Ben turun dari kamarnya lalu menuju restoran buffet yang disebutkan oleh Arif. Dalam balutan celana jeans dan juga kaos yang longgar serta rambut yang tampak mengering, Ben masuk ke dalam restoran itu kemudian disambut oleh Manajer restoran.
"Selamat datang, Pak." Sapa manager restoran itu.
"Arif dimana?" Tanya Ben balik.
"Mari saya antar." Manajer itu berjalan menuju sisi samping restoran yang sedikit menyudut dan menyajikan pemandangan kota Jakarta yang luas.
Ben berjalan mengikuti langkah kaki manajer itu dan matanya menyipit ketika ia melihat Arif berdiri membelakanginya. Kemudian sorot matanya melebar ketika ia merlihat mama dan papanya sedang melihat sesuatu di hp mereka.
"Papa, mama." Kata Ben saat mendekat. Mereka menoleh bersamaan.
Sarinah memberikan senyuman manisnya menyambut putra bungsunya. Ben melihat ke arah Arif yang mengangguk ke arahnya. Ben duduk didepan papanya dengan sedikit kaget melihat keluarganya ada didepannya saat ini.
"Saya permisi, dulu." Kata Arif.
"Kerjaan kamu sudah selesai?" Tanya Malpis santai.
"Sudah, Pak." Jawab Arif dengan sedikit menunduk.
"Arif sudah boleh pulang, Ben?" Tanya Malpis ke arah putranya.
Ben melihat ke arah Arif dan berkata, "Harusnya sudah pulang dari tadi."
Arif tertawa kecil. "Saya permisi." Ia pergi meniggalkan mereka bertiga.
Ben melihat kepergian Arif yang menghilang dibalik dinding restoran. "Kejutan apa ini?" Tanya Ben pada kedua orang tuanya. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi restoran.
"Katanya kamu mau melamar Alya." Sahut Sarinah sambil melahap batagor yang diambilnya diantara deretan makanan yang tersaji.
"Kenapa gak bilang kalau mau datang, Ben bisa jemput." Ucapnya.
Malpis menoleh ke arah istrinya dengan tatapan aneh. Sarinah juga memberikan sorot mata yang sama.
"Kamu lagi berantem dengan Alya?" tanya Sarinah.
Ben mengerutkan dahinya ketika mendengar kalimat mamanya. "Enggak kenapa?"
"Tumben kamu mau jemput kami. Biasanya selalu supir hotel yang jemput." Sambung Sarinah penuh kecurigaan.
Malpis melegakan tenggorokannya dengan air putih yang tersaji didepannya. "Ben sudah siap menikah artinya, Sar." Sindirnya.Sarinah mengangguk paham.
"Apa sih!" Kata Ben. "Ini bukan pernikahan pertama." Sambungnya.
"Maksudnya bukan pernikahan pertama atau kedua. Alya merubah kamu menjadi lebih membuka diri dan dewasa." Jelas Malpis.
"Bener." Sahut Sarinah. "Semenjak kamu bercerai dengan Elena, kamu lebih menutup diri dan tidak peduli orang-orang disekitar. Kamu cuma sibuk dengan kerjaan atau mungkin menyibukkan diri dengan hal lain. Tapi, semenjak Alya ada, kamu mulai kembali ke Ben yang dulu yang perhatian. Mama rindu sama kamu." Nadanya berubah sedih.
"Kenapa jadi sedih, ma." Ujar Ben. Ia memegang tangan mamanya lembut. "jadi gimana kelanjutannya?" ia berusaha merubah topik pembicaraan mereka. Ben tidak ingin merusak kebahagiaannya dan membuat mamanya sedih.
"Papa sudah tidak sabar bertemu dengan keluarga Alya." Ucap Malpis dengan wajah ceria.
"Bagusnya kita bertemu dengan Alya terlebih dahulu untuk bertanya bagusnya seperti apa. Nanti kalau kita datang kesana, takutnya orang tuanya kaget." Usul Sarinah.
"Ya sudah, nanti Ben telepon Alya." Ben menarik napasnya dan menatap kedua orang tuanya.
***
Alya duduk ditempat tidurnya lalu membuka hp dan menelepon seseorang. Beberapa saat ia menunggu hingga sambungannya dijawab.
"Halo kak," sapa Dira.
Alya tersenyum malu. "Halo, lagi dimana?" Tanyanya.
"Lagi jalan pulang dari cari makan. Kenapa?" Tanya Dira.
"Emm... itu Dir," Alya seperti ragu untuk mengatakannya. "Kamu tahu gak hand cream yang buat telapak tangan terkelupas dan kering?" Tanyanya pada orang yang paling ahli dalam hal ini.
