Dewa tersadar dari tidurnya saat jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sepanjang malam tadi ia habiskan dengan bermain game hingga pagi. Ia bahkan tidak ke sekolah dihari sabtu itu dan melanjutkan keterangan sakitnya. Dewa sengaja tidak datang ke sekolah karena ia sudah tidak memiliki apapun disana sekarang. Semenjak mengetahui soal pernikahan Wali kelasnya, Dewa sudah kehilangan alasan yang selama ini menjadi penyemangatnya.
Dewa membuka ponselnya dan tidak melihat aktifitas apapun disana. Tidak ada telepon ataupun pesan. Tidak dari Alya atau kedua orang tuanya. Ia hanya seorang diri. Dewa membanting ponselnya ke tempat tidur disebelahnya dengan kesal. Ingin rasanya ia datang ke acara pernikahan itu namun ia juga tahu hatinya akan sedih dan ia tidak bisa menahannya. Belum lagi Ben akan tahu siapa dirinya dan akan mempersulit keadaan, kalau pria itu melarang Alya menemuinya lagi setelah semua yang telah terjadi.
Dewa bangkit dan mencuci wajahnya didalam kamar mandi kemudian menyikat giginya. Sorot matanya sendu dan mengambang. Ia seperti tidak punya arah dan tujuan. Dewa meneguk segelas air putih dan ia kembali bermain game dilaptopnya untuk membuat dirinya tenang sebelum ia keluar malam ini.
***
Elena mengatur rasa deg-degannya ketika ia berada didalam lift yang penuh dengan para tamu undangan. Ia berdiri paling belakang dan untungnya tidak ada yang mengenalnya. Elena tiba di pintu masuk Hall dan ia melihat ditempat itu ramai sekali. Ia menunjukkan undanganya dan membawa dirinya masuk ke dalam Hall. Matanya langsung tertuju pada pelaminan dimana Ben dan Alya ada disana. Ia pernah ada disana.
Elena tidak langsung menemui Alya dan Ben. Ia menuju ke meja hidangan lebih dulu sambil menunggu pelaminan itu sepi dan dengan bebas ia bisa mengucakan sepatah atau dua patah kalimat untuk kedua pengantin itu. Ia mengambil piring kecil dan memilih batagor sebagai kudapan yang dipilihnya.
Tak berapa lama pelaminan itu sudah sepi dan Ben bisa melihat para tamu yang berpasangan masuk melalui pintu Hall. Tak sengaja matanya melihat Elena berdiri disekitar meja hidangan. Tak ada guratan senyum ketika Ben melihat Elena.
Setelah mengisi perutnya, Elena berjalan menuju pelaminan untuk memberikan salam. Alya sudah menatap Elena sejak wanita itu menaiki anak tangga. Elena memeluk Alya dengan lembut dan berbisik, "Kalian serasi." Senyumnya. Alya membalas senyuman itu. Entah kenapa ia tidak merasa tersanjung dengan kalimat itu.
Elena beralih ke arah Ben yang juga melihat ke arahnya. Ia memberikan salam kepada Ben dan pria itu menyambutnya. Ben menelan ludahnya sambil memberikan senyuman canggung. Elena tidak mengucapkan kalimat apapun kepada Ben dan hanya tatapannya saja yang berbicara. Dan tidak ada yang tahu arti tatapan itu.
Kemudian Elena mendekati kedua orang tua Ben dan memberikan pelukan mesra kepada mereka.
"Kamu sehat, Len?" tanya Malpis melihat mantan menantunya.
"Sehat, pah." sahutnya.
"Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi, tante ngobrol lagi ya." Ajak Sarinah sambil menegelus lengan wanita itu. Elena hanya mengangguk. Ia menuruni pelaminan dan menoleh ke arah Ben sekilas. Ben melihat Elena meninggalkan Hall. Helaan napas resah ada dibenaknya.
