengingat itu. Aku lupa kalau ponsel ku tertinggal di loker. Mungkin setelah bicara dengan Devan dan membawa anakku aku akan segera meninggalkan Negara ini. Rasanya aku sudah tak sabar untuk menghubungi semua yang di Jakarta, Dave, papa dan Susan.

Sambil menunggu Devan aku mengisi sedikit perut ku, orang sakit memang ga punya salera makan banyak. Hanya beberapa sendok saja rasanya perut ku menolak. Setelah mengisi perut aku segera minum obat. Ini untuk memulihkan kondisi ku lagi. Dan mungkin karena pengaruh obat aku mulai mengantuk. Tubuh ku memang perlu istirahat rasanya aku benar benar tertidur nyenyak.

Saat membuka mata aku kembali ke dalam kamar ini. Kulihat jam disana sudah jam 8 malam. Aku tertidur cukup lama. Dengan cepat aku kembali turun dari ranjang sambil membawa botol infus.

Di luar tampak sepi hanya ada lampu menyala. Ku seok lagi kaki ini mencari cari penghuni tempat itu. Hingga ada suara orang bercakap cakap di sebuah ruangan. Kaki ku mengikuti langkah itu.

Sepertinya aku memasuki ruang meja makan.

Disana kulihat Devan dengan Alea sedang sibuk makan malam sambil bercakap cakap. Devan terlihat luwes dengan cinta masa kecil nya itu. Terlihat jelas ia sangat nyaman dengan Alea. Bahkan interaksi nya berbeda dengan ku dulu. Dulu ia sedikit canggung kalau sekarang ia tampak seperti manusia normal. Bahkan bisa tersenyum senatural itu.

Ini sedikit mengusik hati ku. Mereka seperti Devan dan Devi. Ada rasa muak aku melihat nya.

Botol infus yang pegang malah jatuh dan tali infus sampai tertarik. Rasa sakit menjalar saat jarum disana seperti tergeser. Aku meringis sambil memungut botol infus itu. Dan menepikan air mata ku. Mereka pasti sudah melihat kedatangan ku.

Saat ku mendongak senyum Devan yang kulihat tadi sirna. Ada wajah tak suka nya disana.

" Alena.. Astaga.. Apa kamu baik baik saja?" Alea bangkit dari sana untuk melihat keadaan tangan ku.

Aku segera menyembunyikan tangan ku menatap wanita ini dengan sinis.

" Aku mau bicara dengan nya! Bisa tinggalkan kami berdua" Pinta ku lebih kepada memerintah.

" Oh. Oke" Alea lalu melepas apron nya dan meletakkan diatas meja. Ia bicara dengan mata pada Devan entah apa yang ia sampaikan. Aku merasa tak perlu tau itu.

Setelah Alea pergi aku kembali mengeok kaki kesana.

" Aku hanya akan menjemput anak ku! " Kataku dengan suara normal. Atmosfer disana langsung terasa pengap. Kuambil pasokan udara dengan susah payah.

Kulihat rahang nya tampak mengeras dengan mata menyipit melihat cangkir berisi minuman. Kuteguk air liur ku yang terasa seperti batu. Aku tau ini atmosfer yang selalu datang setiap berhadapan dengan nya. Aura yang menakutkan.

" Anak mu sudah mati! Dia bukan anak mu" Katanya membuat ku merasa ada lobang menganga di benak sini. Apa ia ingin membuat ku kesusahan lagi.

Aku menyembik mengecemooh gurauan nya. Apa perlu aku bercerita dulu dengan apa yang terjadi. Apa dia pura pura tidak tau atau hanya ingin membuat ku menangis darah dulu dan memohon mohon dibawah kakinya.

" Tolong kembalikan dia padaku! Dia darah daging ku!" Pintaku dengan lirih.

" Dia anak ku! Kamu menyembunyikan nya dari ku! Dan anak yang kamu lahirkan waktu itu sudah mati! Itu anak ku! Bukan anak mu lagi" Suaranya meninggi. Aku merasa pusing sesaat mendengar rentetan kata-kata nya.

" Dev.. " Suara ku melemah. Jujur aku tidak mau kencang urat lagi mehadapi sikap kekanak kanakan Devan. Air mata ku merembes. Tidak bisa kah dia punya sisi kemanusian sekali ini saja. Atau punya otak waras. Jelas-jelas Adela anak yang ada dalam perut ku waktu itu.

