Indira berpura-pura sibuk memandang langit malam dari balkon apartemen Liam, meskipun ia tahu ada langkah yang mulai mendekat.
“Untuk kamu,” ucap Liam mengulurkan satu cangkir teh, sedangkan di tangan lain pria itu pun sama.
Perempuan itu segera menerimanya. “Lo nggak suka kopi?”
Itu pertanyaan pertama yang Indira lontarkan setelah ia bungkam cukup lama dan berusaha menghindar dari Liam. Ucapan pria itu saat di depan pintu unit masih terbayang dalam benaknya.
Terlalu manis untuk mendapatkan respons tubuhnya yang tidak keruan.
Huh! Jangan-jangan ia sudah mulai masuk ke dalam perangkap Om Mesum ini?!
“Ya. Lebih suka yang manis. Apalagi kalau lihat kamu. Bawaannya selalu tersugesti untuk tersenyum.”
Sial!
Hampir saja Indira akan bersiap minum dan ia bisa tersedak mendengar rayuan ‘maut’ seorang Liam Ogawa yang sekarang berdiri di sampingnya lebih dekat, lalu memandang wajahnya dari samping denagn senyum menyebalkannya.
“Dasar tukang gombal!”
“Gue nggak bakal pernah masuk dalam jebakan alias rayuan murahan lo untuk mengambil keuntungan lebih!”
Sebelah alis Liam terangkat dan berusaha menahan kedutan di kedua sudut bibirnya. Pria itu mengubah posisi bersandar menyamping supaya bisa melihat perempuan sebatas bahunya. “Kamu yakin nggak ada rasa suka sedikitpun atau diam-diam mengagumi ketampananku?”
Indira menoleh dengan mata memicing. “Lo pria dewasa pertama yang buat gue kesal tujuh keliling. Paling aneh karena biasanya pria dewasa itu sikapnya tegas, wajah kaku dan lainnya untuk terlihat berkharisma. Bukannya gue bisa makin eneg ngelihat salah satu pria dewasa kayak lo begini,” balasnya panjang lebar yang langsung membuat Liam tertawa geli.
“Karakter orang itu berbeda-beda,” sahutnya mengulum senyum.
“Nggak bisa disamakan.”
Indira mendengkus. “Gue bilang karena tipe idaman gue pria yang tegas, sorot tajam dan cukup kaku layaknya di cerita yang sering gue baca.”
Sebelah alis Liam terangkat dan berkata, “Kamu suka baca cerita tentang CEO itu?”
“Memangnya kenapa?! Lo nggak terima?” tanyanya langsung darah tinggi.
Karena tatapan pria itu penuh penilaian dan Indira memang sensitif kalau ada orang yang melarangnya untuk membatasi imajinasinya. Kan, bacaan seperti itu lebih merujuk untuk membahagiakan diri sendiri, menghibur dari penatnya kehidupan nyata.
Liam justru mengulurkan jemari tangannya dan menekan ujung hidung mancung Indira. Perempuan itu terkesiap.
“Kamu lama-lama bisa cepat tua kalau marah terus. Mau? Nanti nggak bisa awet muda, dong,” ucapnya menghadirkan tatapan melotot dari Indira.
“Omong-omong, kalau kamu suka baca yang begituan, kayaknya aku memang nggak bisa masuk dalam kriteria kamu. Aku cuma punya posisi sebatas GM di perusahaan. Nggak bisa mewujudkan imajinasi kamu tentang jabatan tinggi tersebut.”
Kedua pipi Indira bersemu. Entah kenapa ia yang jadi salah tingkah sendiri. Kenapa Liam harus berucap dengan santai dan terkesan tidak pernah tersulut emosi?
“Lupakan!” ketusnya mengalihkan pandangan.
Ia memilih menyelesaikan percakapan mengenai hal-hal yang selalu Indira bayangkan. Lama-lama perempuan itu jadi malu sendiri dan juga tidak dapat berkutik lebih jauh mendapati respons Liam.
“Nggak dicampur obat apa pun ke dalam minumannya, kan?” tanyanya yang kembali berpikiran negatif.
Liam sampai harus menggeleng lemah, cukup takjub dan selalu saja mendapatkan tatapan buruk dari Indira.
“Nggak ...”
Indira mengembuskan napas pelan dan akan menyeruput teh hangatnya sampai suara Liam kembali masuk dalam telinganya, “Nggak sampai buat kamu hilang kesadaran sepenuhnya,” sahutnya tertawa geli saat Indira kembali mengumpatinya.