Dira diam sejenak. "Hand cream banyak macam, kak. Yang melembabkan ada, yang expoliating juga ada. Mau yang gimana?" Ia bingung merekomendasikan pada kakaknya.
"Jadi tangannya itu kering, terkelupas, kasar, kayak orang kerja gitu." Jelas Alya. "Menurut kamu apa yang bagus. Emm... maksudnya yang bisa melembabkan tangannya lagi."
"Oh... ada tapi lebih mahal dari hand cream yang lain." Sahut Dira. Ia teringat satu jenis hand cream yang ampuh dan terbuat dari jepang.
"Berapa?" Tanya Alya.
"Dua ratusan."
Alya menelan ludahnya. Ia tidak tahu kalau hand cream bisa semahal itu sedangkan hand lotionnya masih dibawah sepuluh ribu ukuran paling besar.
"Buat siapa, kak?" Tanya Dira penasaran.
"Buat hadiah temen." Jawabnya ngasal. "Ya udah, itu aja kakak beli satu ya." Katanya.
"Bener?" Dira meragukan kakaknya. "Siapa sih yang ulang tahun?"
Alya memasang wajah murung. "Bukan ulang tahun tapi hadiah lain."
"Buat pacar baru yang kemarin ajak keluar ya?" Tebak Dira. "Katanya CEO masa tangannya terkelupas sih?" Ejeknya.
Alya mulai geram. "Kamu gak perlu tahu untuk siapa, yang jelas kamu gak kenal orangnya. Nanti kamu antar ya, tolong." Pesannya.
Dira tertawa lucu, "Iya nanti, aku anter kalo kesana."
Alya menutup teleponnya dan membayangkan tangan Dewa yang rusak. Didalam pikirannya melintas berbagai macam hal yang mungkin Dewa lakukan hingga tangannya seperti itu.
***
Jam baru saja menunjukkan pukul 5.30 pagi dan Alya sudah rapi dengan seragam dinasnya. Ia pamit pada kedua orang tuanya untuk pergi awal hari ini. Alya melaju meninggalkan rumahnya. Saat berada didepan gang rumahnya, Alya menepi dan membeli sarapan.
Langit jakarta yang saat itu sudah terang, membuat lalu lintas mulai ramai dan masyarakatnya berlalu lalang mencari ataupun menunggu angkutan umum. Tak berapa lama, Alya membawa dua bungkus sarapan yang menggantung pada besi pengait di motornya.
Alya berdiri didepan sebuah pintu yang bertuliskan nomor 2020-B. Ia mengetuk pintu apartemen itu beberapa kali namun tidak buka. Alya membuka hp nya dan mencoba menghubungi muridnya itu agar tidak membuat keributan dipagi hari.
"Halo, Dewa." Panggil Alya begitu muridnya menjawab teleponnya.
"Ada apa, buk?" Jawab Dewa dengan suara parau dan sedikit lambat.
"Saya ada didepan apartemen kamu. Tolong bukakan pintunya." Kata Alya tegas. Ia menenteng dua plastik sarapan yang dibelinya. Sambungan telepon itu dimatikan oleh Dewa.
Terdengar suara kunci pintu yang diputar lalu terbuka. Dewa muncul dengan rambut yang berantakan dan wajah lecek. Hp nya digenggamnya erat. Ia menatap wali kelasnya sudah berpakaian rapi dan berdiri didepan rumahnya.
"Ada apa jam segini... ibu datang?" Tanya Dewa. Ia melihat dua buah plastik berwarna hitam dibawa wanita itu.
Alya memberikan senyuman. "Kita sarapan." Katanya.
Dewa spontan membuka pintunya lebih lebar agar wali kelasnya bisa masuk ke dalam. Alya melangkah masuk dengan santai dan langsung menuju meja makan dan meletakkan kedua plastiknya.
"Kamu cuci muka dulu sana, baru kita sarapan." Ujar Alya perhatian.
Dewa menutup pintunya kembali dan mendekat ke arah meja makan. "Kita?"
Alya mengeluarkan isi kedua plastik itu. "Kita sarapan berdua. Kamu mau apa, ibu ada beli nasi uduk dengan lontong sayur." Sengaja membelikan kedua macam makanan itu. "Mau ibu belikan bubur ayam, takut kamunya bosen." Jelasnya.
Dewa menarik napas dalamnya lalu menghembuskannya dengan tatapan sendu menatap wali kelasnya. "Saya cuci muka dulu." Ia berbalik lalu menuju kamar mandi.
