Sekolah masih terlihat sangat sepi. Aku berjalan santai menuju ke kelas namun urung karena melihat seorang gadis aneh yang sedang berbicara dengan hewan peliharaannya di tepi kolam ikan sekolah.
Dengan rambut panjang sepinggang yang berwarna perak—tergerai dan jauh dari kata terawat—kulit putih pucat dan iris mata birunya yang tidak hanya tajam, tetapi juga selalu menampakkan tatapan kosong, pasti mampu membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri.
Dan sialnya, ia malah menoleh dan tersenyum samar kepadaku. Aku balas tersenyum canggung. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sana, namun kadal yang ada di tangannya itu dengan cepat merayap dan naik ke atas kepalaku, membuatku berteriak kencang seketika.
Ia menghampiriku dan mengambil hewan peliharaannya itu dari kepalaku.
"Tenanglah, ia tidak akan menggigitmu," ujarnya. Aku menghela napas. Ya, aku tau itu. Sejak kapan kadal bisa menggigit? Aku hanya geli, dan dia… mengapa membawa hewan itu ke sekolah?!
"Mengapa kau membawa kadal itu ke sekolah?" Tidak tahan, aku memutuskan untuk bertanya.
Ia seakan tidak mendengarku, malah mangut-mangut dan sesekali bergumam. Seakan sedang melakukan kontak batin dengan kadal peliharaannya.
"Moxie? Kau masih bersamaku?" Aku mengibas-ngibaskan tanganku di wajahnya.
Ya, gadis itu bernama Moxie. Moxie Pillarine.
Tiba-tiba ia menatapku begitu dalam. "Hidupmu akan berubah dalam waktu dekat Lyra, kau harus bersiap untuk menghadapi itu, sesuatu yang besar menantimu,"
Mendengarnya aku semakin tidak mengerti. "Apa maksudmu?" tanyaku.
Ia mengedikkan bahu, tampak tak lagi peduli pada apa yang baru saja dikatakannya.
"Bagaimana kabarmu Lyra? Pagi ini kau terlihat lebih bersinar." ujarnya seakan ingin mengalihkan topik.
Aku mengedikkan bahu "Begitulah," jawabku pendek.
"O iya, ngomong-ngomong soal wizard, dia adalah spesies kadal yang hanya ada di Kalimantan dan termasuk hewan nocturnal—
"Oke oke," ujarku memotong pembicaraannya.
Yang benar saja, aku tidak perlu tahu semua itu, kan?
"Tampaknya aku harus segera masuk ke dalam kelas, a—aku, aku belum mengerjakan tugas," ujarku ingin meninggalkannya namun lagi-lagi urung karena ia lebih dulu berbicara.
"Kau tidak perlu berbohong untuk menjauhiku. Anak-anak yang lain bahkan pergi begitu saja saat berhadapan denganku," ujarnya begitu tenang yang lantas membuatku merasa bersalah.
"A—aku tak bermaksud—
"Tidak apa, itu sudah biasa." potongnya.
Ia mengelus kadalnya yang—jika diperhatikan lebih dekat—sangat mirip dengan Toothless, naga yang ada di dalam film animasi 'How To Train Your Dragon'.
"Mengapa kau mengenakan mantel? Bukankah pagi ini sangat cerah dan panas?" tanyaku mencari topik.
Itu benar, ia memakai mantel putih tebal di pagi yang cerah ini, membuat kulit putih pucatnya tampak lebih pucat. Sebenarnya ada apa dengannya?
"Nanti saat jam istirahat, suhu akan menurun drastis. Dan badai datang pada malam harinya," ujarnya dengan begitu santai.
Aku yang semakin heran, segera mengambil ponsel yang ada di dalam saku jeans dan melihat ramalan cuaca hari ini. Di sana tertera bahwa cuaca di Seattle hari ini sangat baik. Bahkan tidak berawan seperti biasanya. Mengernyit bingung, aku kembali menatap Moxie dan tertawa kecil ketika kembali teringat bahwa aku tengah berhadapan dengan anak paling aneh seantero sekolah.
"Lyra, aku hanya ingin kau berhati-hati, selama ini ada beberapa orang yang mengawasimu," ujarnya sembari menurunkan kadalnya dan membiarkan kadal itu merayap masuk ke dalam air kolam.
Kulihat Moxie yang tersenyum melihat kadalnya gemas, seakan melihat anak anjing lucu yang berusaha menangkap ekornya sendiri.
"A—apa katamu?" tanyaku hanya sekedar memastikan.
Ia berdiri tegak menghadapku, dan mata birunya menatapku begitu dalam seakan ia ingin menghunusku dengan mata itu.
"Kau harus berhati-hati," ujarnya begitu lirih yang berhasil membuat bulu kudukku meremang.
