webnovel

MALPIS

[17+] Kisah ini menceritakan soal Alya dan Ben. Mereka bertemu saat si kebetulan tak sengaja menghampiri mereka. Lalu mereka mulai saling memberikan perhatian saat si cinta dan rasa sayang membutakan mereka. Namun si mantan datang dan tanpa sengaja merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

adeliafahriani_ · Urban
Zu wenig Bewertungen
69 Chs

Chapter 68 - Another Conversation

Malam itu, Ben dan Alya bergabung di meja makan. Mereka menikmati masakan sarinah. Wanita itu sudah memasak sejak sore ditemani oleh suaminya. Mereka tengah menikmati hidup bersama anak dan menantunya.

"Mama sama papa kenapa gak bilang kalau tadi siang ke kantor?" Tanya Ben disela kunyahannya. Alya menoleh bingung.

"Oh, itu papamu mau main kesana lihat-lihat." Sahut sarinah tenang. Tak ada rasa gugup pada nada bicaranya.

"Gak tunggu Ben pulang dari meeting." Komentarnya.

"Iya, sengaja. Kapan kamu pulang aja gak tahu. Lagian kamu mau jemput Alya di sekolah jadi ngapain mama harus tunggu kamu." Jelas sarinah. Ia menoleh menantunya dan memberikan senyuman manisnya. Alya membalas senyuman itu kaku.

"Alya, tolong sampaikan sama keluarga kamu, besok kita makan malam bareng. Tanyakan, mereka mau makam dimana." Pesan Malpis ramah.

"Gimana kalau makan malamnya dirumah aja, Pa. Pasti bapak maunya begitu nanti." Usul Alya.

"Bagus. Kalau menurut kamu begitu. Tolong sampaikan ya." Pungkasnya. "Oh iya, bilang sama mama kamu, jangan masak banyak-banyak. Ngerepotin nanti." Sambungnya.

"Iya, Pah." Alya mengangguk paham. Sarinah melirik Malpis dan mereka saling memberi kode satu sama lain.

Setelah selesai makan malam, Alya membantu mama mertuanya membereskan sisa makanan dan mencuci piring. Malpis dan Ben duduk didepan televisi sambil menikmati acara malam itu.

"Lebih enak pergi sendiri apa dianterin ke sekolah?" Tanya sarinah berusaha basa-basi pada menantunya yang tengah mencuci piring.

"Pergi sendiri, mah. Gak merepotkan orang lain." Sahut Alya. Ia hanya berusaha jujur.

Sarinah tersenyum sumbing. "Mama tadi ketemu sama Elena." Serunya. "Mama sudah jelaskan ke dia dan minta untuk dia pergi dari kehidupan kalian. Menjauh lebih baik dari pada dekat tapi malah menghancurkan semuanya."

Alya menoleh. "Mama gak perlu sampai begitunya."

Sarinah menggelengkan kepalanya. "Itu kesalahan kamu." Komentarnya tegas. "Harusnya kamu tahu kalau Ben tidak bisa tegas dengan Elena. Justru kamu yang harusnya tegas. Kamu harus menyelamatkan apa yang menjadi punyamu. Bukannya membiarkan dan beranggapan kalau apa yang kamu titip akan dijaga dengan baik selamanya." Jelas sarinah lugas. "Dari pertama kali kalian bertemu, harusnya kamu sudah memperingatkan Elena."

Alya menarik napas dalamnya. "Alya merasa pertemuan kami yang singkat tidak bisa dibandingkan dengan perkenalan mereka yang sudah sangat lama. Apa posisi itu bisa disamakan." Ia membilas sisa cucian piringnya yang terakhir.

"Kalian sepertinya memang belum saling mengenal satu sama lain. Hanya dengan modal keyakinan kalian menikah tapi tidak sepenuhnya yakin dengan pemikiran sendiri." Sambar sarinah.

Ben menoleh ke belakang dan samar-samar mendengar suara obrolan kedua orang dibelakangnya. Ada namanya yang disebut disana. Ben menajamkan telinganya dan ingin mendengarkan pembicaraan itu. Namun suara televisi mengalahkan itu semua.

"Waktu mama masih baru-baru menikah dengan papa mertuamu, kami juga selalu bertengkar, bahkan hampir setiap kali kami berbeda pendapat. Lima tahun pernikahan kami, itulah terakhir kalinya kami bertengkar hebat sampai mama sempat meminta cerai pada papanya Ben. Tapi setelah beberapa hari kami berpisah, ternyata kami sadar kalau pertengkaran itu hanya bumbu penyedap sebuah hubungan. Kalau tidak ada pertengkaran, kita tidak akan tahu berapa kuat dan eratnya hubungan itu. Semakin besar pertengkaran itu, semakin solid pondasi rumah tangganya. Karena keduanya belajar dari pengalaman dan kesalahan yang pernah mereka lakukan."