Alya memegang tangan Ben erat ketika Elena sudah meninggalkan Hall. Ia bisa melihat perubahan sikap dan gerak tubuh pria itu namun ia tidak mau terlalu membahasnya. Ia mengerti kegalauan yang dialami pria itu dan ia belajar untuk memahaminya. "Kamu ingat gak waktu aku pernah bilang kalau kamu harus ijinkan aku masuk ke sistem itu kalau diperlukan?" tanyanya.
Ben tersenyum tipis, "Kamu tidak perlu masuk ke sana." Ia membalas genggaman tangan itu. Alya menganggukkan kepalanya tapi tidak hatinya. Ia tahu, kalau sistem itu sudah ditempati oleh Elena kembali.
***
Alya masuk ke dalam ruang ganti dan menukar gaun pernikahannya yang terakhir. Mita ada disana menemaninya. "Gue salut sama lo, Al." katanya.
Alya menoleh ke arah sahabatnya itu dengan bingung, "Salut kenapa?"
"Lo mau undang Elena ke acara pernikahan lo. Kalau gue, gak bakal gue undang mantannya Razman walaupun gue kenal." Ujarnya dengan nada bangga. "Gue gak nyangka ternyata pengalaman itu mengajarkan lo gimana memahami hubungan itu sendiri."
Alya menghela napas dalamnya. "Menurut lo gue terlihat memahami hubungan ini?" ia melihat pntulan dirinya dicermin. "Lo salah, Mit. Bukan hubungannya yang mau gue pahami tapi Ben. Gue bahkan gak punya waktu untuk tahu Ben itu seperti apa selama ini. Setelah kemunculan Elena, sedikit banyak gue tahu Ben itu gimana." Sambungnya.
"Dan Ben gimana?" Mita menunggu lanjutannya.
"Ben tidak yakin dengan perasannya sendiri sampai dia membuktikannya. Dia mudah goyah dan butuh seseorang yang meyakinkannya. Jauh didalam dirinya, sebenarnya Elena masih ada disana, cuma dia menyangkalnya atau dia merasa mengkhianati gue."
Mita terkejut. Ia mendekati Alya. "Dan lo masih mau melanjutkan pernikahan ini?"
Alya diam sejenak. "Gue kenal Ben sebelum gue tahu siapa dia sebenarnya. Dan gue dekat sama Ben sebelum Elena muncul. Dan itu berbeda setelah Elena muncul." Alya merapikan gaunnya dan bersiap keluar. "Gue masih bisa menyelamatkan Ben."
Mita menahan Alya. "Al, lo gak bisa menyelamatkan Ben dengan metode lo menyelamatkan Dewa. Mereka itu berbeda." Ia mengingatkan.
"Terus gue harus membatalkan pernikahan ini dan ninggalin Ben saat dia perlu gue buat melupakan Elena? Mita, Ben itu mau melupakan Elena tapi dia butuh pendorong yang lebih kuat dari perasaannya sendiri."
Mita menggelengkan kepalanya, "Gue cabut lagi kalimat gue yang salut sama lo tadi. Ternyata lo memang suka mengorbankan diri untuk hal akhirnya bakal merugikan lo."
"Terlambat, Mit. Gue udah resmi jadi istri Ben dan posisi gue lebih besar dari Elena. Gue gak bakal ninggalin Ben apapun keadaannya." Ucap Alya yakin. Mita menangguk pasrah. Ia berharap apa yang diperjuangkan oleh sahabatnya ini berakhir baik.
Alya berjalan ke arah pelaminan dan melihat Ben sudah menunggu disana. Ia menggandeng tangan Mita yang mengantarkan dirinya menuju ke arah suaminya. Tiba-tiba Alya mengucapkan sesuatu, "Lo belum lihat Dewa?"
"Belum. Kayaknya dia gak bakalan datang, Al. Sudahlah, dia datang nanti malah ketemu Ben." Ucap Mita.
Alya menoleh heran, "Memangnya kenapa kalau Dewa ketemu Ben?"
Mita merapatkan mulutnya. Ia keceplosan. Otaknya berpikir keras mencari alasan. "Gak enak lah, Dewa kan udah banyak bikin lo susah. Nanti pasti Ben tanya yang macem-macem ke Dewa atau gimana-gimana." Alasannya.