"Si—siapa mereka?" Kini suaraku pun ikut melirih dan sedikit terbata. Moxie sudah hampir mengatakannya, namun tiba-tiba saja seseorang merangkul bahuku dan menyela obrolan kami.
"Lyra, kebetulan sekali! Kau menunggu kedatangan kami, ya?" ujar gadis yang merangkulku itu.
Ia mengibaskan rambut coklat bergelombangnya, penampilannya sangat trendy dengan celana jeans pendek—super pendek hingga menampakkan pahanya yang eksotis—yang dipadukan dengan Blouse V Neck putih tanpa lengan, serta sepatu boots hak tinggi yang berwarna hitam, menutupi kaki jenjangnya hingga bawah lutut.
Ia memiliki wajah bundar dengan dagu yang terbelah dua, bibir punuh yang selalu mengkilap kerena lip gloss, dan mata bundar—aku tak ingat warna asli matanya karena ia terlalu sering menggunakan softlens dengan warna yang berbeda setiap minggunya—dan yaah, inilah dia …Rebecca.
"Lyraaa!!!"
Astaga! Pekikan itu hampir saja membuat telingaku tuli. Dari teriakannya saja aku telah mengenal mereka. Dua gadis yang baru saja berteriak itu serta merta memelukku.
"Entah mengapa aku sudah sangat merindukanmu. Padahal baru tidak bertemu dua hari di hari libur sekolah," ujar salah satu gadis yang memelukku.
Ia bernama Luna, gadis dengan rambut pirang dan iris mata berwarna biru terang, serta yang memiliki antusiasme paling tinggi satu sekolah—yang ini menurut pendapatku. Ia juga seorang ketua pemandu sorak—terlihat dari bentuk tubuhnya yang tinggi semampai.
Pelukan Luna semakin erat hingga rasanya aku sulit bernapas.
"Itu benar, mengapa kau tidak datang ke party Rebecca?" tanya gadis yang satu lagi.
Ia melepas pelukannya dan mencebik kesal bak anak kecil yang tidak diperbolehkan menaiki bianglala di pasar malam. Rambutnya yang lurus itu ia biarkan tergerai indah, dengan bandana yang memisahkan antara rambut dan poninya. Memiliki iris mata amber yang sangat menawan. Tapi jangan salah, ia gadis yang mudah sekali marah, merajuk dan sangat manja. Gadis itu bernama Clairy.
"Maaf sebelumnya, aku belum menyelesaikan pembicaraanku dengan Lyra," Moxie berujar santai. Ia bahkan tidak peduli pada Rebecca yang kini mendelik menatapnya.
"Lyra, kau tak benar-benar mengenal mereka. Ada yang sangat dekat denganmu namun ada juga yang hanya memerhatikanmu dari jauh, dan—
"Bla bla bla ... Lyra tidak akan peduli dengan itu," potong Clairy. Rebecca menarik tanganku untuk segera pergi.
"Selamat tinggal Dumnie," ujar Luna sebelum kami benar-benar pergi dari sana.
Kami menyusuri koridor yang begitu ramai oleh anak-anak. Tapi tak mengapa, anak-anak itu cukup tahu siapa kami. Mereka segera menyingkir memberi jalan untuk kami lewati. Yeah, kami cukup populer. Terlebih Rebecca yang membuat kami terlihat demikian. Ia adalah Ratu Pesta. Rebecca kerap kali membuat party sehingga semua anak-anak ini mengenal dan menghormatinya. Apalagi pacar Rebecca adalah ketua gangster yang paling ditakuti.
"Berterima kasihlah karena kami telah menyelamatkanmu," ujar Rebecca.
Ia menoleh ke belakang, memastikan Moxie tidak mengikuti kami.
"Dasar Dumnie, kali ini apa lagi yang mau ia perbuat? Menghasut sahabatku dengan ramalan konyolnya? Cih! Tidak akan kubiarkan itu terjadi." Kali ini Clairy yang berbicara membuatku menghela napas.
Yeah, aku tidak akan tutup mata jika reputasi Moxie benar-benar buruk. Bukan, bukan buruk karena sering membuat onar, tetapi buruk karena ia selalu bersikap di luar nalar. Contohnya saja membawa hewan peliharaan ke sekolah, seekor kadal! Bayangkan! Dan ia berbicara padanya layaknya pada manusia, ia juga selalu berbicara hal-hal yang tidak berguna. Seperti meramal dan yang lainnya. Oh! Dan jangan lupakan pertanyaan yang dia ajukan kepada Mrs. Beatrix, guru biologi kami.
Flashback~
"Bu, apa tanaman bisa tumbuh dengan sperma?" tanyanya.
"Maaf Moxie, tapi yang bisa tumbuh dari sperma hanyalah manusia dan hewan, tanaman tentu tidak."
"Tapi Bu, menurut buku yang kubaca, ada satu tanaman yang tumbuh dengan setetes sperma dan darah."
