webnovel

Permainan

Catatan GadisDewa:

Terima kasih karena kalian menyukai cerita ini. Aku bahagia melihat komentar-komentar yang kalian tulis. Dan ya, aku jadi kepikiran sesuatu.

Semua ini dalah imajinasi. Jadi jika ada hal yang janggal atau aneh lainnya, harap dimaklumi. Aku masih belajar untuk menulis cerita. Bakal ada banyak plot hole di dalam cerita ini.

But, i hope you can enjoy this stories.

Love u.

.

.

.

.

.

Aku tak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini. Ini adalah sebuah ketakutan yang paling dalam. Selama hidupku dikejar-kejar oleh polisi tak pernah membuatku ketakutan dan menangis. Namun laki-laki berwajah malaikat ini adalah mimpi paling burukku.

Aku hanya bisa menangis, sesegukan sambil terus berdoa agar siapa saja mengeluarkan aku dari sini.

Kondisiku sekarang sangat buruk. Sangat-sangat buruk. Kedua tanganku diikat ke atas kepala. Sedang kedua kakiku diikat longgar oleh sebuah borgol. Lebih parahnya lagi, mulutku disumpal dengan kain dan kedua mataku ditutup. Aku tidak bisa melihat apapun dalam gelap.

"Shhh! Jangan menangis, bukankah kamu memang selalu seperti ini?" ucap laki-laki itu sambil membelai pipiku. Aku menggeleng dan menangis.

"Shhhh! Diamlah," bisiknya lembut. Berikutnya aku merasakan lehermu dikecup dan dijilat. Aku menggeleng namun kedua tangannya menahan kepalaku.

"Harum," bisiknya lagi.

Ya Tuhan, bantu aku!

Leherku terus dikecupnya, membuatku berteriak geli. Sesaat kemudian aku tersentak. Ada jemari di antara kakiku yang bergerak menuju daerah sensitif itu.

Tangisanku semakin keras. Jantungku sudah berdetak tidak karuan. Keringat dingin juga mengucur deras.

"Hei, di sini basah!" bisiknya lagi. Tangannya masih menggosok celanaku. Aku terkejut saat ia membuka celana jeansku.

Aku merasakan sensasi dingin karena celana jeans sudah lepas entah kemana, meninggalkan celana dalam. Berikutnya aku merasakan bajuku dirobek. Ya Tuhan, aku dilecehkan lagi?

Tiba-tiba ada suara yang begitu cepat, membuat semua membeku. Aku bisa merasakan kepala laki-laki ini terangkat dan tangannya berhenti bekerja. Detik berikutnya aku mendengar ada suara yang sama. Seperti suara tembakan?

"Sialan!" umpat laki-laki ini.

Berikutnya aku mendengar pintu didobrak dan tembakan terjadi lagi. Aku menangis ketakutan. Apa lagi yang terjadi sekarang?

"Aku akan membuat perhitungan denganmu, Sehun!" teriak laki-laki berwajah malaikat itu.

Dalam gelap aku bisa mendengar suara sepatu yang bersentuhan dengan lantai. Beberapa saat kemudian penutup mataku dibuka. Untuk pertama kalinya, aku bersyukur melihat wajah Sehun. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar menangis lega tatkala ia memelukku setelah melepaskan ikatan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.

Aku membenamkan wajah di dadanya. Mengangguk perlahan demi menjawab pertanyaannya.

"Syukurlah," ucapnya sambil mengeratkan pelukannya. Kemudian ia mendorong tubuhku menjauh lalu menyelimutiku dengan selimut. "Mari kita pulang," ucapnya sambil mengangkatku.

*** MAFIA ***

Seseorang mengelus kepalaku perlahan. Berkali-kali ia mengusapnya. Bahkan sampai menyentuh pipiku dengan tangan dinginnya. Aku membuka mata, melihat lengan baju berwarna hitam yang bergerak. Aku memejamkan mata lagi. Sesaat kemudian aku membukanya. Kali ini lebih lebar hingga bisa melihat wajah laki-laki yang membuatku tenang.

"Kamu sudah bangun?" tanyanya lembut sambil terus mengusap rambutku.

Aku berkedip, memperjelas penglihatanku yang sempat buram.

"Min Ah," panggilnya.

Aku bergumam menyahutnya. Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Ada rasa nyeri ketika aku mencoba menarik napas. Ah aku lupa, sebelumnya mereka menendangku.

Tanganku bergerak meraba perut. Aku bisa merasakan ada kain di sana. Mungkin sejenis perban yang dililitkan.

"Sakit?" tanyanya lagi.

"Menurutmu?" tanyaku balik. Aku memejamkan mata sambil menghembuskan napas.

"Terima kasih. Karena berkatmu benda itu sampai ke tanganku!" Ia mengelus tangan yang kuletakan di atas perut. "Dan maafkan aku," lanjutnya.

Aku menaikkan sebelah alis. "Ini resiko pekerjaanku," jawabku.

"Tapi setidaknya kamu tidak akan berurusan dengan Chanyeol jika semua berjalan lancar."

Chanyeol?

Itukah nama laki-laki berengsek itu? Kenapa aku harus bertemu dengan dua laki-laki berengsek, huh? Apakah kehidupanku masih kurang cukup untuk menderita?

"Ada sesuatu yang akan kamu ucapkan?" tanya Sehun membuyarkan lamunanku.

"Terima kasih," ucapku singkat.

