webnovel

MALPIS

[17+] Kisah ini menceritakan soal Alya dan Ben. Mereka bertemu saat si kebetulan tak sengaja menghampiri mereka. Lalu mereka mulai saling memberikan perhatian saat si cinta dan rasa sayang membutakan mereka. Namun si mantan datang dan tanpa sengaja merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

adeliafahriani_ · Urban
Zu wenig Bewertungen
69 Chs

Chapter 32 - All They Want is Wedding Day

Ben masih berdiri didepan pintu dan tidak mendekat ke arah Elena. Wanita itu juga masih berdiri di depan jendela besar. Jarak diantara keduanya membuktikan kalau mereka sama-sama memendam ego masing-masing dan tidak mau mengalah.

"Kenapa kamu datang kesini?" Tanya Ben sekali lagi. Ia tidak merasa ada janji dengan Elena maupun Agusman.

Elena maju selangkah. "Aku sengaja datang kesini." Katanya pelan. "Aku rasa banyak hal yang perlu kita bicarakan." Ia maju selangkah lagi. Ben tidak menjawab dan dia hanya diam saja.

Elena berjalan pelan ke depan dan ia menyisakan tiga langkah diantara mereka. "Kamu mau menikah?" Tanya Elena.

Ben menatap wajah Elena. "Iya."

"Dengan siapa?"

"Apa itu penting buat kamu sekarang?" tanya Ben balik.

"Bukannya aku perlu tahu?" seru Elena.

Ben memberikan senyuman hambar. "Hubungan kita sudah lama berpisah, dengan siapa aku menikah bukan urusan kamu lagi." sahutnya.

"Kamu lupa kalau kerja sama ini menyatukan kita lagi?" Ujar Elena ia maju selangkah dan posisi mereka begitu dekat.

Ben menatap lurus mata Elena. Kedua larut dengan pandangan masing-masing. "Kalau gitu jelaskan, kenapa kamu mau menjadi penanggung jawab galeri ini padahal kamu tahu kalau galeri ini akan dibuka di Hotel Malpis?" tanya Ben lugas.

Elena diam sesat dan menunduk. Ia menarik napas dalamnya, "Awalnya aku gak mau sama tawaran ini, karena aku gak berani ketemu kamu setelah semua yang aku lakukan. Tapi Agusman bilang kalau kamu masih sendiri dan belum menikah. Aku jadi... kepikiran." jelasnya. "Makanya aku datang ke pernikahan Siska dan ketemu kamu. Waktu itu aku merasa apa yang dikatakan Agusman itu benar. Kamu kelihatan patah hati dan kesepian..."

"Makanya kamu terima tawaran itu?" potong Ben cepat. Elena mengangguk.

"Kamu salah." ujar Ben. "Setelah pertemuan kita hari itu, aku bertemu Alya. Dia adalah wanita yang akan aku nikahi. Dia berbeda dengan kamu, El." nadanya begitu yakin.

Elena tersenyum hambar. "Kamu masih panggil aku dengan nama itu. Cuma kamu yang panggil aku dengan sebutan itu."

"Jangan mengalihkan pembicaraan." Kata Ben. "Agusman bercerai dengan istrinya, apa kamu tahu soal itu?"

Elena mengangguk.

"Apa kamu ada hubungannya dengan perceraian mereka?" tanya Ben spontan.

"Kamu menuduh aku jadi orang ketiga dalam rumah tangga Agusman?" Elena berang.

"Aku cuma bertanya untuk memastikan." Ben tidak terlihat gentar.

"Kamu tahu aku orang seperti apa. kamu juga tahu jawaban yang sebenarnya, tapi kenapa kamu masih bertanya hal yang membuat aku sakit hati?" wajah Elena tampak kecewa. Ia mendorong tubuh Ben dan mengambil tasnya yang tergelatak di sofa lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ben hanya bisa terdiam di tempatnya dan merenung apa yang sudah ia lakukan.

