webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Negosiasi Alot

"Bah, Abah …" Deden berusaha membangunkan Rudi yang ketiduran di kursi penumpang di sampingnya. Yang dipanggil hanya menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih terpejam.

Deden kembali memanggil. "Abah, ada telepon masuk dari tadi, apa tidak dengar?" tanyanya.

Rudi memicingkan matanya sedikit. "Telepon?" ulangnya.

"Iya, dari tadi ada yang telepon. Mungkin penting, apa tidak diangkat saja?" ulang Deden lagi.

Rudi geragapan mencari ponsel di tas selempang yang dibawanya. Benda itu tersembunyi di antara tumpukan barang-barang yang dibawanya.

Setelah menemukannya ia membuka dan melihat 33 tanda panggilan masuk. Kalau bukan perkara penting pasti tak akan dihubungi berulangkali begitu. "Telepon balik tidak ya?" tanyanya pada Deden.

Si sopir mengangkat bahunya. "Saya tidak tahu, Bah. Pokoknya mah nanti setelah sampai di rumah, saya kembalikan mobil ini ke pemiliknya dan saya mau sembunyi. Saya tak mau terlibat di kasus penculikan ini," ucap Deden setengah takut.

"Kamu takut?" tanya Rudi pendek.

"Ya, takutlah, Bah. Kalo saya dikejar-kejar polisi, terus yang mau kasih makan anak istri saya nanti siapa?" Pertanyaan Deden cukup masuk akal.

Namun Rudi sepertinya tak bergeming dengan pilihannya. "Tenang saja, nanti semuanya juga saya selesaikan baik-baik," janjinya.

"Ehm, Bah. Ngomong-ngomong kenapa anak itu diam saja sejak masuk mobil kita?" tanya Deden heran. Lissa memang langsung tertidur begitu masuk di mobil mereka. Tindakan yang sejauh ini mendukung upaya penculikan itu. Anak itu tidak rewel sama sekali. Dia pulas tertidur di kursi penumpang belakang.

Rudi tertawa kecil. "Kamu seperti tidak tahu aku saja. Membuat anak itu tertidur hal yang sangat mudah bagiku, biar pekerjaan kita tidak repot bukan?" ujarnya.

"Oh, iya iya … saya lupa Abah punya kemampuan semacam itu," ucapnya.

"Ya, tapi saya jarang menggunakannya, untuk keperluan darurat saja." Rudi menjelaskan lagi kalau apa yang diperbuatnya beralasan.

"Apa yang akan Abah perbuat pada anak itu nanti?" tanya Deden lagi. Sampai saat itu dia belum bisa menebak apa yang direncanakan oleh Rudi, guru spiritualnya itu.

"Aku ruwat dia. Aku usahakan dia tidak lagi kejar-kejar bayangan yang menakutkan lagi. Biar dia bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan. Anak sekecil ini terlalu kasihan jika mengingat semua itu sejak dini," jelas Rudi sambil mengelus cambang putih di dagunga.

Deden mengangguk-anggukan kepala. Sisi lain perbuatan Abah Rudi yang kadang tak diterima nalar orang kebanyakan, sebenarnya sosoknya sangatlah bijaksana dan bertanggung jawab. Sudah puluhan tahun Deden mengikuti gurunya itu.

Dering telepon kembali terdengar. Kali ini Rudi mengangkatnya. Terdengar suara keras dan galak dari orang yang menelepon di ujung sana.

Rudi menjauhkan benda itu dari telinganya. "Aduh, galak amat," ujarnya dengan tenang, tak takut sedikitpun.

"Siapa, Bah?" bisik Deden bertanya.

Rudi mengangkat jari telunjuknya, menyuruh sopirnya itu diam dulu.

"Iya, Hallo. Iya benar, saya Rudi yang datang ke rumah ibu kemarin," jawabnya.

Orang yang menelepon langsung menanyakan kebaradaan Lissa. Rudi mendengarkannya, tapi tak langsung menjawab. Setelah didesak berapa kali, ia baru ia mengatakan bahwa Lissa ada bersama dia.

Suara di ujung telepon berganti dengan suara seorang laki-laki.

"Anda jangan macam-macam ya! Saya segera laporkan Anda ke kantor polisi!" ancam si penelepon.

Rudi terdiam saat mendengar suara laki-laki yang meneleponya itu. Ia memejamkan mata sebentar kemudian menggumam, "Tuan Muda Hansen."

"Apa? Anda bilang apa tadi??" Surya yang berada diujung telepon mengulang pertanyaanya.

