webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Lajang Bahagia

Sementara itu di Kota Malang, di sebuah tempat bernama Kafe Tulang.

Tempat nongkrong ini terbilang unik karena berada di dalam lokasi pekuburan. Tempat yang didatangi oleh Surya saat ke Malang terakhir kali.

"Bu Boss, besok liburan mau ke mana?" tanya seorang pegawai kafe Tulang pada Henny.

Yang ditanya hanya mengangkat kacamatanya sebentar. "Kemana ya? Kemana saja boleh," jawabnya asal-asalan.

"Bu Boss nggak pergi jalan-jalan?" tanya staf yang lain.

"Uhm, nggak tau. Lihat besok sajalah." Henny kembali menekuni buku laporan keuangan kafe.

Beberapa bulan terakhir ini kafe cukup ramai. Rombongan yang mengambil acara wisata malam juga semakin banyak. Semua itu membuat Henny dan dan anak buahnya melewati hari-hari yang sibuk dan nyaris tanpa beristirahat.

Bagian personalia kemudian menyarankan kafe untuk tutup sementara dan mengambil liburan. Tidak bagus jika terus-terusan dipaksa bekerja.

Sebagai pemilik kafe, Henny menyetujuinya. Wanita yang sudah berusia di atas 40 tahun itu sering dipanggil 'Bu Boss' oleh anak buahnya. Sebabnya tentu saja karena ia majikan mereka, orang yang menggaji mereka.

Henny bukanlah boss yang biasa. Ia memiliki pendekatan yang unik untuk bisa merangkul semua anak buahnya. Ia menganggap semua pegawai dan staf di kafe itu sebagai keluarganya. Ia memperlakukan mereka seperti adik-adik atau keluarganya. Sifat dan perilaku Henny yang santai membuat orang-orang betah bekerja dengannya.

"Besok kamu mau naik ke Bromo, apa Bu Boss nggak mau ikut?" tanya seorang pegawai berkaos hitam.

"Ke Bromo ya? Ahh, nggak lah. Capek, dingin. Sudah pernah ke sana," jawab Henny menjelaskan alasannya.

"Terus nggak mau ke mana-mana? Apa tetap jaga kafe ini?" tanya yang lain penasaran.

"Iya, mungkin aku akan tetap di sini. Kalian pergi liburan saja, jangan khawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja," ucap Henny dengan lembut.

"Tapi nggak enak kalau Bu Boss nggak ikut pergi," ujar yang lain.

"Hmm, kalian yang enak kalau aku ikut, aku yang nggak enak karena harus traktir kalian semua, hehehe!" ucap Henny bercanda.

"Hahaha! Benar juga sih, Bu Boss. Maka dari itu kami mengajak Bu Boss ikut," jawab jujur pegawai berkaos hitam.

"No. No way … kali ini tidak ya, kalian pergi saja. Nanti aku subsidi untuk ongkos jalan-jalannya, minta sama bagian keuangan. Jangan khawatir," ujar Henny.

Mendengar perkataan boss nya, anak-anak kafe itu meloncat kegirangan. "Asyik, rek! Jalan-jalan ditraktir Bu Boss," ujar mereka.

Henny tersenyum saja melihat tingkah polah anak buahnya itu.

Seorang lelaki berumur sekitar tiga puluhan tahun mendekatinya. Lelaki itu adalah Ronny. Ia manajer yang dipercayai oleh Henny. Tapi baru-baru ini ia mengajukan resign. Ia akan pindah ke kota Surabaya, karena diterima bekerja sesuai bidang keahliannya.

Henny sedih tapi tidak keberatan manajernya itu resign, karena karirnya akan meningkat dan mendapatkan pengalaman baru di tempat barunya nanti.

"Bu Boss, aku di sini 3 hari lagi. Kalau Bu Boss memang besok tak mau pergi ke mana-mana, aku akan menemani di sini," ujarnya.

"Hei, tak apa-apa, Ronny. Aku nggak mau pergi karena besok ada janji dengan calon pegawai yang baru. Calon manajer baru penggantimu," jelas Henny.

"Oh, begitu. Sudah dapat kandidatnya Bu Boss?" tanya Ronny penasaran. Ia juga penasaran ingin melihat calon penggantinya nanti seperti apa.

"Ada beberapa orang, tapi aku cari yang memiliki passion kuat di kopi, sama sepertimu. Biar dia betah dan sungguh-sungguh kerja di sini," ungkap Henny.

"Aduh, aku jadi gimana ya Bu Boss, jadi nggak enak sudah mengajukan resign," ujar Ronny.