***

Elena menahan amarahnya pada Ben yang tidak dapat ia luahkan. Maksud hatinya datang ke Hotel Malpis adalah untuk menjalin hubungan yang baik dengan Ben tapi entah bagaimana malah berakhir dengan kesalahpahaman.

Elena keluar dari lift dan melaju menuju mobilnya yang terparkir. Namun langkahnya terhenti ketika seseorang menahan tangan kanannya dari arah berlawanan.

"Elena!" Panggil suara itu.

Elena menoleh. Ia melihat Sarinah dan juga Malpis menatapnya dengan kaget. Ia juga tak kalah kagetnya. "Mama. Papa." Sapanya sembari menenangkan diri.

Sarinah merasa ada yang tidak beres saat ia baru saja turun dari mobil dan melihat Elena keluar dari lift. Dengan segera ia mengajak suaminya untuk bisa berbicara dengan mantan menantunya. Melihat wajah Elena yang muram, Sarinah tahu kalau sudah terjadi sesuatu pada wanita muda didepannya ini. "Kamu darimana?" Tanya Sarinah. Malpis memperhatikan Elena lekat.

Elena mencoba tersenyum, "Emm... Lena habis ketemu dengan Ben, ma." Ucapnya ragu.

Wajah Sarinah sudah berubah dan ia terlihat sulit tersenyum. "Ada apa?" Tanyanya khawatir.

"Hmm... bicara soal kerjaan."

Kening Malpis berkerut. "Kerjaan apa, Len?" Ia ikut penasaran.

"Lena penanggung jawab galeri Pak Agusman." Sahut Elena yakin. Ada secercah rasa bangga saat ia mengucapkan itu. Sarinah menatap suaminya dengan tatapan yang hanya mereka berdua saja yang tahu.

Sarinah dan Elena duduk berdua di cafe dekat taman sebelah swimming pool. Wanita tua itu mengajak mantan menantunya untuk mengobrol sesaat.

Sembari menunggu pesanan mereka datang, Sarinah memulai percakapan. "Mama dengar kamu sudah membuka galeri sendiri di Nusa dua." Ucapnya memulai percakapan.

Elena tersenyum hambar. "Lena sudah jual galerinya. Lena juga udah pindah ke Ubud." Sahutnya.

Sarinah cukup kaget tapi ia bisa menahan wajahnya. "Kamu datang kesini sendiri atau dengan Roy?" Tanyanya. Bukan rahasia lagi hubungan Elena dan Roy. Tapi Sarinah dan Malpis mengerti dengan sangat baik.

Elena melihat ke arah lain sambil menahan rasa malunya atas pertanyaan itu. Ia tidak menjawabnya. Sarinah seolah paham dengan aksi diam yang diberikan oleh Elena. Ia meraih tangan Elena dan mengelusnya lembut.

"Maaf ya." Kata Sarinah.

Elena mengangguk pelan. "Gak apa, ma." Serunya. Minuman pesanan mereka datang.

Malpis masuk ke dalam ruang kerja Ben tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ben yang sedang melihat laptop kerjanya terkejut melihat papanya masuk tiba-tiba.

"Kenapa, Pa?" Tanya Ben berdiri dari kursinya.

"Papa dan mamamu baru saja bertemu dengan Elena di basemen. Kenapa kamu tidak beritahu kami kalau penanggung jawab galeri Agusman itu Elena?" Suaranya bergetar. Ia begitu khawatir pada putra bungsunya.

Ben menghela napasnya, "Ben juga baru tahu kemarin malam. Ben belum sempat cerita." Katanya.

"Kamu mau bagaimana sekarang?" Tanya Malpis memberikan tawaran.

"Minggu depan Ben akan menikah dengan perempuan pilihannya." Ujar Sarinah. Ia menatap Elena dan menyisipkan harapan disana. "Mama berharap pernikahan ini yang terakhir untuk Ben. Mama mau mereka bahagia." Tambahnya.

Elena terdiam. Ia bisa merasakan maksud Sarinah mengucapkan hal itu padanya. "Perempuan itu seperti apa?" Tanyanya. Ingin sekali ia melihatnya.