" Kamu tau! Dia sudah di buang! Kalian sudah membuang nya! Untuk apa lagi kamu mencari nya... Dia sudah tidak ada hubungan nya dengan kamu lagi.

Aku terisak. Bukan kah kata katanya sekejam itu dari mana aku membuang nya, kalau aku tau Jordan melakukan nya lebih awal aku pasti menemukan anak ku sendiri.

" Aku tidak membuang nya! Kamu sendiri tau kan bagaimana keadaan nya! Dev.. Ku mohon kembalikan anak ku! Dia anak ku!!

" Dia juga anak ku"

Suara nya meninggi bahkan ia sampai berdiri disana.

Situasi kembali mencekam. Ada jeda beberapa saat.

" Aku lebih membutuhkan nya! Aku Ibu nya! Kamu ada Jeremy dan Alea. Kalian bisa hidup baru. Kamu bisa buat anak sesuka hati mu! Tapi jangan ambil bayi ku" Ucap ku terisak. Aku semakin merasa keras kepala Devan membuat ku putus asa.

" Apa..

Ia tertawa kecil.

Botol infus ku kembali jatuh kelantai. Sakit ditangan ku terasa semakin mengiris. Infus itu menyedot balik darah ku disana. Tapi hati ku lebih sakit. Apakah perlu aku semenderita ini hanya untuk mengambil hak ku. Apakah manusia egois ini sama sekali tidak punya belas kasihan.

Aku duduk bersimpuh. Ini adalah titik nadir terendah yang aku lakukan. Memohon seperti ini kepada manusia seperti dia.

" Aku mohon kembalikan anakku" Pinta ku dengan getir di tangan ini. " Aku tidak tau kenapa kamu sebegini jahat Dev... Aku tidak tau seberapa benci kamu sama aku tapi pikirkan putri ku! Dia pasti ingin bersama ibu kandungnya!"

Dia diam sesaat. Apakah aku bersimpuh seperti ini masih belum mengetuk hati batunya.

Devan beranjak dari sana membuat ku merasa takut. Bahkan saat ia melangkah harapan ku semakin lenyap.

" Aku akan mengizinkan mu melihat nya dan merawatnya! Tapi tidak membawa nya" Katanya disana membuat ku memiliki harapan besar. Aku merasa sangat bahagia. Setidak nya aku bisa melihat anak ku. Memegang nya dan memeluk nya dan selali ada disisinya.

Setelah mengatakan itu ia pergi dari sana. Aku menangis sesegukan tidak mempercayai ini.

*

*

*

Hati ini rasanya seperti es krim yang memeleh dan terasa manis. Meski melalui kaca tebal ini aku bisa melihat bagaimana bayi gempal itu sedang melihat mainan di atas kepalanya. Keduan tangan nya menggenggam erat. Mata indah nya tampak disana. Kulit nya sangat putih bersinar. Aku tak bisa menepis air mata kebahagian ini.

Didalam sana ada baby sister yang siaga menemani nya.

" Tunggu setelah kamu sehat! Kamu bisa menemui nya" Kata Alea di belakang ku.

Aku tau. Aku sedang sakit. Tentu tidak akan menulari bayi ku sakit flu ini. Aku hanya mengangguk sambil terus menangis dan membayangkan bagaimana aku sudah disana bermain dengan anak ku

Bayi yang kemaren dalam perut ku. Yang waktu itu sudah dikatakan tiada. Ada didalam sana tumbuh dengn sangat baik. Dan Aku tak pernah sebahagia ini.

Dalam 3 hari aku merasa kembali fit. Aku sudah tidak sabar untuk menemui Adela. Ya namanya Adela Humours.. Seperti ada kegugupan tersirat dan ketakutan saat menunggu hari ini.

Seorang Baby Sister membuka pintu itu dan membawa bayi mungil yang bergerak gerak dalam gendongan. Dengan tak sabar aku langsung merebut nya air mata ku tak henti henti nya menetes. Kurasakan naluri kami berdua terhubung. Mata hitam nya sangat cantik ia melihat ku dan menyembik. Pipinya gempal sekali. Tak sadar aku tersenyum dan terus tersenyum.