"Sesingkat itu? Padahal tadi ketika aku menyelamatkanmu tidak seperti ini."

Ah, lupakan bagaimana aku tadinya. Situasi tadi berbeda dengan sekarang. Tadi pikiranku sedang kacau hingga berpikir dan melupakan bahwa Sehun pun juga manusia yang sama dengan Chanyeol itu.

Aku menoleh ke sisi lain. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Ponsel?" lirihku.

"Ini," ucap Sehun sambil menempelkan benda pipih ke pipiku.

"Terima kasih!" Aku mengambil ponsel dan mengecek wajahku di kamera. Aku baru sadar ternyata ada banyak luka kecil di wajahku dan sudah diobati juga.

"Lukamu tidak parah. Dalam dua hari kamu sudah bisa keluar," ucap Sehun.

Aku meliriknya sebentar. Kemudian kualihkan ke layar ponsel. Aku harus mengirim pesan kepada bos bahwa untuk beberapa hari aku tidak akan berkunjung. Dan setelahnya aku menanyakan pembayaran untuk pekerjaanku yang berujung bahaya. Uh, lain kali aku tidak akan berurusan dengan hal yang seperti ini. Bayaran yang sangat besar biasanya akan beresiko tinggi seperti ini.

"Kamu menanyakan apapun mengenai tragedi sebelumnya?" tanya Sehun sambil merebut ponselku.

Aku mengerutkan dahi. "Tidak perlu," ujarku sambil mengambil ponsel dari tangannya. Aku kembali menyentuh layar ponsel.

Tiba-tiba Sehun memelukku. "Hei apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mendorong tangannya yang melingkar di dekat leherku.

"Memelukmu."

"Kamu ingin melecehkanku juga, huh?"

"Tidak! Aku benar-benar hanya ingin memelukmu."

Aku terua mendorong tangannya yang besar.

"Aku berjanji. Tak akan melakukannya lagi kalau kamu tak mengizinkanku."

"Bohong! Lepaskan aku!"

"Tapi bukan sekarang!" Detik berikutnya kedua tanganku dikunci di atas kepala dengan sebelah tangannya. Aku menjerit kepada perawat ataupun dokter yang berada di dekat ruangan ini. Namun Sehun tertawa dan berkata bahwa ruangan ini adalah ruangan khusus miliknya. Jadi tanpa izinnya tidak akan ada yang masuk.

"Tenanglah, aku hanya ingin menghapus jejak Chanyeol di tubuhmu. Tidak seharusnya ia menyentuh milikku!" Wajah Sehun mengeras. Aku bisa melihat rahangnya yang kaku.

"Milikmu? Kapan aku menjadi milikmu?"

"Mulai hari ini!"

Aku berteriak geli ketika Sehun mencium leherku. Dan semakin geli ketika menjilatnya. Aku bahkan mengerang kesakitan ketika menghisap dan meninggalkan rasa perih di sana.

Beberapa saat kemudian aku bernapas lega. Sehun menjauhkan kepalanya dari leherku.

"Dia juga menyentuhmu di sini kan?" Aku berteriak tatkala ia meremas dadaku.

"Sialan! Jangan menyentuhku!" umpatku.

"Aku rasa tidak karena saat aku datang bajumu baru dirobek."

"Lepaskan aku!" teriakku padanya.

"Tunggu, aku belum selesai memeriksa, mawar kecilku." Sehun menempelkan telunjuknya ke bibiku. Aku membuka mulut, hendak menggigit jari panjang itu. Sayangnya ia segera menarik tangannya sambil menggeleng dan berdecak.

"Aku harus memeriksa di sini juga kan?" ujarnya sambil pangkal pahaku.

"Jangan coba-coba!" desisku tajam.

"Tapi aku harus memeriksanya juga." Sehun menyelipkan tangannya di antara pangkal pahaku. Ia mengusap area itu hingga membuatku berteriak lagi, seperti jalang di malam hari.

"Sialan!" makiku.

"Apa harus aku buka ya celana ini untuk memastikannya?"

"Jangan coba-coba lakukan!" hardikku sekuat tenaga, di sela rasa geli yang membuat tubuhku merinding.

Sehun tertawa. Aku sontak terkejut ia menyelipkan tangannya di balik celana itu. Jemarinya mengusap bawahanku itu.

"Basah! Sangat basah!"

"Hentikan!" ujarku.

"Ummmm," gumamnya sambil menatap ke atas.

Aku terlonjak. Merasakan jari yang menyusup masuk lubang itu. Rasa sakit dan perih kembali menguasaiku.

"Hentikan! Aku mohom!" rintihku menahannya.

"Sebentar!" Jemarinya mulai masuk lebih dalam.

Aku menjerit gila, meracau tidak jelas. Bahkan aku tidak tahu apa saja yang keluar dari mulutku.

"Masih seperti yang kemarin," ucapnya sambil menarik tangannya.

Napasku terengah-engah. Peluhku bercucuran. "Kamu sama berengseknya dengannya."

"Aku lebih berengsek darinya. Percayalah, kamu akan tahu suatu saat," ucap Sehun sambil berdiri lalu keluar dari ruangan ini.

Aku menarik selimut hingga menutupi hingga leher. Lalu sedikit bergulir ke kanan, sambil menahan rasa sakit di perutku.

Aku tidak tahu ingin mengumpat seperti apa. Dia, Oh Sehun, benar-benar laki-laki berengsek.