"Sedikit banyak Ben udah tahu siapa Dewa, Cuma mereka belum pernah bertemu." Pria itu tahu sejak di rumah sakit kemarin. Mereka tiba di pelaminan dan Alya kembali berdiri disamping suaminya.
"Kamu kok lama sih?" tanya Ben penuh senyum. Ia menggandeng tangan istrinya.
"Baju aku gak sesimple punya kamu." Belanya dengan nada lucu. Ben tertawa kecil dan mengelus pipi istrinya itu.
Dewa keluar dari dalam kamar mandinya. Ia baru saja selesai mandi dan bersiap untuk pergi menonton acara balap liar malam ini di pinggiran Jakarta daerah pedalaman. Ia akan berangkat lebih awal dan mampir untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Ia tahu kalau balap liar itu akan membahayakannya. Jika ia lambat membaca situasi maka akan terjebak dengan polisi yang sudah mengepung. Tapi Dewa hanya ingin membuang semua perasaan galaunya sejenak.
***
Acara pernikahan selesai dan semua tamu juga sudah pulang. Acara makan malam bersama keluarga juga baru saja selesai. Wedding planner sudah mempersiapkan kamar khusus untuk kedua orang itu yang letaknya di lantai 26 yaitu King Arrow Red yang sudah dihias khusus untuk pengantin baru.
Alya masuk ke dalam ruangan itu dan melihat tampilannya yang indah. Kamar yang luas dengan berbagai perlengkapan ada disana. Bahkan baju ganti untuk mereka juga sudah disiapkan. Belum lagi jendela yang besar dan menampilan bangunan tinggi Kota Jakarta yang terpampang didepannya menambah keindahan malam itu.
Ben membuka jasnya dan ia memperhatikan Alya yang sedang mengangumi kamar itu. "Kamu mau mandi duluan atau aku?" tanya Ben lembut.
Alya menoleh kaget. Ini pertama kalinya ia satu ruangan dengan pria dan mengharuskannya untuk mandi. Ia gugup. "Aku... duluan." Katanya terbata-bata.
Ben tersenyum paham. Ia tahu kalau Alya canggung dengan situasi mereka berdua saat ini. "Ya sudah, kamu duluan." Ia duduk di kursi sofa didepan jendela.
Alya membuka gaunnya namun terasa ketat sekali. Ia berusaha membuka resliting disamping kirinya dan itu sulit sekali. Belum lagi, berat gaun itu yang menganggunya. Ben tersenyum melihatnya, ia berdiri dan mendekati istrinya.
"Sini, aku bantu." Ucap Ben. Ia menyentuh resliting itu dengan teliti membukanya. Alya merasa jantugnya deg-degan saat Ben menyentuh kulit diderah tulang rusuk.
Resliting itu terbuka hingga pinggang dan memperlihatkan kulit indah Alya yang kuning langsat. Gaun itu mekar dan terbuka serta memperlihatkan sisi samping dada wanita itu. Ben menelan ludahnya sesaat. Alya langsung menahan gaun itu dari arah depan.
"Emm..." Alya melonggarkan tenggorokannya. "Aku mandi duluan." Katanya. Ben mundur dan kembali ke kursi sofanya.
Alya masuk ke dalam kamar mandi itu dan terbelalak ketika didalamnya ada bathtub yang besar dan lantainya terbuat dari marmer yang indah. Bahkan showernya saja besar dan memiliki ruang tersendiri yang bisa digunakan untuk dua orang. Alya membuka gaunnya dan meletakkannya di lantai kamar mandi kemudian mulai membersihkan tubuhnya.
Ben mendengar suara air berbunyi didalam kamar mandi. Ia menatap pintu kamar mandi dan merenung sejenak. Entah apa yang ada dikepalanya namun sesuatu menggodanya. Ben hanya tersenyum memikirkannya. Ia menutup matanya sejenak untuk melepaskan lelah karena sudah dua malam ia kurang tidur.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.