webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Mencari Abah Rudi

"Ma-maaf, Pak. Bapak tidak lihat tadi?" ucap Rachmat tergagap.

"Lihat apa?" tanya Surya berusaha tenang.

"Nenek tua tadi? Saya tengok dia lewat kaca spion, dia berubah jadi pocong, terus jalan menyeberang," jawab Rachmat. Wajahnya masih tegang.

"Ah masa sih? Kamu sih, udah dipesenin jangan tengok belakang malah nengok," ujar Surya. Dia sendiri sudah merasakan keganjilan saat berbincang dengan nenek itu.

"Habisnya saya 'kan penasaran, Pak," sahut Rachmat.

"Lha tadi kamu sendiri yang habis ceramah, kalau di tempat orang harus sopan santun dan macem-macem," ketus Surya. Ia sedikit kesal dengan rekan seperjalanannya itu. Sudah nggak sampai-sampai, sekarang malah ditakut-takuti.

"Gimana ya, Pak. Kalau di desa-desa begini memang suka seram, banyak cerita-cerita aneh," ujar Rachmat. Ia masih berusaha menghilangkan keterkejutannya dengan mengajak Surya berbicara. "Pak Surya tadi beneran tidak curiga dengan nenek tua itu?" tanyanya memancing lagi.

Surya menjawab pendek. "Nggak!" padahal jauh di lubuk hatinya ia tahu ada yang ganjil dengan sosok yang tadi ditemuinya di jalan. Nenek itu menunjukkan rumahnya yang dekat dari situ. Surya tadi melirik sekilas, yang di lihat adalah area kuburan di tengah sawah.

"Sudah, sudah, kita lanjutkan perjalanan sampai di desa depan itu. Kita mampir sebentar di mushola atau masjidnya, lantas kita tanya-tanya orang di sana," pungkas Surya. Ia tak ingin memperpanjang urusan yang aneh itu.

"Ya, Pak. Begitu lebih baik," balas Rachmat sambil membetulkan posisi duduknya. Ia mengambil botol air minum yang dibawanya. "Bapak mau minum?" tawarnya pada Surya.

"Nanti saja," jawab Surya pendek.

Kendaraan berhenti di depan sebuah masjid yang berada persis di pinggir jalan. Mereka berdua turun dan ikut melaksanakan sholat magrib. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Itulah prinsip hidup yang selalu diingat Surya. Ia menyesuaikan diri dengan adat masyarakat tempat mampir agar bisa diterima oleh mereka.

Selesai melaksanakan sholat, beberapa orang mendekati Surya dan Rachmat. Mereka berdua kemudian bercerita kalau sedang menuju ke desa Bojongkoneng.

"Ada keperluan apa ke sana, Mas?" tanya seorang bapak berkopyah putih.

"Saya hendak ketemu dengan Pak Rudi," jawab Surya. Tapi ia tidak menceritakan perihal penculikan dan segala macam. Ia ingin sewajarnya saja dalam misinya menemukan Lissa.

"Rudi … Rudi … Rudi yang mana ya?" Bapak tua itu justru bertanya pada orang-orang yang berkerumun.

"Ciri-cirinya seperti apa?" tanya lelaki berbaju batik.

Rachmat menceritakan sosok Rudi, sejauh yang dia ingat. "Ia suka memakai pakaian seperti pendekar, celana gombrang warna hitam. Kalau tidak salah ia suka pakai ikat kepala juga. Orangnya belum terlalu tua, mungkin menjelang 60 tahun," jelas Rachmat.

"Oh, Rudi yang sering pakai baju jawara? Pakai ikat kepala? Itu pasti si Abah," kata bapak tua yang pertama.

"Iya, iya … pasti dia. Biasa orang-orang dari jauh mencari dia untuk minta bantuan," ucap bapak berbaju batik. "Urusan apa Mas Mas ini mencari Abah?" tanyanya.

"Oh, anu … sedikit urusan saja. Iya, kami mau minta bantuan dia," jawab Surya cepat. Ia menyenggol tangan Rachmat supaya diam saja dan tak menyinggung perkara penculikan. Intuisi Surya mengatakan, Rudi memang bukan orang sembarangan di wilayahnya. Ia harus bersikap hati-hati.

Orang-orang mengangguk-angguk dan mengerti dengan penjelasan Surya.

"Semoga urusannya cepat beres ya, Mas. Abah di sini terkenal memiliki kemampuan yang tak biasa. Orang sakti beliau," jelas seorang bapak yang sedari tadi ikut menyimak.

"Iya, terima kasih," ujar Surya pendek. Ia yang semula ingin mencari dukungan untuk mengejar penculik Lissa itu, kini mulai menebak-nebak, apa sebenarnya maksud Rudi menculik anak kecil itu. Apa benar hendak meruwat atau ia bisa menyembuhkan kebiasaan aneh Lissa?