“Lo?!”
Cup!
Tubuh Indira menegang dan jika sebelum suara itu singgah juga Liam yang tidak menahan cepat cangkir miliknya. Mungkin suara pecahan beling akan menjadikan sensasi manis itu hancur.
Liam menerbitkan senyum manisnya, menilik paras cantik Indira dari dekat. Ciuman di pipi kiri yang ia berikan, sukses membuat tubuh itu menegang. Liam pun masih setia membantu memegang cangkir milik Indira.
“Kamu bertambah manis kalau merona kayak gini,” cetusnya membuat jantung Indira berdetak kuat.
Liam menjauhkan dirinya setelah merasakan jika genggaman tangan Indira pada cangkirnya masih kuat.
Sepersekian detik, perempuan itu mengerjap dan menatap tajam Liam. “Kenapa lo cium gue?! Dasar Om Mesum!”
“Jangan terlihat menolak, Indira. Biasanya kalau wajah bersemu kayak kamu, artinya respons tubuh kamu terlalu berbunga-bunga, kan? Aku yakin jantung kamu lagi berdetak kuat.”
Skakmat!
Dengan mengalihkan pembicaraan yang semakin memojokkan Indira, perempuan itu segera menenggak tandas minumannya. Untung saja hangat, bukan panas untuk mempermudahkan meminum cepat.
Setelah itu memutuskan masuk ke dalam dan mencari area pantri, memutus kontak mata dengan Liam.
“Manis dan cantik. Mana yang lebih cocok, ya?” gumam Liam menatap punggung yang semakin menjauh, tapi tidak melunturkan senyum manis Liam.
Sejak diperlihatkan kali pertama foto Indira oleh Mami Liam, pria itu sangat tertarik untuk mengenal lebih dekat seorang Indira Aubrey. Ternyata tidaklah buruk. Ini jauh lebih mengesankan saat perempuan itu hanya bersikap kasar dan menolak perlakuan baik dari Liam. Sedangkan dengan yang lainnya? Perempuan itu akan bersikap manis dan menyebutkan dengan panggilan ‘Kakak’.
Menarik dan selalu membuatnya terhibur dengan sikap konyol dan suara ketus Indira.
“Belum nikah udah sering banget gue mengumpat dan teriak nggak jelas,” ucap Indira duduk di mini bar.
Sekilas pandangannya teralihkan pada pintu penghubung pantri, mengawasi sejenak jika Liam mengikutinya. Tapi, tampaknya pria itu memang menikmati angin malam dari arah balkon.
Indiria mengembuskan napas kasar dan memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia pusing sekali dengan kehadiran Liam.
“Dia beneran nggak pernah sakit hati dengan ucapan gue. Hebat banget sih,” pujinya sekaligus mengeluh.
“Padahal, menurut gue itu udah cara terampuh biar dia menyingkir dan menolak perjodohan ini. Tapi apa? Gue kalah terus dan merasa benar-benar pasrah dengan semua ini,” lanjutnya tidak habis pikir.
Perempuan itu sudah sangat totalitas, memperlihatkan ketidaksukaannya pada Liam. Sayangnya, pria itu memang tidak akan mudah goyah akan perlakuan Indira.
“Adanya jantung gue yang berisiko terkena serangan jantung.”
Ia mengusap kasar pipi kirinya dan sialnya, Indira masih bisa merasakan tekstur lembut bibir tipis itu menyentuh kulit pipinya.
“Hih ... Ternodai lagi diri gue.”
Setelah si pria berengsek idola di sekolah itu nyaris akan melecehkannya lebih jauh, sekarang ada calon suami yang pasti memiliki akses lebih untuk menyentuhnya dan kapan pun. Bukankah sebentar lagi mereka akan melaksanakan pernikahan yang akan sah di mata agama dan hukum? Nyatanya ia sudah semakin ngeri membayangkan semuanya.
“Bahaya ...”
“Bisa udah nggak perawan bentar lagi,” lanjutnya menepuk kening saking kesal alias frustrasi berkepanjangan.
Diam-diam, pria keturunan Jepang itu mendengar keluh kesah Indira dari pintu luar pantri. Perempuan itu tidak sadar keberadaan Liam dan terus menggerutu dan mengumpati kehidupannya yang berubah cepat sekarang.
Ia hanya menahan senyum geli. Indira begitu lucu di pertemuan kali pertama keduanya, begitupun hingga sekarang.
**