"Namanya Alya. Dia baik dan perkerjaannya Guru SMA." Sarinah menyebutkan gambaran umum calon menantunya.

Elena bisa membayangkan gambaran ssorang guru SMA dengan seragam cokelatnya dan mungkin tambahan hijab yang dipakainya.

"Mama sangat berharap kalau pernikahan ini berjalan lancar." Katanya dengan nada rendah namun lugas. "Mama gak mau apapun membatalkan pernikahan ini." Tambahnya. Elena paham maksud percakapan wanita itu. Ia hanya mengangguk.

"Ben tidak akan membatalkan kerja sama ini. Ben bisa menghadapi Elena." Katanya tegas.

"Alya bagaimana?" Ucap Malpis. "Dia harus tahu soal ini."

Ben diam sejenak. "Ben akan beritahu Alya sore nanti."

Malpis menatap putranya. "Papa lebih baik malu dengan Agusman daripada dengan keluarga Alya. Dan papa tidak mau apapun menganggu pernikahan kamu minggu depan." Tegasnya. Ben mengangguk paham.

***

Alya sudah menunggu didepan sekolahnya saat murid-muridnya sedang berbondong keluar halaman sekolah seperti segerombolan anak rusa yang keluar dari kandangnya. Alya tidak melihat mobil Ben terparkir disana dan ia mengeluarkan hp nya untuk mengubungi pria itu.

"Halo, Ben? Kamu dimana?" Tanya Alya sambil menepi dan memberi jalan pada siswanya.

"Al, aku bentar lagi sampai sekolah kamu. Tapi disimpang ini macet banget. Kamu bisa tunggu sebentar, kan?" Kata Ben dengan perasaan bersalah. Ia tidak bisa memotong ataupun menggunakan jalan lain.

"Oh, ya sudah." Sahut Alya. Nadanya begitu bersahabat. "Aku tunggu didepan sekolah ya." Katanya. Ia menutup teleponnya dan melihat Dewa jalan tepat disampingnya menuju parkiran motor.

Alya tidak memanggil Dewa atau menegurnya. Ia hanya menatap kepergian bocah itu. Kenapa jadi canggung gini sih, batinnya.

Dewa memutar motornya dan matanya melihat ke arah parkiran motor guru. Namun ia tidak melihat motor matic wali kelasnya terparkir disana. Tumben gak bawa motor, batinnya. Pasalnya, sejauh ia mengenal wanita itu, sangat jarang sekali wanita itu tidak membawa motornya.

Dewa berjalan pelan meninggalkan halaman sekolah hingga gerbang. Ia menoleh ke samping kanannya sekilas kemudian menarik habis gasnya meninggalkan sekolahnya. Alya menggelengkan kepalanya saat ia melihat suara deru motor Dewa pergi.

***

Lima menit kemudian Ben tiba didepan sekolah Alya. Belum sempat ia turun, Alya sudah menghampirinya.

Ben menurunkan jendelanya dan ia memberikan senyuman pada Alya. Wanita itu masuk kedalam mobilnya. "Kamu udah lama nunggunya?" Sapanya merasa bersalah.

Alya menggeleng penuh senyum, "Gak juga. Kamu langsung dari kantor?" Tanyanya.

"Kamu belum makan siang, kan?" Tanya Ben. "Kita cari makan dulu ya." Ajaknya. Alya mengikuti saja ajakan pria itu.

Ben memarkirkan mobilnya didepan sebuah warung makan yang populer dengan pilihan menu ayamnya. Mereka berjalan bersama memasuki warung itu.

"Kamu mau bungkus gak untuk orang rumah?" Tanya Ben menawarkan.

"Gak usah. Malam ini Dira pulang dari Jepang sama anaknya. Mama udah masak banyak makanan dirumah." Alya menolaknya.

Ben belum pernah bertemu dengan Dira. Dan wanita itu adalah orang yang berjasa karena sudah mengirim Alya ke Bali. "Aku boleh ikut gak jemput Dira?" Pintanya. .