Alya mengeringkan tangannya yang basah dengan menggunakan kain kering.

"Pasangan itu tidak harus memiliki banyak kesamaan. Justru yang berbeda itu yang lebih mengisi satu sama lain. Maksud mama, kalau kamu tidak tahu bagaimana caranya memaafkan Ben, setidaknya pikirkan kalau kamu ada diposisi suamimu. Kamu melakukan kesalahan yang sama dan kamu meminta maaf dengan cara yang sama. Bagaimana rasanya?"

Alya diam saja dan tidak berkomentar. Ia menatap mama mertuanya begitu dalam.

"Masalah rumah tangga itu tidak seperti masalah orang yang pacaran. Rumah tangga itu bukan lagi perorangan melainkan dua orang. Kalian yang tahu jalannya, kalian yang tahu halangannya dan kalian juga yang harus melewatinya. Kalian yang tahu kapal itu akan berlabuh dimana, berapa lama dan sejauh mana. Ketika nahkoda salah membaca peta, maka yang lain harus memeritahu arah yang benar. Itu namanya rumah tangga." Sarinah menoleh ke arah suami dan putranya didepan televisi.

"Mama tahu kesalahn Ben ini sudah benar-benar keterlaluan dan sulit dimaafkan. Mama tidak akan bertanya lebih lanjut apakah begitu besar rasa kecewa kamu dan seberapa kecil kamu menginginkan ini semua berakhir. Kami tidak akan ikut campur, karena kalian yang menjalani semuanya. Sejak dulu Mama selalu menyetujui semua pilihan Ben siapapun itu. Dia yang lebih tahu karna dia yang menjalani. Ben mungkin khilaf karena dia dibutakan dengan apa yang dia percaya. Dia gak bisa lihat mana yang benar dan mana yang salah. Tapi Ben memilih kamu bukan sebagai alat tapi sebagai alasannya. Ben sudah memiliki alasan itu sejak awal dan semua kesalahannya hanya pendamping yang harus kalian lewati bersama." Pungkasnya panjang lebar.

Alya menarik napasnya dalamnya. Ia mengerti maksud mamanya tapi hatinya tidak bisa sejalan dengannya saat ini. Dirinya mengakui kalau ia masih menyayangi Ben seperti dulu dan tidak ada yang berkurang, tapi rasa kecewa kenapa sulit sekali disembuhkan.

***

Dewa meninggalkan halaman apartemennya dan bergabung dengan pengguna jalan raya lainnya. Ia berhenti dilampu merah dan bersiap untuk menuju tempat balap liar yang biasanya ia datangi jika ada pertandingan. Dan malam ini ia akan bergabung dengan yang lainnya.

Alya duduk dipinggir tempat tidurnya dan mengecek ponselnya beberapa menit. Ben keluar dari ruang wardrobe dengan celana pendek dan kaos oblongnya untuk tidur. Ben duduk membelakangi Alya. Tempat tidur mereka yang empuk membuatnya bergoyang dan merasakan kalau posisi mereka sudah berdekatan.

"Mama tadi bicara apa aja?" Tanya Ben tenang. Ia menunduk dan menatap kedua kakinya dibawah.

Alya sadar kalau Ben berbicara dengannya. Ia meletakkan ponselnya diatas meja kecil. "Mama suruh aku untuk maafkan kamu."

Ben diam. Ia menunduk dan merenung. "Apa dengan memaafkan aku membuat kamu sedih?" Tanyanya pelan.

"Rasa sedih ini udah gak ada lagi. Yang masih bersisa cuma aku kecewa sama kamu."

"Kecewa kamu gak bisa sembuh kalau kamu gak belajar caranya memaafkan."

Alya menoleh ke arah belakang dengan kesal. "Kamu ngomong kayak gitu seolah kesalahan kamu itu kecil dan bisa gitu aja dilupain. Kamu gak mikir perasaan aku, komentar orang, keluarga aku, kamu gak mikir?" Nadanya mulai tinggi.

Sarinah mendengar suara Alya dari kamar sebelah. Malpis juga tersadar dari tidur ayamnya karena suara itu. Mereka berdua saling berpandangan dan menarik napas dalam.