Rudi tersadar, tuan mudanya belum menyadari bahwa dirinya adalah Hansen, tuan mudanya dulu. Sekarang namanya adalah Surya, seorang lelaki pekerja kantoran.

"Oh, tidak apa-apa, Pak. Bapak tenang saja. Saya akan mengurus anak ini baik-baik. Sebentar saja saya pinjam, nanti kalau sudah sembuh saya kembalikan," jawab Rudi.

Surya tak percaya dengan omongan Rudi. "Apa maksud Anda sebenarnya? Kenapa melakukan hal yang aneh begitu? Anda tak takut dipenjara?" tanyanya mengancam lagi.

Dia benar Tuan Muda Hansen. Akan keluar galak dan tegasnya kalau sudah kepepet.' Bisik hati Rudi alias Cak Karto.

"Saya berjanji, akan saya kembalian anak ini, Pak. Bapak tenang saja. Saya cuma ingin menolong dia." Rudi masih teguh dengan pendiriannya.

Surya mulai kehabisan kata-kata. "Sekarang tolong katakana Anda ada di mana? Sekarang juga saya akan kejar Anda. Kembalikan anak itu sekarang!!" bentak Surya dengan kasar.

"Sabar, Pak. Sabar. Saya tak ada niat buruk sama sekali. Saya juga tahu cara salah, cuma saja saya tak menemukan cara lain selain harus begini." Rudi berusaha membela diri.

"Kalau begitu katakan, sekarang Anda di mana!!" bentak Surya lagi.

"Ini saya sudah mau sampai rumah, Pak," jawab Rudi dengan santai. Benar saja, mereka memang sudah memasuki wilayah Sukabumi dan berada di area persawahan yang luas.

"Titik lokasinya dimana? Katakan cepat!!" ucap Surya.

"Sukabumi, Pak. Bapak tahu Sukabumi 'kan? Ya, itulah saya berada di sini sekarang," jelas Rudi. "Bapak susul saja kalau mau, tapi dengan syarat mau menuruti permintaan saya." Rudi rupanya mengajak bernegosiasi.

"Berapa? Kalian mau uang tebusan berapa?" tanya Surya dengan kesal. Dia berpikir Rudi adalah geromboloan penculik yang menginginkan uang tebusan dari Lisa.

Rudi tak menjawab, ia malah tertawa. "Saya tak butuh uang Bapak. Saya cuma ingin menolong anak ini untuk membalas budi baik pada orang tua di masa lalunya," tuturnya.

Jawaban Rudi membuat Surya kebingungan sejenak. Kenapa penculik itu juga berbicara tentang masa lalu? Tentang kehidupan yang sudah lewat dan tentang orang-orang yang seharusnya tak perlu lagi diingat atau dikenang lagi?

"Bapak bingung? Saya bisa jelaskan, Tapi tolong bersabarlah, tak usah marah-marah. Dari awal sudah saya jelaskan ke ibu Gita, saya hanya ingin menolong anak ini. Itu kewajiban saya," ungkap Rudi.

Surya mulai bisa menguasai dirinya. "Baiklah, saya ikuti kata Anda. Tapi ingat, kalau ada apa-apa terjadi pada Lissa, Bapak akan berurusan dengan saya dan menyesal seumur hidup!" ancam Surya lagi.

"Ya, Pak. Tenang saja. Pegang omongan saya. Saya akan kembalikan anak ini utuh dan sehat, bahkan lebih baik lagi." Rudi berjanji pada Surya.

Surya kemudian menanyakan detil lokasi tempat tinggal Rudi di Sukabumi. Ia mengatakan akan datang menyusul ke sana sekarang juga.

Telepon ditutup. Negosiasi yang alot itu akhirnya menemukan titik temu.

Rudi menyimpan kembali teleponnya di dalam tas. Lelaki itu menggerak-gerakkan lehernya hingga berbunyi gemertak. Ia merasa lelah tiga hari mencari Lissa dan menguntitnya di rumah Surya.

"Lihat, berhasil 'kan? Semuanya akan baik-baik saja," ucap Rudi pada Deden.

"Iya, Abah. Aku percaya pada Abah. Tapi tetap, nanti saya akan sembunyi setelah mengantar Abah. Saya tak ikut campur urusan pelik ini," ujarnya.

"Oke, tidak masalah. Bisa saya hadapi sendiri," kata Rudi. Luar biasa sekali ketenangan yang dimiliki oleh lelaki misterius itu.

Di kursi penumpang belakang, Lissa tampak menggeliat sebentar, tapi kemudian ia tertidur lagi.