"Kau bisa membaca pikiranku? Kau mengenalnya?" tanyaku. Namun Lincoln hanya diam menatap langit malam, dan itu membuatku menghela napas pasrah.
"Aku bisa membaca pikiran orang lain semauku, bisa merasakan perasaanya dan iya, aku sangat mengenalnya," jawab Lincoln.
Aku mengerutkan alis. Bagaimana bisa ia mengenal Miss. Ptunia?
"Ia adalah salah satu anggota Sekte Kegelapan, pengikut setia Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tanding, dan. ..." Lincoln tercekat sebelum melanjutkan, "Ia yang membunuh ayahku."
"APA?!" seruku yang langsung terduduk tegap. Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin orang selembut Miss. Ptunia membunuh seseorang?
Lincoln tampak enggan menatapku. Raut wajahnya berubah sendu dan ia masih setia menatap langit malam.
"Ramalan tentang dirimu sudah ada sejak lama, itu juga dirahasiakan oleh Ratu Penyihir Putih. Ia sangat khawatir ketika perkamen ramalan itu hilang, ia menduga bahwa Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tandinglah yang mencurinya. Dan benar saja dugaannya, Sekte Kegelapan sudah mengincarmu sejak kau baru lahir. Namun kekuatanmu sangat besar kala itu sehingga tidak ada satupun penyihir yang bisa menyentuhmu."
Aku masih menyimak ceritanya. Meski aku tidak terlalu percaya. Ah, jangan-jangan aku masih bermimpi di dunia ini.
"Kau sendiri tahu bayi adalah makhluk tersuci di dunia ini. Itu mengapa kekuatan Virginia yang ada dalam dirimu bisa terlihat begitu jelas. Mereka memutuskan untuk menunggumu beranjak besar, dan Ratu mengirimkan Guardian Witch yang bisa bertransfigurasi menjadi hewan untuk mengawasi pergerakan mereka. Dan kala umurmu 9 tahun, pancaran kekuatanmu meredup, Ptunia yang sudah menantikan itu selama bertahun-tahun, mencoba untuk membunuhmu dengan berbagai cara, namun selalu gagal karena kucing hitam peliharaanmu, kau masih mengingatnya?"
Aku mengangguk pelan. Bagaimana aku bisa melupakannya? Si Iteng--nama kucing peliharaanku--adalah hewan termanis yang selalu menemani masa kecilku. Ia selalu ada untukku, menghiburku kala aku menangis karena Ibu selalu membentakku. Namun, ia pergi begitu cepat. 3 hari tidak pulang ke rumah, ternyata ia sudah terbujur kaku di halaman belakang. Saat itu aku sangat terpukul dan tidak berhenti menangisinya selama sepekan.
"Dialah ayahku, Guardian Witch yang ditugaskan oleh Ratu untuk menjagamu. Ptunia menyadari kucing hitam itu adalah penyihir dan ia langsung menyerangnya. Pertempuran terjadi di halaman belakang rumahmu, dan pada akhirnya ayahku gugur karena tugasnya, ayahku mati karena melindungimu."
Aku menelan ludah, aku juga sangat merasa kehilangan. Rasanya sakit, sesak. Aku tidak pernah tau bagaimana perasaan Lincoln saat itu. Kala itu kami masih sama-sama kecil dan ia harus kehilangan ayahnya karenaku. Aku menunduk dalam.
"A-apa kau ... mem-membenciku?" tanyaku terbata.
Sungguh! Aku sangat takut menantikan jawabannya. Ia menghela napas berat. Dan air mata tak terelakkan jatuh mengalir membentuk sungai kecil di pipiku.
Tiba-tiba aku merasakan sentuhan lembut di pipiku. Aku mendongak, Lincoln menghapus air mataku dan jarak kami saat ini begitu dekat. Aku seketika melihat kesedihan mendalam di matanya, membuat air mataku mengalir lebih deras. Rasa bersalah itu menggerogoti kekuatan yang kupunya. Aku tidak pantas--
"Hei," ujar Lincoln lembut yang berhasil mengalihkan pikiranku. Aku tak berani menatap matanya. Ia menangkupkan kedua tangannya di pipiku, membuatku mau tak mau menatapnya.
"Aku sama sekali tidak memikirkan itu, malah yang kupikirkan saat ini ... adalah bagaimana caraku melindungimu sampai batas waktu yang kupunya, sampai sekeping kekuatan yang kumiliki, atau kalau pun bisa ... sampai mengorbankan nyawaku, sama seperti yang ayahku lakukan untuk melindungimu."
Mendengarnya hatiku terenyuh. Kutatap matanya lamat-lamat, mencari kebohongan di sana. Namun nihil. aku tak menemukan kebohongan itu, yang ada hanya keteguhan dan ketulusan.
Aku langsung memeluknya erat dan menumpahkan segala keresahanku di sana dengan menangis sejadi-jadinya. Entahlah, aku merasa ... lega, terharu, tidak menyangka. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Lincoln mengelus pucuk kepalaku lembut. Sesekali menepuknya.
Namun makin lama tepukannya di kepalaku semakin keras, dan aku yang kesakitan refleks melepaskan pelukan.
"Sakit," protesku.
Ia hanya terkekeh melihatku yang sudah kesal. Melempar ranting kayu ke arahku, dan mengatakan, "Dasar cengeng!"
Mandengarnya aku tidak terima dan balas melemparinya ranting kayu. Tidak hanya sekali namun berkali-kali.
"Sudah sudah, nanti habis! Kau mau api unggunnya padam?"