Alya menuju dapur dan memanaskan air secukupnya untuk mereka berdua. Ia membuat dua gelas teh manis hangat sebagai pendamping sarapan pagi mereka. Tak lama, Dewa keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Ia duduk di meja makan lebih dulu dan memilih lontong sayur sebagai teman sarapannya pagi ini.
Alya membawa sebuah mangkuk dan dua pasang sendok dan garpu. Ia memberikannya pada Dewa. Dan muridnya menerima dengan senang hati. Alya kembali ke dapur dan membuat teh manisnya.
Dewa mulai melahap sarapannya sambil sesekali melirik wajah wali kelasnya. "Ibu mimpi apa tadi malam?" Tanyanya.
Alya menoleh bingung. "Gak ada. Kenapa?"
Dewa tersenyum tipis, "Sampai pagi-pagi kesini bawain saya sarapan."
Alya tertawa pelan. "Kamu lagi sakit, perlu minum obat. Makanya saya bawain kamu sarapan. Karna kamu gak suka makan sendirian, saya sengaja beli dua buat kita."
Dewa menatap Alya. "Kalau saya gak sakit, ibu gak akan datang ke sini dan bela-belain bangun pagi cuma buat anterin sarapan."
Alya terdiam. Apa yang dikatakan oleh Dewa ada benarnya. Kalau bukan karena bocah itu sakit, ia tidak akan begitu peduli pada Dewa. Tapi ada hal yang muridnya itu tidak tahu kalau sebenarnya ia peduli hanya saja ia tidak tahu atau bahkan tidak mau menunjukkannya.
Dewa kembali melahap lontong sayurnya. "Kalau nanti ibu menikah dan saya tiba-tiba sakit, apa ibu akan datang kesini?" Tanyanya. Ia hanya ingin tahu seberapa penting dirinya bagi wanita ini.
Alya diam sejenak. Ia merenung wajah Dewa mencari kalimat yang pas untuk diucapkannya. Dewa seperti tahu jawaban yang akan diberikan oleh wali kelasnya. Ia menunduk dan kembali menyuapkan lontong ke dalam mulutnya.
"Iya." Jawab Alya yakin. Dewa mendongak kaget dan kunyahannya terhenti.
"Sebelum kamu lulus dari SMA278 saya tidak akan berubah." Sambung Alya. "Makanya kamu harus bisa berubah." Pesannya.
Dewa terdiam. Ia menunduk sambil menatap lontong sayurnya. Ia kembali melihat Alya dengan lirih. "Ibu tahu gimana saya melihat ibu selama ini. Semalam saya juga udah jelaskan semuanya, tapi kenapa ibu masih datang?" Ia butuh penjelasan. Sebagai seseorang yang memiliki perasaan lebih pada wanita yang disayangnya, penjelasan dari Alya sangat dibutuhkannya.
Alya menghela napas dalamnya. "Saya mengerti posisi kamu sekarang. Kamu masih muda, masih penuh semangat dan dan masih berapi-api memandang sesuatu. Perasaan yang kamu punya sekarang mungkin tidak bisa kamu elak. Tapi nanti ketika kamu udah dewasa dan jalan pikiran kamu juga lebih luas, kamu akan tahu kalau perasaan yang kamu punya untuk saya hanya sebatas mengagumi."
Dewa mendengarkan dengan baik kalimat Alya. Ia berusaha untuk mngerti maksud wali kelasnya ini walaupun masih ada perasaan didalam hatinya yang mengelak untuk setuju dengan kalimat itu.
***
Alya tiba disekolah setelah ia dari rumah Dewa. Saat ia baru saja memarkirkan sepeda motornya di parkiran khusus guru, Alya tidah menyadari kalau dirinya didekati oleh seseorang.
"Ibu Alya." Sapa Kepala Sekolah.
Alya menoleh. "Iya, Pak. Ada apa?" tanyanya.
"Keadaan Dewa bagaimana kabarnya?" Tanya Kepala Sekolah.
"Oh, Dewa sudah keluar dari rumah sakit, tapi saya menyuruhnya istirahat saja dulu hari ini. Besok dia akan masuk sekolah." Jelas Alya.
Kepala Sekolah mengangguk paham. "Ya sudah, Ibu atur saja bagaimana baiknya." Ia menarik napas dalamnya. "Saya sudah memutuskan untuk tidak menghubungi keluarga Dewa, sudahlah kita bimbing saja Dewa sampai dia lulus sesuai kata ibu Alya. Saya juga berpikir tidak akan ada sekolah yang mau menampung Dewa dengan semua rekor buruknya." Ucapnya.
Alya menahan rasa gembiranya karena ia tidak perlu khawatir lagi soal itu.
