webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Penguntit

Henny tertawa ringan mendengar pertanyaan Hargus. Iya, dia memang benar menawari Hargus untuk menginap di rumahnya. Ada kamar yang memang biasa dipakai khusus untuk tamu.

"Iya. Aku benar menawarimu menginap di rumahku. Aku tidak tinggal sendiri, ada seorang pembantu juga di rumah, jadi aman," kata Henny ringan.

Hargus termangu. Ia melirik jam tangan. Sudah lewat jam 9 malam. Mencari kendaran umum pasti sudah tak ada.

"Tapi aku bisa pesan ojek online," ucapnya berusaha menolak tawaran Henny.

"Aku tahu rumahmu cukup jauh. Apa saldomu cukup?" tanya Henny tanpa basa-basi.

"Jangan begitulah, Bu Boss. Masa aku menginap di rumah seorang wanita yang …"

Ucapan Hargus dipotong oleh Henny. "Hei, kamu bilang tadi aku ibumu. Jadi tak apa," ucapnya dengan nada ringan. Benar-benar tak ada rasa sungkan.

"Tapi nanti bagaimana dengan tanggapan orang-orang, atau bagaimana kalau pegawai kafe yang lain tahu?" tanya Hargus.

Henny kembali tertawa. "Tanyalah pada mereka, siapa saja yang sudah pernah menginap di rumahku," katanya.

"Maksudnya? Bu Boss sering membawa pegawai laki-laki menginap di rumahmu?!" tanya Hargus tak percaya sekaligus gusar.

"Aku tak seburuk yang ada dalam pikiranmu. Maksudku, kalau ada pegawai yang pulang kemalaman atau tak bisa pulang ke rumahnya, mereka biasa singgah dan menginap di rumah. Cuma itu," terang Henny.

"Oh syukurlah, aku pikir Bu Boss melakukan aneh-aneh," ucap Hargus dengan lugunya.

"Hargus, aku baik-baik saja, Mamamu ini baik selalu. Tenang saja," ujar Henny sambil turun dari mobil. "Bagaimana? Mau menginap?" tanyanya lagi.

Hargus masih gamang. Ia terdiam dan berpikir. Tak sengaja ekor matanya menangkap lewat spion bayangan mobil lain yang berhenti tak jauh dari rumah Henny. Hatinya berdesir. 'Rupanya dia mengikuti kami,' batinnya.

Hargus tanpa ragu-ragu melompat turun dari mobil. "Oke, aku tetap di sini," ucapnya.

Mata Henny berbinar. "Benarkah? Kamu mau menginap di sini semalam?" tanyanya.

"Ya, tentu saja. Bagaimana kalau tidak hanya semalam?" Pemuda itu balik bertanya. Sudut matanya sesekali melirik mobil silver yang mengikuti mereka.

"Oh tidak. Aku cuma menawarimu semalam, jangan coba memanfaatkanku," ujar Henny. Perempuan itu sudah terlatih untuk baik pada semua orang tapi dia menetapkan batasannya sendiri.

Hargus merangsek maju dan mendorong Henny ke samping mobil hingga tak terlihat dari jalan raya.

"Gus! Apa yang kamu lakukan? Jangan kurang ajar!!" bentak Henny.

Hargus cepat meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Sssst! Lihat mobil silver itu, dia mengikuti kita!" bisik Hargus.

Henny melihat ka arah yang ditunjukkan Hargus. Jantungnya berdetak kencang. "Di-dia mengikuti kita?!" tanyanya terbata-bata. Nyalinya menciut lagi. "Apa maunya dia?" gumam Henny.

Hargus mengangkat bahunya. "Aku nggak tahu, tapi sebaiknya kita terus berjaga-jaga dari dia."

Henny mengangguk. "Sekarang kita harus bagaimana?" tanyanya sedikit panik.

"Selama ada aku semuanya aman, Bu Boss tenang saja," kata Hargus. "Sekarang kita masuk dan awasi dia dari dalam."

Henny mengerti apa yang direncanakan Hargus. Tanpa berkata-kata lagi ia menarik tangan pemuda itu dan menggandengnya masuk ke rumah.

Nuning terlihat cepat membukakan pintu saat Henny mengetuknya. Pembantu rumah tangga itu tak terkejut melihat ada orang yang pulang bersama Henny. Hanya saja, melihat tangannya yang digandeng Henny, hatinya jadi bertanya-tanya.

"Mbak …?" Nuning bertanya hanya dengan matanya yang melirik pada Hargus.

"Oh, pegawai kafe yang baru," jawab Henny pendek. "Kenalkan, Hargus," katanya.

Hargus tersenyum pada Nuning dan menganggukkan kepala sedikit. "Hargus," ucapnya dengan elegan.

Nuning mengamati pemuda tampan di depannya itu. Ia sedikit terpesona dengan penampilannya yang dingin.

Henny buru-buru menyenggol lengan Nuning. "Sudah, biasa saja lihatnya bisa 'kan?" gerutunya.

Nuning tersenyum malu. "Maaf, habis ganteng sih, Mbak," ucapnya polos.

Hargus tampak tak peduli. Pikirannya masih tertuju pada Sandy yang masih mengawasi rumah itu dari pinggir jalan. Ia melirik lampu ruang tamu yang menyala.

"Matikan lampunya," katanya.