Aku menggeleng dan berhenti melemparinya. Kami terdiam untuk beberapa waktu sebelum ia memecah keheningan.
"Setelah aku lulus dari sekolah sihir Abrihetlase, Ratu menunjukku untuk menggantikan tugas ayah, dan yaah, begitulah ceritanya, aku tidak bisa bertransfigurasi menjadi hewan peliharaan lucu sehingga aku memutuskan untuk memerhatikanmu dari jarak jauh di sekolah,"
mendengar penjelasannya seketika aku teringat perkataan Moxie Pillarine.
"Jadi kau orang yang selalu mengawasiku, dan Moxie tahu itu?" tanyaku tak percaya.
Ia mengedikkan bahunya. "Bisa iya bisa juga tidak. Apa menurutmu yang mengawasimu hanya aku? Tidak, banyak mata-mata Sekte Kegelapan yang masih mengincarmu sampai sekarang. Namun mereka semua habis di tanganku," ujarnya dengan mendongakkan wajah, mencoba untuk angkuh.
Tapi aku yang melihatnya justru terbahak. Wajahnya terlihat lucu.
"Kau lebih pantas menjadi anak culun daripada bersikap sok cool begitu," ujarku yang langsung mendapatkan pelototan darinya.
"Tapi, ada satu lagi Sekte Kegelapan yang mengincarmu dan aku tak dapat menghabisinya, sebab kekuatannya sangat kuat dan dia sangat dekat denganmu."
Aku yang mendengar itu terdiam seketika. "Siapa?" tanyaku penasaran.
"Dia adalah ...."
Aku menantikan jawabannya.
"Kau yakin ingin tau?" Pertanyaan itu membuatku menghembuskan napas. Tanpa sadar aku sudah menahan napas kala menunggu jawaban darinya.
"Cepat katakan saja!" ujarku yang mulai kesal.
"Berta, Bertalah orangnya."
Aku menatapnya seakan tak percaya. Ah, apa aku dikerjai lagi? Namun demi menatap wajahnya yang serius tanpa kekehan jahil seperti biasa membuatku menelan ludah. Apa-apaan ini? Itu sangat tidak mungkin! Berta, psikiaterku yang selama ini membantuku menjadi remaja normal adalah pengikut Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tanding?! Seorang Sekte Kegelapan?!
"Kau pasti bercanda," ujarku seraya terkekeh.
"Aku tidak bercanda. Menurutmu apa yang ia lakukan kala kau sedang terapis padanya? Saat kau mencoba mengorek lagi mimpimu, ia memanfaatkan itu untuk mengetahui sejauh mana kehidupan Virginia dalam dirimu.
Dan terkadang, ia menghapus sebagian kenangan Virginia itu agar kau tidak ingat apa-apa tentang Sekte Kegelapan. Terlebih, ia tidak pernah berkunjung ke rumahmu, karena sejak Miss. Ptunia tewas, perlindungan yang Virginia tinggalkan di kediamanmu semakin kuat. Tidak ada penyihir yang mampu memasuki rumahmu karena kalau tidak, mereka bisa hangus terbakar dan menjadi abu."
penjelasan itu membuat kepalaku seakan meledak. Aku menggeleng kuat. Lyra, imajinasimu sudah terlampau jauh! Bangunlah dari tidurmu!
"Kau sedang tidak bermimpi! Semua ini nyata! Penyihir Putih nyata! Penyihir Hitam nyata! Sekte Kegelapan nyata! Dunia ini nyata! Ayahku dan aku juga nyata! Kau yang harusnya sadar Lyra!! Terima takdirmu!"
Aku tersentak kaget kala Lincoln membentakku demikian. Jantungku mulai berpacu dengan cepat. Inilah mimpi burukku sebenarnya. Tentang takdirku, yang harus merebut kembali batu pusaka itu!
"Oke! Iya! Aku percaya padamu!!" teriakku kencang membuat Lincoln terdiam. Aku juga terdiam. Suasana lengang seketika. Aku mencoba mengatur napasku.
"Maaf, tak seharusnya aku membentakmu," ujar Lincoln. Aku hanya mengangguk, diam-diam menangis lagi. Kugigit bibir bawahku agar isakanku tak terdengar. Namun usaha itu gagal. Lincoln menghampiriku, dengan lembut ia membawaku ke pelukannya.
"Aku sangat takut, aku sangat takut atas takdirku, Lincoln. Seandainya saja aku bisa memilih takdir, aku pasti akan memilih untuk menjadi gadis remaja normal seperti semua orang," isakku di pelukannya.
"Kau tidak pernah tau apa yang orang lain hadapi, Lyra. Setiap orang punya rahasianya masing-masing. Setiap orang memiliki misterinya sendiri," ujar Lincoln lembut.
"Aku tak tau harus melakukan apa setelah ini," aku mengutarakan keresahanku yang sebelumnya kupendam.
"Jalani saja, kau masih punya aku."
Bagaimana bagaimana? Kalian sekarang tau kan mengapa aku menghadirkan sosok psikiater di awal cerita? Apa kejutan ini menyenangkan?? Kuharap kalian sangat terkejut dengan kejutannya. O iya, bagaimana dengan sosok Lincoln? Kalian menyukainya? Apa aku terlalu berlebihan membuat kesan romance nya? well, karena mereka masih baru bertemu, aku sengaja tidak menumbuhkan benih-benih cintrong di hati mereka. Karena perjalanan mereka masih sangat panjang.
Anyways makasih banget buat readers yang mengikuti ceritaku hingga chapter inii^^
salam dari author
Like it ? Add to library!