Ben juga ikut menoleh ke belakang. "Semua udah aku jelaskan ke kamu. Aku berusaha jujur dengan kamu, cerita semuanya, masih aja gak bisa memperbaiki apapun. Aku harus buktikan sama kamu apalagi supaya masalah ini selesai. Kalau kamu capek, aku juga capek. Aku tahu kamu marah, tapi aku juga menyesal. Kenapa semua yang aku ucapkan gak bisa meyakinkan kamu kalau aku benar-benar merasa bersalah dan menyesal setengah mati. Kalau aku bisa memperbaiki semuanya dari awal, udah aku lakukan dari kemarin."

Ben diam sejenak. "Apa kamu gak capek, sayang sama aku tapi kamu gak bisa maafkan aku, gak bisa menyembuhkan rasa kecewa kamu. Aku capek, Al. Aku sayang sama kamu, tapi kamu gak peduli dengan semua yang aku lakukan untuk memperbaiki hubungan kita. Rasanya seratus kali lipat daripada tiga tahu lalu." Ia menatap Alya dalam. Rasa sakit ditinggal Elena tidak seberapa daripada ini.

Alya membalas tatapan Ben padanya. Ia merapatkan bibirnya. Ingin sekali ia menjawab kalimat pria itu, tapi tak ada kalimat yang bisa ia ucapkan saat ini.

Ben menarik napas dalamnya begitu berat. "Apa aku harus kasi apa yang kamu mau?" Ujarnya.

Alya mengerutkan keningnya.

"Perpisahan yang kamu mau selama ini, apa harus aku ucapkan?" Ben begitu serius.

Alya tidak berkomentar. Tiba-tiba matanya berair dan hatinya sedih.

"Kalau dengan cara itu kamu maafkan aku dan bisa menyembuhkan rasa kecewa kamu, aku bisa kasi."

Tatapannya berubah sendu.

Alya merenung wajah pria yang disayanginya. Ia mèncintai pria ini, namun tak tahu bagaimana caranya memafkan.

Sarinah dan Malpis masih duduk diatas tempat tidur mereka dan berusaha mendengarkan lanjutan pertengkaran anak-anaknya.

"Sepertinya sudah selesai." Seru Malpis.

"Selesai gimana?" Sarinah melepaskan selimutnya dan hendak turun dari tempat tidur.

Malpis menahan istrinya dengan erat. "Tujuan kita hanya membantu situasi mereka dan mengembalikan semuanya ke posisi semula, bukan mencampuri." Jelasnya. Raut wajah Trisnah berubah kelam. Ia ingin tahu apa akhir pembicaraan itu.

Alya memutar tubuhnya dan membelakangi Ben kembali. Air matanya jatuh. Hatinya terasa perih mendengar Ben mengucapkan kalimat itu. Harusnya ia bersorak gembira karena permintaannya yang selama ini ia inginkan bisa dipenuhi oleh suaminya. Tapi kenapa reaksinya malah terbalik. Momen yang tak diinginkannya.

"Alya..." panggil Ben.

"Aku ngantuk." Potong Alya. Ia berbaring dan menarik selimutnya hingga menutupi setengah wajahnya. Ben menatap punggung istrinya begitu kelam. Setan apa yang merasuki dirinya hingga ia mengucapkan kalimatnya tadi. Ia ikut berbaring dan merenung sambil menatap langit kamarnya.

***

Dewa mampir disebuah mini market 24 jam yang buka saat itu. Jam baru saja menunjukkan pukul 11 malam dan masih tersisa dua jam lagi sebelum balapan yang akan ditontonnya dimulai. Ia masuk ke dalam mini market dan membeli minuman.

Terdengar suara kumpulan motor datang dan parkir tepat disebelah motornya. Dewa menoleh dan berusaha tenang. Beberapa orang dari sekumpulan motor itu turun dan memperhatikan motor Dewa yang cukup menarik perhatian. Mereka bahkan tak segan-segan duduk diatas motor itu seolah menumpang duduk.

Dewa mulai kesal saat melihat hal itu. Ia ingin membayar minumannya dan segera cabut. Tapi segerombolan ini lebih banyak darinya. Dewa masih menatap ke luar dan berharap sekumpulan orang itu pergi.

Dewa membayar minumannya dengan wajah khawatir.

"Mas, nunggu didalam aja. Diluar lagi rame." Kata petugas kasir mini market itu.

"Kalau saya disini terus, nanti mereka tahu kalau saya takut dengan mereka." Jawab Dewa. .

"Mereka selalu gitu, mas. Kadang-kadang munculnya, tapi sekalinya muncul langsung ribut." Tambah petugas kasir.