"Lampu apa?" tanya Nuning bingung.

Hargus mendongakkan kepalanya ke arah lampu besar di ruangan itu. "Lampu ruangan ini, matikan saja," ulangnya lagi.

Tak mau lama menunggu Nuning, Henny melangkah ke dinding tempat saklar lampu dan langsung mematikannya.

"Kenapa dimatikan?" tanya Nuning yang masih belum paham.

"Ssstt! Sudah diam saja. Ada yang mengikutiku di luar," jelas Henny.

Dalam kegelapan mulut Nuning melongo, ia nyaris tak percaya. "Ya ampun, ada apa??"

***

Dari arah jalan raya, Sandy terus mengawasi kelakuan Henny dan Hargus. Ia berpikir mereka berdua memang memiliki hubungan dekat walaupun beda umur jauh.

"Sialan. Dasar perempuan tak jelas! Dia meninggalkanku dan membawa pulang bocah ingusan itu," gumam Sandy dari belakang kemudi mobilnya.

"Ah sudahlah, apa untungnya juga aku mengejar dia," gumamnya lagi. "Tapi, aku merasa tertantang. Dia sudah menjatuhkan martabatku sebagai seorang laki-laki."

Sandy mengetuk-ngetuk kemudi dengan jemarinya. "Hmm, aku akan membuatmu menyesal karena telah menolakku," gumamnya lagi.

Lelaki dewasa itu tampak berpikir dan mengatur siasat. Diraihnya ponsel yang berada di saku bajunya.

"Aku harus mengabari Bayu dulu," ucapnya lagi.

Sandy mencari kontak Bayu dan menekan tombol untuk menghubunginya.

"Hallo, Bay. Aku sudah menemui adikmu, tapi aku gagal makan malam dengan dia," ucapnya mulai bercerita.

Bayu terdengar agak terkejut lalu menanyakan apa alasannya.

"Aku nggak tahu, dia tiba-tiba mengeluh pusing dan pergi begitu saja," jawabnya.

Bayu kembali bertanya, di mana Sandy sekarang berada.

"Aku di depan rumah adikmu. Aku mengikuti dia untuk memastikan dia baik-baik saja, karena tadi mengeluh pusing. Tapi …" ucapan Sandy terpotong, membuat Bayu penasaran. 'Tapi apa?' tanyanya.

"Dia pulang bersama pemuda tanggung, mereka kelihatan dekat. Pemuda itu masuk ke dalam rumah," ucap Sandy berlagak seperti seorang intel.

Bayu agak terkejut mendengar penuturan Sandy. 'Yang benar?' tanyanya.

"Benar. Pemuda itu berkacamata. Usianya mungkin belum ada 20 tahun, tapi mereka … terlihat dekat dan intim, apa mungkin adikmu …" ucapan Sandy kembali menggantung.

Bayu kembali terkejut. 'Nggak mungkin adikku macan-macam begitu, dia anak baik-baik.'

Sandy tertawa aneh, sumir terdengar di telinga. "Tapi nyatanya aku menjumpai mereka berdua begitu. Dan mungkin malam ini pemuda itu menginap di rumah adikmu," imbuhnya lagi.

Bayu tampak tak percaya dengan omongan Sandy, di sisi lain ia merasa malu sekaligus bertanya-tanya kenapa Henny bertindak di luar dugaannya. Dia hanya berinisiatif untuk mempertemukan mereka.

'Oke, terima kasih. Nanti aku cross cek sendiri,' kata Bayu.

Sandy segera mengakhiri pembicaraan dan menutup ponsel genggamnya. "Rasakan. Sekarang keluargamu akan mengintrogasi kalian, hehehe," ucap lelaki itu sambil tertawa terkekeh.

Sandy membuka kembali pesan yang dikirimkan oleh Bayu. Ia melihat foto Henny dan terus mengamatinya. Ia merasa pernah bertemu dan mengenalnya, tapi dia sendiri lupa kapan.

"Siapa sebenarnya dia? Aku penasaran padanya bahkan sejak melihat fotonya saja," ucapnya sambil menggelengkan kepala. "Tak masuk akal."

Lelaki itu kembali mengawasi rumah Henny. Tentu saja ia tahu ada Hargus ada di dalam sana. Ia menunggu kapan pemuda itu keluar. Akan tetapi yang ditunggunya tak kunjung keluar setelah berjam-jam.

Sandy memutuskan untuk pergi. Ia menghidupkan mobilnya dan perlahan meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan lelaki bertampang dingin itu terus berpikir. Pertemuan pertamanya dengan adik dari teman kerjanya itu terasa janggal.

"Menurutku dia biasa saja. Lumayan cantik memang, yang jelas punya usaha sendiri yang sukses. Hmm, tapi kenapa aku seperti sudah mengenalnya ya? Dan aku makin tertarik untuk menaklukkannya!" gumamnya.

"Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuat aku penasaran," kata Sandy lagi.

"Aku harus bisa menundukkannya!" ucapnya lagi.

Sandy menginjak gas dan mobil itu melaju dengan kencangnya. Jalanan kota Malang sudah sedemikian sunyi dan sepi. Warung-warung tenda yang bertebaran di pinggir jalan terlihat mulai tutup. Sementara lampu-lampu pertokoan sudah lama dipadamkan.