"Kamu gak sibuk?" Tanyanya.

Ben menggeleng. "Jam berapa?"

"Jam enam jalan dari rumah." Ucap Alya meneliti wajah Ben. Ia tertawa kemudian. "Kalau kamu sibuk, gak usah. Nanti juga ketemu sama Dira."

Ben memikirkan sesuatu dan ia melihat jam tangannya yang masih tersisa dua jam lagi. "Enggak apa. Aku mau gabung sama keluarga kamu." Setelah ini ia tidak ada kegiatan lain kecuali duduk dikantornya dan memandangi kertas yang penuh tulisan. Alya tersenyum melihat Ben.

"Kamu kenapa senyum? Aneh ya lihat aku maksa buat ikut ke Bandara?" Tebaknya.

Alya menggeleng. "Aku justru seneng kamu mau gabung sama keluarga aku." Ia menunduk malu. Senyum Ben mengembang.

"Mulai lusa, kita udah gak bisa ketemu lagi." Seru Alya.

Ben mengerutkan dahinya. "Kenapa?"

"Kamu lupa?" Alya melotot lucu. "Kita udah harus ikut tata cara perkawinan. Sampai hari H nanti kita gak boleh ketemu." Jelasnya.

Ben baru teringat soal itu. Minggu lalu ia sudah diberitahu oleh mamanya soal itu. "Berarti besok terakhir kita ketemu?" Tatapnnya penuh maksud.

Alya menyipitkan matanya, "Memangnya kenapa?"

"Alu bakal kangen gak ya kalo gak ketemu kamu?" Godanya. Alya menggeleng malu pada pria itu.

Senyum Ben mengembang ketika ia mengingat pesan papanya yang menyuruhnya untuk mempertemukan Alya dan Elena. Ia menelan ludahnya dan menyusun kalimatnya. Alya sibuk menghirup air asam melalui sedotannya.

"Al, ada hal yang mau aku bilang sama kamu." Ucap Ben ragu. Ia melihat sekelilingnya yang cukup mendukung dan raut wajah Alya yang juga tampak bersahabat.

"Apa?" Tanya Alya. Ia menepikan gelas tingginya dan mendengarkan apa yang mau pria itu katakan padanya.

Ben menarik napas dalamnya dan ia mulai bercerita. "Sebelum pertemuan kita di Bali, aku sempat menandatangani kontrak kerja sama dengan orang yang bernama Agusman. Dia pengusaha sukses. Dikontrak itu, ditulis Agusman mau membuka galeri di Hotel Malpis selama setahun." Kata Ben. Alya mengangguk dan masih mendengarkan.

"Kemarin Agusman datang dengan membawa penanggung jawab galeri nya nanti..." ia diam sejenak. "Dan... penanggung jawab galerinya... ... ... Elena." Pungkasnya.

Alya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Ia tidak bisa berkomentar apapun.

"Aku harus beritahu kamu soal ini karena kita akan menikah dan selama setahun ke depan, Elena akan ada di hotel Malpis setiap hari. Akan banyak orang yang melihat dan nantinya juga akan sampai ke telinga kamu. Aku gak mau kamu merasa dibohongi." Nada Ben lirih.

Alya menyandarkan tubuhnya pada kursi itu. "Kamu mau aku gimana?"

"Aku mau kenalkan kamu ke Elena." Ujar Ben khawatir. "Kamu mau?" Bujuknya.

Alya tidak pernah menyangka kalau hari ini akan tiba. Pikirnya, Elena benar-benar tidak akan pernah muncul lagi dalam kehidupannya Ben. Nyatanya salah. Wanita itu muncul lagi dan membuat goyah semuanya, termasuk Alya. "Jadi ini alasannya kamu gak bisa tidur terus tiba-tiba anterin aku ke sekolah hari ini?" Tebakannya tepat.

Ben mengangguk pelan. "Papa juga baru tahu tadi malam. Papa bilang dia lebih baik kehilangan Agusman daripada kehilangan kamu." Ia berusaha membuat hati wanita itu tenang.