Mrs. Beatrix sungguh tercengang dan sedikit bingung dengan pernyataan Moxie.
"Well, aku tak tau tentang itu sebelumnya Miss Pillarine. Buku apa yang kau baca?" tanya Mrs. Beatrix. Moxie menunjukkan bukunya yang berjudul 'Macam-macam Tubuhan Tidak Wajar'.
"Darimana kau mendapatkannya?" tanya Mrs. Beatrix lagi, antara mempermainkannya ataupun hanya penasaran saja.
"Dari perpustakaan sekolah sihir Abrihetlatse,"
Mrs. Beatrix sekali lagi tercengang. Ia menganggukkan kepalanya seakan mengerti.
"Oh, sekarang aku tahu tanaman itu benar-benar ada Miss. Pillarine … dalam imajinasimu,"
Setelahnya hanya sorakan tawa yang terdengar. Beberapa ada yang melemparinya bola kertas bahkan benda keras seperti pensil dan penghapus. Namun Moxie hanya diam dan tetap santai kembali duduk di bangkunya tanpa memedulikan sorakan teman-temannya.
Seseorang menangkap videonya dan dalam waktu kurang dari 24 jam, video itu menyebar ke seantero sekolah—yeah itu mengapa aku bisa tahu walau ia tak sekelas denganku. Itu membuatnya menjadi bulan-bulanan dan dikucilkan. Bahkan namanya diubah menjadi Mudnie atau Dumnie, plesetan dari kata 'bodoh'.
"Hey! Ia berbicara apa saja padamu? Tampaknya kau telah berbincang banyak dengannya," Luna menarikku kembali pada realita.
"Euhh …. " Aku ragu ingin memberitahukannya.
"Untuk apa kau bertanya, apa yang dia katakan hanya omong kosong." Clairy tampak masih kesal.
"Yeah, tapi tak bisa dipungkiri ramalannya tentang masa depan seseorang memang benar-benar terjadi," Luna membela diri.
Aku mengerutkan alis.
"Darimana kau tahu?" tanyaku.
Luna mengedikkan bahunya. "Kau lupa? Rebecca pernah diramal. Dumnie berkata bahwa Rebecca akan menemukan kesialan dalam keberuntungannya. Malamnya ia berhasil mencuri kartu kredit orang tuanya dan mentraktir teman sekelas ke club malam, namun 3 mobil polisi merangsek club itu, membubarkan party dan menangkap sebagian teman-teman sekolah yang positif mengonsumsi narkoba."
"Benarkah?" tanyaku menuntut kebenaran. Bagaimana aku bisa tidak tau tentang itu?
Kini kami telah berada di dalam kelas. Aku duduk di bangkuku dengan Luna, Clairy mengambil kursi kosong dan duduk di sebelahku sedangkan Rebecca duduk di atas mejaku. Rebecca mengedikkan bahu.
"Itu sudah setahun yang lalu. Aku diskors dari sekolah dan David di penjara. Untunglah ayahku orang yang memegang kuasa, jadi David bisa bebas dan aku tidak harus diskors, malah kepala sekolah itu yang dilengserkan sehingga Mr. Robinson naik jabatan," Rebecca tertawa sinis menceritakannya.
Aku mengangguk mengerti. Ahh, saat itukan aku sedang menjalani terapis dengan Berta selama beberapa pekan, pantas saja saat aku masuk kembali ke sekolah, Mr. Robinson telah menjadi kepala sekolah. Ternyata bukan hanya soal pacar Rebecca alias David yang membuatnya ditakuti, tapi juga ayahnya yang bisa melengserkan kepala sekolah. Sekalipun kepala sekolah tersebut telah menjabat lebih dari dua dekade.
"Tapi itu bisa saja hanya kebetulan, lagipula Dumnie tidak menyebutkan hal mendetail." Sekali lagi Clairy menampik pernyataan Luna.
"Kau tau ia tidak hanya meramal Rebecca. Alex, Exiel dan yang lainnya juga,"
Kriiiinggg!!! Kriiiiingg!!!
Akhirnya perdebatan mereka dihentikan oleh bel tanda masuk sekolah. Rebecca, Luna dan Clairy duduk di bangku mereka masing-masing. Mrs. Beatrix memasuki kelas kami dan sialnya aku tidak bisa berhenti berpikir tentang ramalan Moxie dan pernyataan Luna barusan.
Hollaaa para readers!!!
Apa ada yang penasaran dengan sosok Moxie?
Atau malah bingung dengan karakternya?
Aku sengaja membuat karakter ini karena aku sendiri cukup menyukai orang yang memiliki kepribadian unik seperti Moxie. Bagi kalian yang sering dibilang 'berbeda', atau malah merasa berbeda, itu tak apa. Hal itulah yang menjadikan kalian menarik di mata orang lain dan aku menghargai karakter itu.
Have some idea about my story? Comment it and let me know.