Rachmat menatap Surya. "Ayo jalan lagi, Pak. Mumpung belum terlalu malam, tinggal melintasi satu dusun lagi," ujar Rachmat.

"Ayo! Terima kasih semuanya, kami permisi dulu," ucap Surya berpamitan pada orang-orang desa.

Kendaraan roda empat itu kembali melaju. Sepanjang jalan keduanya diam saja. Ada sedikit rasa tegang karena sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat tujuan.

"Rachmat, apa menurutmu kita perlu membawa senjata?" bisik Surya lirih.

Pemuda itu terkejut mendengar pertanyaan Surya. "Hah? Senjata apa, Pak?"

"Saya punya pistol di mobil, apa perlu kita bawa?" tanya Surya serius.

Rachmat bengong. "Ish, kalau pistol jangan lah, Pak. Kalau kelepasan, nanti bisa jadi panjang perkara," ujarnya.

"Tapi bagaimana, kalau terpaksa? Ingat kita akan berhadapan dengan penculik anak kecil." Surya mempertahankan pendapatnya. Ia siap bertarung dengan Rudi demi Lissa, kapan saja.

"Saya bawa ini saja, Pak," ungkap Rachmat sambil memamerkan belati kecil yang ia sembunyikan di ikatan sabuk perutnya.

Surya nyaris tertawa. Senjata sekecil itu mana bisa menghadapi musuh?

Rachmat melihat Surya yang tersenyum mengejeknya.

"Bapak menertawakan saya? Jangan salah, ini belati sakti, sekali ia keluar dari sarungnya, ia bisa melukai musuh dan mengenai sasarannya dengan tepat. Ini senjata warisan keluarga saya," bisik Rachmat dengan muka serius.

Surya tak bisa menyembunyikan rasa gelinya. Ia pun tertawa terbahak.

"HAHAHA! Rachmat, Rachmat … senjata sekecil itu bagaimana mungkin bisa menghabisi musuh yang sudah berani-beraninya menculik anak orang. Sudahlah saya bawa pistol saja. Sudah kadung sampai sini," tukasnya.

Rachmat terdiam. "Terserah Pak Surya saja deh. Yang penting ponsel tetap kitab awa, ada apa-apa langsung bis acari bantuan dan share location," ujar Rachmat.

"Nah, tumben kamu pintar. Kali ini saya setuju," ucap Surya memuji Rachmat.

Penjaga rumah Sayap Kasih itu cuma melengos. Ia menghormati Surya, hanya saja setelah melalui perjalanan yang berat, sesekali ia ingin bersikap seperti layaknya sahabat dekat.

Surya pun tampaknya tak keberatan. Ia masih menahan tawa dengan kepolosan dan kelucuan Rachmat.

Kendaraan terus bergerak. Rumah yang mereka tuju sudah terlihat di depan mereka, sorot lampu mobil jelas memperlihatkan bentuk rumah yang khas desa itu.

Rumah Rudi cukup luas, dikelilingi oleh halaman dan pekarangan yang juga luas. Halaman depan rumah tampak sudah di semen dengan rapi, di sana Surya memarkir mobilnya.

Beberapa lelaki berpakaian hitam-hitam sudah menunggu mereka di teras rumah. Semuanya memakai pakaian jawara. Wajah mereka bersiaga.

Surya dan Rachmat saling berpandangan. "Gawat, Mat. Mereka ada banyak. Kita cuma dua orang!" bisik Surya.

Wajah Rachmat terlihat menegang. "Iya, Pak. Pasti mereka anak buahnya si Rudi. Kita harus bagaimana?" tanyanya.

"Turun. Temui mereka. Tetap waspada dan hati-hati," pesan Surya.

"Sebentar saya share lokasi tempat ini ke Mbak Gita," bisik Rachmat. Surya setuju.

"Aduh, sinyalnya kecil. Sampai tidak ini pesannya ya?" keluh Rachmat.

"Harus sampai, Mat. Kalau terjadi apa-apa pada kita, polisi akan cepat menemukan lokasi ini," ujar Surya. Ia sendiri kemudian mengeluarkan ponselnya.

"Sudah, pakai ponsel saya saja. Mungkin sinyalnya lebih kencang," katanya.

Benar saja, perangkat elektronik Surya yang terbilang lebih bagus bisa digunakan dengan baik. Ia segera mengirimkan pesan pada Sarah dan Gita.

Surya menyampaikan kalau ia sudah sampai, dan menyuruh mereka menunggu perintah darinya. Jika dalam waktu 3 jam tidak ada lagi kabar darinya. Mereka harus segera melaporkan kasus itu ke kantor polisi.

Surya dan Rachmat meloncat turun dari mobil. Ketegangan mulai terasa memenuhi udara malam itu. Bulan sabit tampak temaram menggantung di langit timur.