" Hy.. Ini Mama sayang.. Ini mama kamu.. " Ucap ku tak henti henti nya menatap mata indah ini. Mata seindah ini bergerak gerak dengan tangan mungil nya menggapai gapai jempol ku di genggam nya erat dengan mulut menguap nguap.

Kurasakan hati ini terenyuh.

" Tante.. boleh Jeremy cium Adek Jeremy ga?" Tanya Jeremy dengan polos.

" Tentu tentu sayang. Ini adek Jeremy... Lihat mata kalian sangat mirip... " Kata ku langsung mendekatkan Adela ke dekat Jeremy. Tangan kecil Jeremy mengusap pergelangan tangan Adela yang lembut. Ia lalu memekik dan tersenyum lebar.

Entah kenapa melihat nya aku menjadi melow lagi. Jeremy yang masih kecil saja sangat menyanyangi Adela. Rasanya ini bertentangan dengan pemikiran ku dulu yang sangat kekuh menentang nya ada di antara aku dan Devan.

Aku tersenyum getir. Aku tau ini bukan tentang aku Jeremy. Memang hubungan ku dengan Bapak nya yang terasa cukup disudahi aku tak memiliki rasa kepercayaan padanya lagi.

Kami bermain main beberapa menit sampai aku tak menyadari ada yang melihat kami di sudut sana, aku menengok ke jendela estalase tapi tak menemukan orang nya lagi, mungkin hanya perasaan ku saja.

Apalagi Adela tampak haus. Dengan di bantu baby sister disana aku di bimbing untuk mengenali susu formula Adela dan cara pembuatan nya. Andai saja aku bisa menemukan Adela dengan cepat mungkin ASI ku masih berfungsi.

Setelah stres berat dan kelelahan pasokan ASI ku sudah menipis dan habis total.

Dan seharian penuh aku bersama Jeremy juga Adela. Sebisa mungkin aku melakukan semua tugas baby sister sebelumnya ku kuasai.

Ini sudah petang. Aku mungkin bisa meninggalkan Adela saat ia tidur. Aku mau ke rumah sebentar dan ke Restoran tentu aku hilang mendadak bisa membuat Grace melaporkan kehilangan orang. Dan mungkin aku langsung Risign. Misi ku sudah selesai walau harus tinggal dulu di tempat ini setidaknya nya aku sudah berkumpul dengan Adela.

Aku kaget saat menutup pintu kamar Adela saat keluar ada Devan. Ia juga tampak kaget dan langsung buru buru meneruskan langkah nya.

Canggung emang. Selama aku di isolasi aku hanya berada dalam kamar memulihkan sakit ku dan sesekali melihat Adela di kejauhan. Selama 3 hari aku hanya melihat Devan ada di rumah itu dalam waktu tertentu. Pernah aku melihat nya menggendong Adela dan aku segera kabur ke kamar. Atau tak sengaja berpapasan seperti saat ini. Aku segera menghindar.

Atau saat ia sedang mengobrol dengan Alea aku memutuskan tidak keluar kamar.

Aku hanya ingin kedatangan ku kesini hanya untuk anakku. Tanpa terlibat apa apa dalam Devan lagi. Seperti katanya hubungan kami sudah berakhir. Lagipula aku pikir ia sudah semakin klop dengan Alea.

Selesai mandi dan bersiap aku segera keluar, aku tak tau baju siapa yang ku pakai. Hanya saja baju ini pas untuk ku. Sudah ada beberapa pakaian saat aku siuman waktu itu. Hari ini aku serasa kembali hidup. Rona wajah ku seperti muncul kembali.

Sebelum nya aku ada bertanya kepada pelayan disana jarak tempat ini ke daerah Restourant ku bekerja. Katanya sekitar 50 menit. Aku juga mencatat alamat mension ini agar memudahkan ku kembali kesini.

Aku keluar dari Mension itu. Ini pertama kali aku menginjakkan perkarangan indah ini. Rumput disana tampak sangat asri bahkan bisa kucium aroma alam yang nyata di depan mata. Kemungkinan Mension ini terletak di daerah perbukitan karena udara nya sangat dingin kalau malam.

" Permisi sir. Pintu keluar sebelah mana?" Tanya ku kepada tukang kebun disana.