Alya tersenyum tipis. "Kapan aku dengan Elena bisa ketemu?" Tanyanya.

"Besok malam, kamu mau?"

Alya mengangguk tanpa kata. Ben merasa sedikit tenang karena ajakannya berhasil. Ia hanya perlu menghubungi Elena dan mengajak hal yang sama. Mereka sama-sama tersenyum namun dengan keresahan yang berbeda. Entah kenapa Alya merasa tidak tenang dengan munculnya Elena diantara mereka.

Ben memarkirkan mobilnya didepan rumah Alya dan sudah ada dua mobil berjejer disana dan siap menuju bandara. Mereka membuka sabuk pengaman masing-masing.

"Ben," panggil Alya. Ia menoleh ke arah pria itu dengan gusar. Ben menoleh. Tatapannya terhenti disana karena ia merasa ada hal yang akan Alya katakan.

Alya menghela napasnya. "Aku gak tahu apa kegelisahaan aku ini berhak atau enggak. Tapi aku merasa gak nyaman dengan adanya Elena diantara kita." Ia menatap kedua bola mata pria itu. "Aku tahu, kita baru aja mulai berhubungan dan masih mengenal satu sama lain. Aku bahkan gak tahu apa film kesukaan kamu. Kamu juga gak tahu apa yang paling aku benci di dunia ini. Aku cuma mau bilang kalau aku khawatir adanya Elena diantara kita." Jelasnya. Itu adalah perasannya yang nyata.

Ben menyandarkan tubuhnya di kursi mobilnya. "Kalau kamu merasa gak nyaman dan khawatir, aku bisa batalkan kerja sama itu."

Alya menatap jalan didepannya. Ia menerawang disana. "Aku merasa hubungan kita terlalu cepat." Ujarnya pelan. "Kita bertemu dan menghilang. Kemudian bertemu lagi dan menikah. Kita bahkan belum pernah mengungkapkan perasaan satu sama lain sampai hari ini." Ia menoleh ke arah kanan. "Aku gak tahu seberapa besar rasa sayang kamu. Dan kamu juga gak tahu seberapa banyak cinta aku untuk kamu." Ungkapnya. Ben menyetujui apa yang disampaikan oleh Alya namun bibirnya tertutup rapat.

"Kamu pernah cerita kalau pertemuan kamu dengan Elena adalah cinta pada pandangan pertama. Dan pertemuan kita bisa dibilang seperti itu. Apa saat ini keyakinan kamu untuk aku sebesar keyakinan kamu untuk Elena dulu?" Tanya Alya.

Ben tercekat. Dirinya diberi pilihan tersulit saat ini. Alya meminta penjelasan status dirinya bagi pria itu. Ben menatap ke arah depan kemudian mengemudikan mobilnya kembali dan menjauh dari rumah Alya. Wanita itu hanya diam dan memasang kembali seat belt nya dan rasa sedih yang perlahan muncul dibenaknya.

Ben keluar dari jalan rumah Alya dan membelokkan mobilnya menuju sebuah taman warga yang dibagian ujungnya terdapat lahan parkir umum. Ben memarkirkan mobilnya diantara mobil lainnya yang sudah lebih dulu terparkir disana. Sebuah tembok rumah warga menjulang tinggi didepannya. Sekeliling mereka sepi karena terhalang oleh dua mobil lainnya. Jendela mobil Ben yang tidak tembus pandang membuat mereka aman disana.

Ben tidak mematikan mesin mobilnya dan dibiarkannya menyala sebagai sumber udara mereka. "Mungkin kamu bukan wanita yang percaya dengan cinta pandangan pertama. Tapi aku iya." Ben buka suara. Ia menoleh ke arah Alya. "Kalau kamu tanya seberapa besar keyakinan aku, jawabannya... lebih besar saat aku dengan Elena." Ia mencengkram kemudi stirnya. Tatapannya pada Alya lekat. Wanita itu menoleh lirik ke arahnya.

