Semalaman Zayana berada dalam gudang tersebut. Pagi hari sudah mulai menyongsong terlihat dari suara ayam mulai bersahutan, dan seberkas cahaya masuk menyelinap.
"Alhamdulillah," puji Zayana dengan senyum yang mengembang pada bibir.
Zayana berucap syukur karena masih bisa merasakan pagi hari. Bangkit dari posisi yang sedari tadi duduk memeluk lutut, dan mulai menggedor pintu pelan.
"Ayah, Ayah," panggil Zayana pada Damar yang diharapkan bisa membuka pintu gudang dan mengizinkan keluar dari tempat tanpa kenyamanan itu.
Zayana terus menggedor pintu gudang itu dengan pelan dan sering. Harapan untuk ia bisa bebas dan keluar sangat besar, karena pagi kali ini ia sangat ingin sekali untuk kembali menaruh berkas lamaran pekerjaan pada pabrik di kota tempat tinggalnya.
-
Damar terusik dari tidurnya di pagi hari ini. Dia terganggu dengan sebuah suara gedoran pintu yang terasa seperti dari gudang--tempat ia mengurung Zayana.
"Berisik amat sih tuh bocah! Masih pagi udah mulai buat ulah aja," oceh Damar. Mulai melangkahkan kaki untuk segera menuju pada gudang tersebut, dengan sesekali menguap lebar yang ia lakukan saat ini.
Mata Damar masih terasa berat dan mengantuk. Semalaman ia begadang di rumah salah satu warga yang hendak melakukan acara walimah pada lusa, dan ia menyanggupi. Alhasil kantuk masih menyerang begitu hebat karena baru saja istirahat beberapa menit yang lalu.
Sesampainya di depan pintu gudang. "Berisik sekali kamu!" bentak Damar pada Zayana yang masih terkurung di dalam ruangan tersebut.
Zayana yang berada di dalam, menerbitkan senyum cerah karena mendengar suara sang ayah yang diperkirakan berdiri tepat di depan pintu ruangan--tempat ia dikurung. "Ayah! ... Zay mohon keluarin dari sini. Zay mau cari kerjaan Ayah," ucap Zayana dengan suara parau karena semalaman ia menangis hebat.
Damar menutup mulutnya yang tengah menguap lebar-lebar itu. "Iya, iya, Ayah buka sekarang," jawab Damar yang sudah tidak kuat menahan kantuk.
Tangan mulai merogoh saku celana yang terdapat semua kunci rumah. Ia selalu membawa benda itu kemana-mana dan diletakkan pada tempat tersebut, baginya ini adalah hal yang sangat aman dan tak akan ada satu orang pun yang berani untuk menngambil jika sudah ada dalam genggaman tangannya.
Memasukkan salah satu kunci ke lubang pintu gudang tersebut. Membuka handle pintu dengan mata sedikkit terpejam, entah antara sadar ata tidak sadar sebab kantuk yang semakin menyerang dengan sangat hebat hingga terasa kelopak sangat berat bahkan untuk terbuka sedikit saja.
"Makasih Ayah," ucap Zayana. Senyum indah mengembang sempurna pada wajah yang sudah berlumur debu hitam, dan bekas jejak air mata mengering, tercetak jelas pada wajah yang pualam itu.
Damar memberikan anggukan kepala kecil, tidak mendengar dengan baik karena kantuk sudah menyerang sangat hebat. Melangkahkan kaki terlebih dahulu sebelum akhir ia menutup pintu dan menguncinya kembali.
Zayana hanya bisa memperhatikan semua gerakan dari Damar tanpa berani membuka suara untuk mengucapkan satu kata pun. Terlalu takut untuk berbuat kesalahan kembali, dan pasti akan berakibat sangat fatal atau mungkin bisa lebih fatal dari ini. Mencari titik aman jauh lebih baik, ketimbang berucap dan akhirnya disalahkan.
Zayana menatap punggung Damar yang mulai terlihat mengecil karena semakin jauh dari jarak pandang. "Terima kasih Ayah," gumam Zayana dengan senyum simpul.