" Oh ya sore Nona. Pintu keluar? Ada di sebelah sana. Nona mau kemana? "

"Saya mau ke Stanhope Terrace, sir. Apakah ada halte bis didekat sini?"

Pria berumur ini mengerinyit. " Halte? Ada tapi gak jauh Nona. Kalau jalan kaki bisa melelahkan. Mau saya antar?" Tawar Bapak ini sembari berdiri meletakkan cangkul milik nya.

" Aah merepotkan Pak. Saya bisa jalan sendiri! Lagian saya kuat jalan kaki" Sahut ku ramah. Pria ini tersenyum.

" Ah sebentar Non, tadi katanya keponakan saya mau ke kota"

Lalu pria bersepatu booth jni melepaskan sarung latek nya berwarna jingga, ia menoleh kekiri ke kanan dan matanya lalu melebar dengan spontan ia melambai.

" Max.. Max.. Kemari lah" Teriak nya disana. Aku menoleh dan melihat ada pria dengan jambang agak panjang. Rambutnya cokelat ikal, Ia mengenakan kemeja panel kotak kotak dan sepatu Booth cokelat. Dari postur nya ia seorang pekerja keras terlihat badan nya tampak kokoh denga perawakan seperti itu.

Pria itu mendekat mata abu abu nya melihat ku sepintas meski wajah nya tampak liar ia cukup tampan, sekilas ia agak mirip dengan Jordan kalau dari badan nya. Yang sama tinggi dan berotot.

" Nona ini mau ke kota! Apa kamu bisa sekalian mengantar nya?" Kata Pak tua ini membuat ku tak enak hati.

" Aku mungkin perlu tumpangan sampai halte Bis saja" Sela ku.

" Bisa! Mau pergi sekarang? Tanya keponakan pak tua ini yang kutau tadi namanya adalah Max.

Aku mengangguk.

" Tenang Nona! Dia pria baik. " Kata Pak Tua seolah membaca pikiran ku.

Aku mengangguk malu malu. Apakah keliatan sekali aku menilai pria ini saat melihat perawakan nya yang agak liar atau berantakan.

" Truk nya ada disana Nona" Kata pria bernama Max ini menunjuk.

" Panggil aku Alena, sir" Sela ku rada tak nyaman dengan sebutan Nona. Aku bukan Nona tuan rumah lagi.

" Oh oke" Sahut Max lalu menggiring ku ke sebuah truk kecil yang seperti nya masih layak dipakai. Ini mirip truk punya Alera. Hanya saya ini lebih baik kalau segi perawatan nya.

" Maaf hanya ada ini, atau kamu mau coba pakai kuda??"

Aku terperanjat mendengar kuda. Aneh saja soal nya terbiasa di kota Indonesia memakai kuda di jalan masih asing kecuali harus ke pedesaa  atau daerah wisata.

" Kamu sering naik kuda" Dalih dalih menjawab aku malah bertanya.

Max memasukan kunci truk nya dan memutarnya. Mesin menyala dan truk ini bergetar hebat untuk beberapandetik.

" Sorry! Truk tua" Katanya nyengir.

Aku hanya menggelang tidak mempermasalahkan nya.

" Ada banyak kuda di peternakan belakang. Apa kamu mau berkunjung? Ku rasa gadis kota seperti mu kurang suka dengan alam.."

Aku cukup tersanjung dengan sebutan nya gadis kota. Aku bahkan sudah punya anak. Gadis darimana.

" Itu sangat menarik. Mungkin nanti aku akan kesana! Terimakasih ajakan nya" Sahut ku duduk manis disana.

Truk kecil ini lalu mulai berjalan di bebatuan keci yang membawa kali ke jalan besar tapi tak begitu banyak pengendara lain. Tempat ini memang berada di perbukitan, suasana nya mirip di Bern. Sejuk dan sangat bebas polusi.

Mataku melihat ke spion sana ada Mobil Devan yang kemaren aku lihat di perkarangan rumah Alea. Ya itu

Itu menang Devan bisa kulihat ia mengendara seorang diri dengan sikuk bersandar di jendela terbuka.

Ia berada di belakang truk.

Kemungkinan dia melihat ku ada di dalam truk ini. Mata ku bisa bertemu matanya. Kemudian mobil itu sedikit mempercepat mobilnya. Apa dia ingin mengejar Max...