"Tapi ibu Alya harus terus kontrol aktifitas Dewa. Jangan sampai dia terlibat dalam pelanggaran diluar lingkungan sekolah. Apalagi kalau menyangkut dengan polisi. Ibu mengerti kan maksud saya?" tanya Kepala Sekolah meyakinkan.
Alya mengangguk paham. "Saya mengerti, Pak."
"Ya sudah, kalau begitu." Kepala Sekolah pergi meninggalkan wanita itu lalu menuju ruangannya.
Alya berjalan dengan ekspresi wajah girang menuju Majelis Guru. Tiba-tiba ia merasakan kalau hp nya bergerak. Ia melihatnya dan nama Ben muncul dilayar hp nya. "Kenapa, Ben?" ia memelankan nada suaranya sambil berjalan menuju mejanya.
"Kamu udah sampai disekolah?" Tanyanya.
"Udah, baru aja sampai." Jawab Alya penuh tawa. "Kamu udah bangun jam segini?" tanyanya balik.
Ben tertawa, "Iya." Ia melihat dirinya yang masih berbaring diatas tempat tidur. "Al, malam nanti kamu mau keluar sebentar dengan aku?" ajaknya.
Alya berpikir sejanak untuk mengingat aktifitasnya yang mungkin saja tidak bisa ia tinggal. "Boleh, kamu jemput jam berapa?"
Senyum Ben menyeringai, "Ya udah, aku jemput jam enam sore ya."
Alya menngguk ceria, "Oke."
"Malam ini aku jemput kamu di rumah kamu atau di rumah murid kamu?" Gurau Ben.
Alya tertawa pelan. "Dirumah aku."
"Oke." Sahut Ben. "Bye, Al." ia menyudahi pembicaraan itu.
Alya menutup teleponnya dan melihat Rini duduk disebelahnya. Ia memberikan wajah penuh senyuman.
Rini melihat temannya penuh kecurigaan. "Kenapa lo pagi-pagi udah senyum aja. Dewa buat masalah lagi?" sindirnya.
Alya memonyongkan bibirnya. "Kalo Dewa buat masalah gak mungkn gue kelam begini."
Rini memberikan wajah penuh ejekannya. "Siapa tahu aja, masalah yang Dewa buat kali ini diluar batas kemampuan lo."
Alya hanya tersenyum dan tidak melanjutkan kalimatnya. Masalahnya dengan Ben tidak ada hubungannya dengan Dewa. Dan bocah itu juga tidak membuatnya kesal seperti biasa.
Ben bangkit dari tempat tidurnya lalu bersiap masuk ke dalam kamar mandi dan berpakaian rapi. Ia turun menuju restoran hotelnya untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. Arif bahkan juga sudah ada disana sebelum ia datang.
***
Alya berdiri didepan pintu apartemen Dewa dan sedang menunggu bocah itu membukakan pintu untuknya. Beberapa detik kemudian, Dewa membuka pintu dan muncul dari dalam.
"Kamu belum makan?" tanya Alya pada muridnya itu. Ia membawa beberapa makanan yang dibelinya dipinggir jalan tadi. Alya masuk ke dalam apartemen itu seolah ia sudah nyaman disana.
"Saya sudah makan." Jawab Dewa menutup daun pintunya dan mengikuti langkah gurunya menuju meja makan.
Alya menoleh, "Makan apa?" Tanyanya.
"Tadi saya keluar beli makan seberang apartemen." Tunjuknya ke arah luar.
Wajah Alya terlihat murung. Ia sudah tidak semangat membuka makanan yang dibelinya. Dewa tersenyum tipis melihat ekspresi wajah wali kelasnya. Ia membuka salah satu kursi dan duduk disana.
"Tadi saya makan karena saya harus minum obat." Ujar Dewa. "Tapi sekarang saya sudah lapar lagi." Ia menarik salah satu plastik ke arahnya. "Ini apa?" Ia membukanya.
Alya mencoba tersenyum. "Itu martabak telur buat makan malam kamu nanti." Jawabnya. Alya membuka salah satu plastik, "Ini pisang goreng keju-cokelat." Ia mengeluarkan isinya.
Dewa merasa didalam hatinya seolah ia memiliki seseorang yang begitu peduli padanya. Sudah lama ia tidak pernah melihat makanan begitu banyak untuknya yang dibelikan oleh seseorang. "Yang itu?" Ia melihat kantong plastik lainnya yang belum dibuka.
"Ini roti buat kamu sarapan pagi besok sebelum ke sekolah. Sama ada beberapa cemilan kalau kamu laper." Alya meletakkan plastik itu disalah satu sudut dapur agar tidak terlalu berantakan.
