webnovel

Lovely Memories, 36 Months

Satu satunya hal yang kuharap kan ketika kelulusanku lima tahun lalu adalah agar waktu berhenti meski hanya untuk beberapa saat. Aku berharap setidaknya lelaki 'menyebalkan' itu datang menghampiriku dan meminta maaf. Aku hanya berharap agar lelaki 'tidak tahu malu' itu berdiri dihadapanku sambil tersenyum penuh penghargaan atas kelulusan kami. Banyak sekali harapan yang aku miliki hingga pada akhirnya tidak ada satupun yang menjadi kenyataan, Lorent Mahesa, selama tiga puluh enam bulan waktuku untuk mencintaimu setiap harinya. Seumur hidupku waktu yang kumiliki untuk mencintaimu walau dalam kesenyapan.

enditawidhi8 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
4 Chs

Kenapa Harus Tertangkap Basa Seperti Itu!?

Sepanjang perjalanan Lorent atau Adrian, aku sebenarnya masih bingung harus memanggilnya bagaimana. Lelaki itu hanya duduk diam disebelahku tanpa berbicara, aku tersenyum kecil saat melihat wajahnya yang tampan. Ayolah, siapa yang akan menolak untuk melihat wajah setampan miliknya dalam jarak dekat, terlebih Adrian atau Lorent terlihat tidak peduli dengan hal tersebut. "Ehm...aku mau bertanya sedikit, bagaimana aku harus memanggilmu? Maksudku kau memperkenalkan diri sebagai Lorent Mahesa, tapi sebelumnya Dewa mengatakan namamu adalah Adrian..." belum sempat kalimat itu sekesai, Ia sudah memotongnya dengan satu kata. "Lorent," aku terkesiap, sepertinya laki-laki ini lebih dingin dan pendiam daripada diriku. Demi menghormatinya aku mengangguk kecil dan mengalihkan pandanganku pada jalanan di luar bus, tinggal beberapa meter lagi halte tempatku berhenti sudah sampai. Tangan kiri ku menepuk pahanya tanpa sadar dan mengatakan kalau kita harus turun sekarang.

Seakan mengerti maksudku Lorent menggenggam tanganku yang ternyata belum terangkat dari pahanya, ia menarik tanganku yang berada dalam genggamannya setelah bus berhenti dan menginjakkan kaki kami di halte. Aku juga Lorent sama sama terdiam dengan tautan yang belum terputus, tambahkan langit sore yang yang tampak penuh asap membuatku semakin lelah dan tidak sadar dengan perhatian Lorent yang sudah tertuju pada tangan kami. Tubuhku tersentak pelan karena ia melepaskan tangannya dengan paksa, duh ini memalukan sekali membuatku seakan ingin menghabiskan waktu bersama lama dengannya. Gugup aku menyampirkan rambutku kebelakang telinga dan Segeran izin pulang terlebih dahulu, aku meninggalkan halte tempatnya berdiri dengan berlari kuat, malu sekali.

Napas ku ngos-ngosan saat tiba didepan pintu rumah, tas punggungku sudah tergelatak di lantai teras saat aku memutuskan untuk duduk sebentar di kursi santai. "Hah....hah....kenapa aku bisa sememalukan itu? Bagaimana aku akan menghadapi dia besok pagi!?" monolog ku yang langsung dihancurkan oleh kedatangan Mama sambil berteriak kesal. "Aduh, Slyvia! Kenapa kamu duduk di teras kotor seperti itu, ayo cepat masuk dan jangan melamun di sana terus. Bisa bisa kesurupan kamu nanti Mama yang repot, cuci tangan dan kaki terus makan, jangan main ponsel dulu!" Begitulah kalimat yang selalu beliau katakan sepulang aku sekolah, Mama menjaga keluarganya dengan terus berbicara tanpa henti sampai apa yang ia inginkan dituruti.

Aku mulai beranjak dan menenteng tas punggugku untuk masuk kedalam rumah, tidak lupa aku mengucapkan salam walaupun pelan karena itu ajaran Mama sejak kecil. Tanpa perlu menunggu diomeli untuk kedua kalinya, aku langsung naik ke lantai dua dan masuk ke kamar untuk melakukan perintah Mama. Aku mengganti baju seragamku dengan kaos tanpa lengan berwarna merah dan hot pants, selesai mencuci muka dan tangan serta kaki aku kembali menuruni anak tangga. Di meja makan Mama sudah menyiapkan piring dan sendok garpu untukku, aku mencium pipi beliau sekilas lantas duduk dan mulai makan siang. Kurasakan usapan pelan dikepalaku oleh Mama. "Anak Mama kok bisa cantik sekali, sih? Tapi masa belum ada yang macarin?" Bibirku mengerucut, aku sudah sering sekali mengatakan kalau aku tidak punya pacar, tapi seolah tahu dengan kebohonganku Mama terus mencerca ku dengan pertanyaan yang sama.