"Tapi keyakinan itu tidak menjamin suatu hubungan. Buktinya aku dan Elena bercerai. Apa bedanya?" Tanya Ben. Helaan napasnya lelah. "Kenapa kamu harus tanya soal ini?" Nada suara Ben semakin frustasi.

Alya menunduk sambil menahan rasa sedihnya. "Aku gak suka dengan Elena." Ucapnya pelan. "Aku gak suka Elena masuk lagi dikehidupan kamu." Ia mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Ben. "Elena meninggalkan kamu demi pria lain. Dia membuat kamu tinggal di hotel selama bertahun-tahun. Dia buat kamu menutup diri selama ini. Dia menyia-nyiakan semua perasaan yang kamu kasi. Dan sekarang, dia datang lagi saat kamu baru aja mulai membangun cinta yang baru." Matanya berair. "Aku gak suka karna dia nyakitin perasaan kamu." Alya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Ben terkejut. Ia tidak menyangka kalau Alya begitu peduli padanya. Wanita yang belum sepenuhnya mengisi hatinya ini memberikan perhatiannya dengan cara yang berbeda. "Kamu cemburu dengan Elena?"

Alya mengusap air matanya pelan. Ia menenangkan dirinya dan menatap Ben. "Kalau aku cemburu, sejak awal aku tahu soal Elena, aku udah minta kamu untuk membuang semua kenangan soal Elena, tapi aku tidak sejahat itu. Aku tahu betapa susahnya melupakan orang yang pernah punya kenangan untuk kita." Suara datar. "Aku takut kamu akan disakiti lagi oleh Elena, makanya aku seperti ini." Katanya. Mereka bertatapan.

Ben menelan ludahnya. Ia membuka seat beltnya kemudian setengah berdiri dari kursi kemudinya dan mendekat ke arah Alya lalu mencium bibir wanita itu. Ben memegang wajah Alya dengan tangannya dan melumat bibir indah itu. Alya memejamkan matanya dan membalas ciuman yang Ben berikan. Beberapa detik mereka masih meresapi apa yang melekat disana.

Ben melepaskan ciumannya dan mengatur napasnya perlahan dengan posisi kedua kening mereka masih menempel. "Aku ingin melakukan ini sejak lama." Katanya.

Alya membuka matanya dan menatap Ben sendu. "Kalau gitu lakukan lagi." Pintanya.

Ben memiringkan kepalanya dan melumat bibir Alya dengan rakus. Keduanya saling berbalas penuh gairah. Alya melingkarkan tangannya dibelakang leher Ben dan menikmati apa yang Ben lakukan padanya. Pria itu mencium rahangnya dan turun hingga ke leher indahnya dan kembali menuju bibirnya yang masih haus akan sentuhan manis pria itu.

Ponsel Alya berbunyi. Keduanya tersadar dan melepaskan ciuman masing-masing. Alya menyeka bibirnya sambil mengangkat ponselnya. "Halo." Sapanya.

"Kak dimana, kita udah mau pergi nih, jadi ikut gak?" Tanya Dira.

"Terminal tiga, kan?" Tanya Alya balik. "Duluan aja. Kakak nyusul kesana ini udah dijalan. Kakak pergi dengan Ben."

"Oh ya udah. Ketemu disana ya." Dira menutup sambungan teleponnya. Alya merapikan area bibirnya. Ia melirik malu ke arah Ben yang duduk disebelahnya yang sedang memegang kemudi mobilnya.

"Aku gak sangka kalau kamu sejauh itu berpikir tentang aku dan Elena." Ben harus menuntaskan permasalahan ini. "Aku gak mungkin kembali lagi dengan Elena." Katanya lembut. Alya mencoba tersenyum dan masih tidak yakin dengan kalimat itu.

Ben meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat. "Kita harus saling percaya." Ucapnya. Alya meyakinkan dirinya hingga anggukan kepalanya membuat Ben tenang. Mereka meninggalkan tempat itu dan menuju Bandara.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.