Dewa mengambil minumannya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya. "Makasih, mas." Katanya pada petugas itu. Ia berjalan keluar dengan berani. "Permisi, bang." Ucapnya pada segorombolan orang itu.

"Bang, ada rokok gak?" Tanya seorang pria muda yang duduk diatas motornya.

"Saya gak merokok, bang." Jawab Dewa.

"Bisa kali beli dulu." Komentarnya spontan. Teman-temannya yang lain ikut tertawa.

Dewa merasa ia tidak perlu mengikuti permintaan pria itu. "Maaf bang, saya buru-buru." Katanya.

Tak ada yang bergerak dari tempat itu. Mereka masih melihat ke arah Dewa sambil tertawa.

"Permisi, bang." Ia mendekati motornya.

"Oh, ini motor lu?" Kata orang yang sebelumnya.

"Gue pinjam motor ini keliling depan bentar boleh?" Pintanya.

"Maaf bang, saya harus pulang sekarang." Alasan Dewa.

"Lu anak mana sih, pelit amat." Pria itu turun dari motor dan mendekati bocah itu. Dewa mulai ciut dan takut dengan gerakan serentak sekumpulan orang itu seperti ingin mengepungnya.

Angin malam mulai bertiup dan mengumpulkan bau alkohol yang keluar dari napas mereka semua. Dewa menahan napasnya sambil mundur ke belakang.

"Lu ada duit berapa?" Tanya seorang lainnya sambil mendorong bahu Dewa.

"Gak ada, bang. Uang saya pas-pasan." Sahutnya sambil meraba kantong celananya.

"Hape lu mana, sini!" Pinta orang lainnya.

Dewa menggeleng. "Gak ada, bang." Ia menolak untuk memberikan barang miliknya.

Sekumpulan orang itu geram dan mulai mendorong tubuh Dewa hingga bocah itu terpojok. Seorang lainnya mulai memukul tubuh Dewa dengan keras hingga bocah itu terjatuh.

Tiba-tiba mobil polisi datang dan mengepung bagian depan mini market hingga tidak ada yang bisa melarikan diri, termasuk Dewa.

Ponsel Alya berdering saat jam menunjukkan pukul 12.15 tengah malam. Ben menoleh dan ia bangun dari posisi baringnya. Ia belum bisa tidur sejak tadi karena memikirkan kalimatnya yang terlanjur ia ucapkan.

Alya tersadar dan ia melihat nomor yang tidak dikenalnya muncul ditengah malam. Hanya satu nama yang membuatnya khawatir. "Halo?" Sapa Alya dengan ragu.

"Selamat malam, apa benar saya berbicara dengan ibu Alya, wali kelas dari Dewa Ibram?" Kata suara berat itu.

"Iya, saya Alya wali kelasnya. Ada apa, pak?" Alya mulai khawatir dan resah. Ben melihat wajah Alya yang berubah kelam. Ia ingin tahu apa yang terjadi.

"Murid ibu yang bernama Dewa Ibram ada di kantor polisi saat ini didaerah Bogor karena terlibat perkelahian dengan sekelompok orang."

Alya menunduk lemas. "Dewa baik-baik aja, Pak?" Tanyanya. Ia masih mengkhawatirkan muridnya.

"Dia baik-baik saja. Tapi saya harus bertemu dengan walinya terlebih dahulu."

"Baik, Pak. Saya kesana sekarang." Alya menutup telponnya dan menghela napas lelahnya.

Ben tidak bertanya dan dia masih duduk disamping Alya. Ia ingin bertanya namun sesuatu menahannya. Alya menoleh ke arah samping dan menoleh ke arah suaminya yang mungkin sudah tahu sejak tadi. Ia harus ke Bogor malam ini dan ia butuh seseorang untuk menemaninya. Tapi percakapan Ben tadi, membuatnya enggan untuk meminta tolong.

Alya turun dari tempat tidurnya. Ia berjalan ke arah wardrobe dan mengganti bajunya dengan yang lebih rapi dan bersih. Ia mencuci wajahnya dan merapikan sedikit rambutnya yang agak kusut. Begitu ia keluar dari kamar mandi, ia melihat Ben sudah memakai sweater hitam dengan celana jeans kemudian berjalan ke arah kamar mandi.

"Aku yang anterin kamu." Ucap Ben saat lewat disamping istrinya. Alya tersenyum tipis mendengar kalimat itu.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.

Ps; satu part aja yah. Gak sempet edit :'))

See u tomorrow. Xoxo.