Aku menghela napas pendek dan berbalik menghadap beliau, baiklah mungkin tidak apa kalau aku bercerita pada Mama tentang hubunganku dengan Dewa, lagipula sekarang orang-orang di sekolah juga sudah tahu. "Iya deh...aku memang punya pacar, tapi Mama jangan kasih tahu Papa nanti aku diminta putus lagi." Ekspresi wajah beliau langsung berubah saat mendengarnya, aku memekik kuat saat kedua tangan Mama kini mencubit gemas pipiku. "Mama bilang juga apa, Slyvia kecil Mama sudah dewasa sekarang, siapa namanya? Ganteng ngga? Kelas berapa? Pinter ngga?"

Pertanyaan yang selalu diluncurkan oleh setiap ibu yang mengetahui anaknya sedang berkencan, tapi setelah dipikirkan kembali Dewa memang hampir sempurna walaupun sifatnya yang terkadang seperti anak-anak dan egois sering membuatku kesal sendiri. "Namanya Sadewa, Ma. Dan iya, dia ganteng, pinter, keluarganya kaya lagi. Kurang apa lagi?" Kali ini aku yang coba menggoda Mama, pipi beliau memerah karena tertawa bersamaku. Tidak lama kemudian Mama meninggalkan aku dengan makananku di ruangan ini, sedikit bercanda dengan Mama adalah kebiasaan harianku di rumah. Mungkin Papa akan ikut serta kalau tida sedang bekerja, dan jika Papa dirumah masa muda Mama adalah sasaran empuknya. Ponsel ku yang berada di atas meja bergetar dan memunculkan notifikasi pesan, aku hanya melirik sekilas dan menemukan kalimat singkat, 'Ini Lorent...'

Aku tersedak, mengingat namanya saja mampu mengembalikan kejadian beberapa menit lalu yang hampir kulupakan. Kedua pipiku menghangat karena lagi lagi merasa malu, orang ini kenapa masih saja menghubungiku? Apakah dia tidak berpikiran macam-macam karena aku pacarnya Dewa? Atau karena ia mau mengejekku habis-habisan? Keduanya tetap saja tidak bagus. Belum selesai aku memikirkan pesan singkat tersebut, panggilan telpon dari Dewa masuk. Aku tergopoh meraih ponselku dan langsung menjawabnya, "Halo, Dewa? Ada apa telpon aku jam segini?"

Suaranya disama terdengar tidak jelas karena terdapat suara ribut kendaraan, "Ini aku lagi di depan toko alat musik, aku mau kasih hadiah kedatangan buat Adrian. Orang itu suka sekali alat musik disamping kesukaannya berlatih judo, dan aku juga tahu kalau pacarku yang cantik ini juga suka bernyanyi. Aku ingin menghadiahi mu sesuatu, kau tunggu besok di sekolah ya!" ucap Dewa panjang lebar, aku yang mendengarnya gelagapan sendiri. Pasalnya aku ini tidak bisa bermain alat musik apapun, "Jangan, Dewa. Kamu ngga perlu..."

"Ini sebagai hadiah buat kamu karena udah setuju nyebarin tentang hubungan kita, sekalian sahabat-sahabat ku juga mau ketemu kamu. Oke?" Dewa memotong kalimatku, hal yang paling tidak kusukai di dunia ini.

"Kau memotong kalimatku, Dewa. Tapi baiklah kalau kamu tetap keras kepala, katakan saja pada sahabat-sahabat mu kalau aku bersedia menemui mereka."

"Sayang, jangan marah. Aku minta maaf." ujarnya sekali lagi. Inilah yang membuatku tak bisa marah dengannya sama sekali, aku selalu menahan napas tanpa sadar saat kata 'Sayang' keluar dari mulutnya untukku. Aku mengangguk meskipun Dewa tidak mampu melihatnya, dengan sepatah kalimat dariku telepon itu ditutup. Semoga saja jantungku tidak berdebar untuk orang lain, karena sesuatu telah terjadi di dalam diriku. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku tahu itu akan menjadi masalah besar jika aku membiarkannya terus ada.