webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Si Rambut Jerami

Gita tak langsung menjawab, ia melirik pada Sari. "Apa Pak Surya berminat mencari anak angkat di Sayap Kasih?" tanyanya.

Sari mengangkat bahunya. "Who knows? Kalau ketemu yang cocok yang bisa saja diangkat anak. Pak Surya ini baik sekali, mbak Gita … beliau mudah tersentuh hatinya," ujar Sari sambil tersenyum.

"Hmm, saya cuma menanyakan apa syaratnya? Siapa tahu nanti ada teman atau klien-klien kita yang mencari anak asuh," kata Surya.

"Syarat utamanya anak dan orang tuanya cocok, Pak. Memiliki ikatan hati atau bonding yang kuat, jadi kami tak asal memberikan hak asuh anak ke sembarang orang," jelas Gita.

"Oh begitu ya? Berat juga ya syaratnya?" ungkap Surya.

"Tidak juga, Pak. Jika sudah saling bertemu, mereka yang memang sudah ditakdirkan sebagai satu keluarga pasti memiliki ikatan hati yang kuat sejak awal. Itu yang kami lihat."

Selanjutnya Gita memaparkan dengan gamblang bagaimana cara mengadopsi anak dari Sayap Kasih. Ia juga menceritakan kisah beberapa anak yang sudah diadopsi.

Sari mendengarkan dengan antusias. Dia sendiri memiliki pertanyaan yang sejak dulu menggelitik hatinya.

"Aku mau tanya, kalau masih single apakah boleh mengambil anak adopsi?" tanyanya dengan serius.

"Sari, saran saya kamu cari suami dulu, lalu buat anak, kalau kurang baru ambil anak asuh." Surya tiba-tiba menyela mendengar pertanyaan Sari yang menurutnya aneh.

Akan tetapi Sari tak bergeming, kali ini ia serius bertanya. "Bagaimana, Gita?" desaknya.

"Bisa saja, Mbak. Tapi kami akan survey secara detail untuk melihat kesiapan calon orang tua ini, termasuk yang sendirian. Apakah mereka dianggap mampu dan memenuhi kriteria," jawab Gita dengan bijak. "Ngomong-ngomong, Mbak kenapa berminat angkat anak?" Gita bertanya dengan hati-hati.

Sari tersenyum. "Aku ingin saja, suatu hari nanti, misal aku nggak ketemu-ketemu jodohku, mending aku punya anak asuh saja, jadi di masa tuaku ada yang menemaniku," ungkapnya.

Gita tampak tak kaget dengan perkataan Sari. Ia tersenyum lagi. "Sayap Kasih sudah sering bertemu dengan orang model mbak Sari ini. Balik lagi, ada syarat dan ketentuan yang kami minta. Dan lagi-lagi, itu juga tergantung pada anaknya. Jika syarat terpenuhi dan anak itu bersedia, why not?" tanyanya.

"Jadi bisa?!" Sari tampak berharap.

Gita mengangguk. "Bisa, Mbak," jawabnya pendek.

"Kalau saya bagaimana?" Surya tiba-tiba menyela."Pak Surya anaknya sudah dua, sudah besar-besar, masih mau adopsi anak?" tanya Sari.

Surya tersenyum penuh rahasia. "Rahasia!" ujarnya.

Sebetulnya Surya hanya bercanda saja saat mengucapkan ingin mengadopsi seorang anak. Di pikirannya tak pernah terlintas ingin memiliki anak lagi, apalagi istrinya sudah memberinya dua anak yang pintar dan sehat. Sepasang anak laki-laki dan perempuan, sudah komplit. Keluarga mereka hidup berkecukupan, tak kurang kasih dan sayang. Nyaris sempurna sebagaimana keluarga idaman pada umumnya.

Namun, semesta memang selalu memberikan tantangan baru setiap kali manusia menginginkan pelajaran yang berbeda. Meski tak pernah terpikirkan atau direncanakan sebelumnya. Dan kali ini kejutan itu jatuh pada Surya.

Pagi itu kantor masih sepi, tapi Surya sudah asyik mengamati tayangan langsung dari Sayap Kasih di meja kerjanya. Acara kerja sama itu sudah beberapa waktu berjalan dan berlangsung sangat lancar. Mereka juga mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Bagian customer service kini yang kerepotan dengan panggilan dan pertanyaan yang tak habis-habis dari orang-orang yang penasaran.

