webnovel

Perang Pembalasan II

"Jenderal, Apa menurut Anda kita harus mengerahkan seluruh pasukan untuk menghadang lawan yang sudah terluka? Bukankah akan menjadi lebih baik jika kita membagi pasukan menjadi dua dan mengirim salah satunya langsung ke ibukota mereka dan menyerangnya?" Seorang pemuda berwajah tampan dan mengenakan baju besi berkilauan dan lebih bagus dari yang lain. Dengan rambut berwarna merahnya, dia memiliki pesona berapi-api.

Pria tua dengan perawakan gagah dan tatapan tenang yang dipenuhi dengan pengalaman menatap pemuda itu, dia memiliki punggung yang tegak dan dada yang bidang. Janggutnya yang panjang berwarna putih serta pipi yang cekung membuatnya terlihat berwibawa. "Kau tidak salah, tapi tidak benar. Apa kau sudah mengetahui seberapa besar kekuatan yang dibawa oleh mereka? Menghantam mereka secara langsung dan menghancurkannya akan meningkatkan keberhasilan kita menaklukkan ibukota mereka. Tentu saja jika kita memenangkan perang itu."

"Apa menurut Jenderal ini memang akan menjadi perang besar atau hanya perang pembuka saja? Dilihat dari kekalahan mereka sebelumnya, mereka tampak tidak memiliki niat untuk berperang. Namun, saat ini terasa berbeda, seolah-olah ada aura kuat yang menyelimuti mereka. Sebuah kekuatan yang tidak masuk akal dan di selimuti misteri. Hal itu yang aku rasakan ketika mendengar tindakan mereka." Pemuda itu tidak merasa baik setelah mendengar gaung perang yang Kerajaan Salauster bunyikan.

Valaunter mengerti kekhawatiran serta semangat yang dirasakan oleh pemuda yang digadang-gadang akan menjadi seorang Jenderal berperingkat tinggi.

Perang sebelumnya telah memberi dia sedikit pengalaman, tapi belum memenuhi keinginannya. Menengok perangai dari pemuda itu, Valaunter bisa menduga jika dia maniak perang.

Hal itu bukan sesuatu yang buruk apalagi untuk seorang Jenderal selama dia mampu mengontrol nafsunya. Jika dia lepas kendali semuanya bisa berubah menjadi lebih buruk.

Apa yang akan terjadi nanti tak dapat Valaunter duga. Situasi saat ini sudah jauh dari perkiraannya. Dia memang sudah memperhitungkan serangan balik dari Kerajaan Salauster, hanya saja dia tidak mengharapkannya secepat ini.

Jika mereka melakukkannya saat ini maka mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan moral yang tinggi bisa menjadi sebuah pembeda dalam perang. Valaunter telah merasakannya beberapa kali dan salah satu kekalahan yang mencoreng namanya terjadi berkat musuh memiliki moral yang tinggi.

"Perang tetaplah perang, tidak peduli ukurannya. Jika mereka memiliki pasukan lebih sedikit dari kita itu akan menjadi situasi yang menguntungkan untuk kita. Akan tetapi, jika mereka lebih banyak maka kita perlu rencana yang lebih baik dan matang. Mival Belloc, Sang Brigadir Kematian, Pria yang disebut sebagai jenius dari House of Mival. Selama aku yang memimpin pasukan dan menjadi pemegang kendali serta keputusan, aku akan membebaskanmu dari segala hal rumit. Kau bisa fokus menghadapi lawan dan bertarung!" Valaunter, Sang Jenderal Tua yang juga didapuk sebagai Marshal Kerajaan Arannor mengatakan hal tersebut untuk membuat Belloc merasa bebas.

Sebuah kekangan tidak akan menghasilkan hal baik, malahan akan memperburuk keadaan yang mereka hadapi. Valaunter membebaskan Belloc, toh pada akhirnya Belloc juga akan mendapatkan kenaikan jabatan setelah perang ini berakhir.

Dia tidak ingin melihat bakat menonjol yang mengalami kemajuan pesat ini tertahan oleh sebuah aturan yang tidak memberinya kebebasan untuk menjelajahi dan mengembangkan kekuatannya di sebuah perang.

Dengan pasukan sebesar 60.000 prajurit, Valaunter tidak merasa buruk. Pasukan ini sudah lebih dari cukup untuk mengatasi lawan. Dia memimpin hampir seluruh prajurit di Kerajaan Arannor.