Zayana buru-buru membersihkan pakaian dari debu hitam yang berada dalam ruangan di hadapan saat ini. "Zay harus cepet untuk mandi, bereskan berkas, dan yah ... Melamar pekerjaan." Melangkahkan kaki dengan cepat atau mungkin bisa disebut dengan lari kecil.
Zayana sangat bersemangat untuk pergi ke kamar agar bisa membersihkan semua badan yang terasa lengket dan juga kotor. Sesampainya ia langsung menutup pintu rapat, dan berjalan untuk kemudian pergi ke kamar mandi.
Zayana tergesa untuk melakukan semua itu. Menatap waktu yang menunjukkan pukul 07.00 pagi, dan ia tidak ingin telat saat melamar kerja. Karena baginya waktu adalah kesempatan emas yang tidak boleh dibuang-buang begitu saja.
"Aku haru memakai pakaian apa ya? Biar terlihat menarik dan mereka siap untuk mempekerjakan aku ini," celoteh Zayana seorang diri. Menatap lemari yang berisi semua pakaian tergantung dan berjejer rapi di dalam sana.
Zayana mengulurkan tangannya untuk mengambil sebuah kemeja lengan panjang sederhana tanpa motif berwarna navy, dan juga celana bahan berwarna hitam pekat. Kini giliran ia memilih warna jilbab agar nampak seperti perpaduan yang sempurna.
"Baju udah, celana juga udah, dan sekarang ... Jilbabnya," gumam Zayana. Memilah dan memilih semua hijab persegi panjang yang ia punya dan telah terlipat rapi di dalam lemari.
Mata Zayana menangkap sebuah jilbab yang nampak sangat cocok ketika dipakainya nanti. Berwarna cream senada dengan tas yang akan ia kenakan.
"Perfect!" seru Zayana merasa sangat senang. "Bismillah, semoga kali ini aku bisa secepatnya mendapatkan pekerjaan agar sedikit meringankan beban ekonomi," tekad Zayana dengan mantap.
Zayana buru-buru untuk memakai semua pakaian yang telah dipilihnya itu. Memoles tipis wajahnya agar terlilhat lebih segar saat mata memandang dan mungkin akan menjadi daya tarik tersendiri.
Zayana mengenakan make-up tipis dan terlihat seperti natural, wajah yang tadi kotor saat keluar dari gudang pengap itu kini nampak berseri dan sangat bersahaja.
"Lumayan," gumam Zayana memampang senyum manis miliknya dan segera mengenakan sepatu agar bisa berangkat menyebarkan surat lamaran kerja dengan segera. "Tuhan bantu aku kali ini, aku ingin sekali cepat bekerja dan bisa membuktikan pada semua, bahwa aku bukan ... Beban."
Zayana menekan perasaan nyeri yang mendadak datang dengan sendiri. Ia tidak mau mungkir jika ini adalah hal yang paling menyakitkan bagi kehidupan yang tengah ia lakoni.
'Kamu itu anak tak berguna.'
'Kenapa kamu gak enyah saja sih? Merepotkan saja.'
'Kamu itu hanya membuat kita semua malu!'
Masih banyak umpatan yang harus Zayana dengar di setiap membuka mata sampai akhirnya mata itu tertutup kembali.
"Perasaan ini kenapa harus hadir kembali?" Zayana memukul pelan dada yang terasa sangat nyeri dan bahkan membuatnya susah untuk menarik napas.
Zayana menutup mata untuk kemudian mendongakan kepala agar buliran bening tidak kembali luruh padaa pipi. Berusaha mengalihkan perhatian agar tidak terlalu fokus dengan rasa sakit yang mulai menjalar penuh pada tubuh.
"Zay harus berangkat sekarang! Zay gak boleh nangis, apalagi mengikuti kata hati yang terasa sangat nyeri," tekad Zayana sangat kuat untuk mencari sebuah pekerjaan dan tentunya agar ia sibuk dengan rutinitas baru.
Zayana mengambil semua berkas yang ada di meja belajar itu dan melangkahkan kaki keluar kamar dengan niat yang sangat tangguh.
"Mau kemana kamu?"