Bagian direksi memberikan apresiasi dan pujian pada kinerja Surya dan anak buahnya. Tetapi, bukan Surya jika cepat merasa puas dengan hasil-hasil kerjanya. Ia sendiri memiliki target yang tinggi dan mulia. Iya, dia ingin semakin banyak orang yang terinspirasi dari kiprah Sayap Kasih, bukan semata mengajak orang membeli proteksi keuangan untuk keluarganya.

Bola mata Surya masih terfokus pada layar tablet yang dipegangnya. Dalam tayangan live itu ada seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang selalu menyita perhatian penonton. Tingkah dan gayanya yang ceria dan sok bijak selalu ditunggu-tunggu. Termasuk juga Surya, ia merasa anak spesial. Julukannya 'Si Rambut Jerami'.

"Julukan yang aneh", gumam Surya.

Awalnya banyak yang protes dan menganggap nama itu sebagai bullying untuk Lissa, nama anak itu. Tapi ternyata ia sendiri yang membuat julukan itu sebagai namanya sendiri. Sebabnya adalah rambutnya yang berwarna coklat dan nyaris selalu acak-acakan seperti jerami.

Perihal Lissa, Surya menanyakannya pada Gita. Tak berapa lama setelah wanita itu datang ke ruang kerjanya. Ada beberapa urusan proyek yang harus diselesaikan hari itu.

"Gita, boleh tanya sesuatu?" ucap Surya setelah mereka menyelesaikan rapat proyek.

"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Gita tanggap.

"Ehm, ini tentang Lissa, ia asal-usulnya dari mana?" tanya Surya pada wanita itu.

"Oh, si Rambut Jerami. Rupanya Bapak juga tertarik sama dia ya," ujar Gita sambil membetulkan kacamatanya. Ia tersenyum kecil.

"Ya, dia lucu sekali. Masih kecil tapi seperti boss, tukang perintah tapi baik sama teman-temannya," kesan Surya pada Lissa.

"Iya, Pak. Dia memang begitu sifatnya, sedari kecil sudah istimewa. Sama sekali tak tampak seperti anak yang susah atau bersedih, padahal ia sama juga seperi anak asuh kami yang lain," ungkap Gita.

"Makanya saya tanya, dia asal usulnya dari mana?" desak Surya.

"Dia anak seorang ekspatriat yang kebetulan pernah bekerja di Jakarta. Ibunya orang asli sini, sedangkan ayahnya kalau tidak salah WNA Belanda," papar Gita.

"Kedua orang tuanya masih ada?" Surya lanjut bertanya.

"Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkan dia, kebetulan ia salah seorang teman baik saya …" Gita menghentikan ceritanya. Ada nada sedih dalam suaranya.

"Oh, maaf Gita," ucap Surya buru-buru. "Maaf mengingatkanmu pada sahabatmu."

"Tak apa-apa, Pak. Sudah lebih dari 4 tahun berlalu, saya sudah mulai bisa berdamai dengan perasaan sedih itu." Gita mencoba tersenyum.

"Ya, saya mengerti. Lalu, ayah Lissa?" Surya bertanya kembali.

"Ia sudah pulang ke negara asalnya. Mungkin ia juga tak tahu kalau memiliki seorang anak perempuan di sini," ungkap Gita sambil menarik nafas berat.

"Kok bisa sampai tidak tahu?" tanya Surya makin penasaran.

"Kami kehilangan semua kontak dia, alamat di sana pun kami tidak tahu. Teman saya sudah berusaha menghubunginya saat hendak mengabarkan kehamilannya, tapi nihil."

"Hmm, susah ya," kesan Surya sambil bertopang dagu. "Resikonya pacaran sama orang jauh ya begitu," imbuhnya.

"Sebenarnya mereka pasangan yang serasi dan saling cinta, sayang sekali keadaan tak mendukung," ungkap Gita.

"Orang tua sahabat saya tak merestui hubungan itu karena mereka berbeda kepercayaan. Sayangnya hubungan mereka juga terlalu bebas, sampai lahir Lissa … sahabat saya yang depresi akhirnya juga jatuh sakit dan pergi untuk selamanya."

"Apa orang tuanya tak mau menerima cucunya itu?" tanya Surya keheranan.