"Ibu mau langsung pulang?" Tanya Dewa sambil menatap wali kelasnya yang tengah merapikan roti yang dibelikannya.
"Memangnya kenapa?" Tanya Alya penasaran.
Dewa menggelengkan kepalanya. Ia mengambil salah satu pisang goreng keju-cokelat itu dan mengunyahnya. Alya tertawa geli. Ia mendekat ke arah meja makan dan duduk didepan muridnya. Ia juga mengambil salah satu pisang goreng. Dewa tersenyum tipis melihat wali kelasnya sedang menemaninya makan.
"Kamu besok sudah masuk sekolah?" Tanya Alya memastikan.
Dewa mengangguk yakin. "Iya." Jawabnya.
"Jangan terlambat, ya." Pesannya.
Dewa tertawa renyah pada dirinya. Ia mengangguk yakin dengan isi mulut yang penuh.
"Saya berharap ini terakhir kalinya kamu melanggar peraturan sekolah. Jangan bikin keadaan semakin sulit buat kamu sendiri." Nasehat Alya. Dewa mengangguk paham.
"Kamu jangan angguk-angguk aja. Kamu bemar-benar harus mengerti apa maksud saya." Kata Alya mulai geram.
"Iya, buk. Saya paham." Jawab Dewa. Alya menatap muridnya dengan tatapan was-was. Ia menaruh harapan besar pada muridnya itu.
"Buk," panggil Dewa ragu-ragu. Alya menoleh dengan kening berkerut.
"Kalau suatu hari nanti saya bosen makan sendiri, saya boleh ajak ibu?" Pintanya. Alya terdiam mendengarnya.
Dewa masih mengunyah pisang gorengnya dengan mata yang perlahan berair. Permintaan itu mungkin terdengar konyol bagi wali kelasnya, namun baginya itu sesuatu yang besar.
Alya menarik napasnya dengan dalam kemudian menghela berat. Hanya menemani muridnya makan bersama bukan sesuatu yang harus dihindarinya. Tapi entah kenapa ia hanya tidak ingin melakukannya.
Dewa melirik Alya yang tidak menjawab pertanyaannya. Ia cukup mengerti dengan alasannya. Ia hanya tidak ingin mencari tahu lebih dalam. "Besok saya akan bertemu dengan guru Akuntasi, Sosiologi dan guru lainnya untuk meminta tugas yang ketinggalan selama ini."
Alya mencoba tersenyum. Ia mengangguk sambil menghabiskan pisang gorengnya yang sejak tadi masih berada ditangannya.
Dewa bangkit dari kursi dan beralih ke arah dispenser untuk meneguk air putihnya. Dibalik punggungnya ia bermurung karena jawabannya tetap tidak dijawab. Ia berusaha tersenyum dan menerima segala kebaikan yang wali kelasnya berikan beberapa hari terakhir ini.
Alya berdiri dari kursinya lalu berjalan ke arah tempat cuci tangan yang letaknya berlawanan dengan Dewa. Sehabis cuci tangan ia berkata, "Saya pamit dulu ya."
Dewa berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu itu untuk wali kelasnya. "Terima kasih, buk." Ucapnya. "Nanti kalau orang tua saya datang, saya akan minta mereka ganti semua biaya rumah sakit dan lain-lainnya." Tambahnya.
Alya tidak mengangguk. Ia hanya tersenyum dan memakai sepatunya kemudian keluar dari apartemen itu.
"Semejak saya sakit, ini pertama dan mungkin terakhir kalinya kita sedekat ini. Saya gak mugkin sakit lagi untuk bisa seperti ini." Dewa memberikan senyuman manis.
Alya menoleh dan tidak berkomentar apapun. Dewa menutup pintu apartemennya dengan hati resah. Alya berjalan ke arah lift dengan perasaan bersalah.
***
Elena bangkit dari tempat tidurnya. Semalaman ia berbaring disana tanpa melakukan aktifitas apapun. Tubuhnya terasa sakit terlebih wajahnya. Elene berdiri didepan cermin besarnya dan memperhatikan wajahnya. Dirinya cukup terkejut saat melihat pantulannya didepan cermin.
Wajah Elena membengkak dibagian kiro dan kanan. Bahkan pelipis kanannya juga membiru. Di bawah matanya tampak lebam dan sudut bibirnya juga masih terluka dan membengkak. Rahangnya juga mengalami hal sama.
Air mata Elena mengalir ketika ia melihat wajahnya sendiri. Ia menyesali kenapa dirinya tidak berani melawan Roy dan selalu saja jatuh ke dalam lubang yang sama. Hubungannya seperti love and hate pada roy.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.