Tentu saja dengan pasukan sebesar itu terbesit sebuah harapan besar untuk kesuksesan dalam perang yang mana itu menjadi sebuah kemenangan. Valaunter sendiri sudah mengirim beberapa pengintai untuk mencari tahu kondisi dan situasi pauskan Kerajaan Salauster.

Dia tidak hanya menunggu di satu tempat saja tapi bergerak dan tidak mengambil istirahat. Mereka bergegas menuju ke Dataran Verus dimana tempat tersebut merupakan tempat yang cocok untuk membangun formasi pasukan dengan ukuran yang besar.

***

Veus dan Larsson, dengan dua pilar mengikuti perang ini, Voran bisa sedikit bernafas lega. Tanpa kehadiran dan dukungan kedua orang tersebut. Akan sulit baginya untuk memimpin pasukan.

Sebagai seseorang yang belum pernah menginjakkan kaki ke medan perang, situasi yang dia hadapi saat ini memberikan tekanan yang sangat besar. Dia tidak tahu apakah dia mampu untuk berada di medan perang atau tidak. Untuk menenangkan dirinya, dia mengalirkan energinya ke seluruh tubuh dan merasakannya dengan melakukan meditasi di atas kuda.

"Separuh dari pasukan berasal dari Keluarga Bangsawan. Ini bukan hal yang baik, apa kau memikirkan hal yang sama denganku, Larsson? Perang ini … bagaimana menurutmu?" Perjalanan yang tak sebentar makin membuat perasaannya berat dan Voran merasa dia dihimpit oleh tekanan dan beban yang tak dia ketahui.

Untuk melepaskan diri dari beban itu, dia tidak hanya menghapus keraguannya dengan menanyakannya pada Larsson tapi juga melakukan meditasi yang mana hal itu dia lakukan untuk mengetahui efek dari Pil Penguat yang dia makan.

Memejamkan matanya sejenak sambil mengelus-elus janggutnya, Larsson memikirkan jawaban apa yang harus dia katakana pada Voran.

Setelah beberapa detik dia memejamkan matanya, dia membukanya dan memberikan jawaban. "Tidak mudah. Tidak hanya kita harus mewaspadai lawan, kita juga tidak bisa mengalihkan perhatian dari pasukan Bangsawan-Bangsawan itu. Kita tidak tahu apakah mereka benar-benar akan mengerahkan seluruh kekuatan mereka atau hanya berpura-pura demi menutupi bau busuk mereka!"

Veus tidak hanya mendengarkan saja tapi juga memberikan pendapatnya. Dengan wajah serius serta nada yang tidak main-main, dia berkata, "Akan menjadi tugas yang lebih mudah jika kita hanya mewaspadai lawan. Namun, apa daya! Musuh kita tidak hanya dari luar tapi juga dari dalam yang semakin membuat situasi menjadi tidak menentu. Kita harus memecah belah konsentrasi untuk menghadapi dua masalah ini. Perang ini akan sulit!"

"Begitukah? Musuh terberat tidak pernah berasal dari luar melainkan dari dalam. Selama bagian internal tidak dibenahi akan sulit untuk menyelesaikan masalah eksternal. Betapa mudahnya mereka yang hanya fokus menghadapi masalah eksternal. Namun, kita sudah menetapkan semuanya sejak awal rencana perang ini. Kematian mereka akan menjadi duka dan lara yang tak terhapuskan untuk kerajaan. Sayangnya, keberadaan pemimpin mereka terlalu buruk untuk kerajaan. Yah … pada akhirnya ini untuk kebaikan dan keselarasan kerajaan!" Voran mengatakannya dengan penuh ketetapan hati. Dia tidak bisa melepaskan rasa bersalah karena memerintahkan orang-orang tak bersalah menuju ke gerbang kematian.

Kata-kata seorang raja mampu menghasilkan jutaan kematian ataupun kenyamanan dalam hidup. Oleh karenanya, beban yang ditanggungnya bukan sesuatu yang mudah untuk dipanggul.

Voran tidak bisa mengabaikan rasa bersalah itu dan terus memendamnya hingga sekarang. Walau berada di tengah-tengah pasukan dan didampingi dua sosok penting, dia tidak merasakan apa-apa kecuali kesepian yang membutakan mata dan rasa.