"Lho, kalau kasus kamu aku malah suka. Kamu mau berkembang, bekerja sesuai keahlianmu di bidang yang kamu sukai." Henny tersenyum pada Ronny yang masih tampak gundah di depannya.

"Atau kamu yang berat meninggalkan kami?" tanya Henny.

"Iya, Bu Boss. Berat sekali rasanya, tempat ini sudah seperti rumah kedua saya. Semua yang di sini baik dan bersahabat, terutama Bu Boss," ungkap Ronny jujur.

"Sudah jangan terlalu memuji, nanti aku besar kepala," potong Henny sambil menyunggingkan senyuman.

Malam sudah semakin larut, Para pegawai sudah berpamitan pulang satu-satu. Tinggal Ronny dan Henny yang berada di kafe. Rumah Henny memang tak jauh dari tempat itu. Ia biasa pulang paling malam setelah kafe rapi dan semua urusan keuangan beres.

"Kamu nggak pulang pulang?" tanya Henny saat melihat Ronny masih nongkrong di kursi depan kafe.

"Aku nunggu Bu Boss," katanya.

"Alah, nggak usah ditunggu aku biasa pulang sendiri, Itu rumahku sudah dekat, kelihatan dari sini," kata Henny menunjuk rumahnya. Sebuah rumah yang besar dikelilingi pagar tinggi berpadu dengan pagar hidup.

"Ya, aku tahu. Ayo aku antar pulang," ajak Ronny.

Henny menghentikan jalannya. Tak biasanya Ronny bersikap sedekat itu padanya.

"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba perhatian padaku?" tanya Henny curiga. Tapi tetap denga sikap jenakanya.

"Aku mau curhat Bu Boss." Akhirnya Ronny mengungkapkan alasannya.

"Sudah kuduga. Ayo kita kemana, cari tempat ngobrol yang asyik," ajak Henny.

Ronny mengajak Henny ke rumah makan lesehan yang buka sampai pagi hari di tengah kota. Henny setuju saja. Mereka berdua naik mobil Henny ke tempat itu.

Waktu hampir tengah malam, tapi suasana di tengah kota masih terlihat ramai. Ada saja orang yang berjalan-jalan atau sekedar keluar mencari angin segar.

"Ayo kamu mau curhat apa?" tanya Henny pada Ronny sambil menyemil makanan pesanan mereka yang sudah datang.

"Begini. Bu Boss tahu kan aku akan segera pindah kota, tapi aku berat meninggalkan kota ini. Aku punya alasannya sendiri." Ronny mengawali ceritanya.

"Karena cewek?" tebak Henny langsung.

"Lho, kok Bu Boss tahu?" tanya Ronny heran.

"Anak café 'kan? Si Dita?" ujar Henny sambil tersenyum lebar. Tentu saja dia mengetahui seluruh gossip anak buahnya.

"Iya, Bu Boss. Wih, sudah kayak intel saja ini Bu Boss, bisa tahu segalanya," ujar Ronny.

Henny tertawa kecil. "Ya tahu lah, 'kan yang juga suka curhat sama aku, termasuk si Dita," jelas Henny santai.

Obrolan mereka sangat santai dan cair, tak tampak seperti atasan dan bawahan, malah seperti teman akrab.

"Dita juga pernah curhat sama Bu Boss?" tanya Ronny heran.

Henny mengangguk. "Iya, beberapa kali dia curhat sama aku. Ah cerita kalian rupanya cerita cinta segitiga ya! Ahaha" ujar Henny tertawa.

Ronny menunduk. "Bu Boss benar-benar sudah tahu ya kisah aku, Ditta dan Malik," ucapnya.

Henny mengangguk. "Iya aku tahu. Kamu berat melepaskan Dita karena masih sayang dia, tapi Dita memilih untuk menerima Malik sebagai pacar barunya."

Ronny menunduk. "Kalau diceritakan susah lah pokonya Bu Boss," ujar lelaki berambut keriting itu.

"Susahnya di mana?" tanya Henny. Ia menyesap secangkir teh yang sudah tidak terlalu panas.

"Saya juga dulu yang salah sudah menyia-nyiakan kepercayaan Dita. Saya menyukai teman dia, padahal saya masih pacaran sama dia. Dia mengetahuinya kemudian memutuskan saya. Saya memutuskan teman dia. Dia jadian sama Malik, sesama anak kafe," ungkap Ronny.

Henny mengangguk-angguk kepalanya. "Rumit yah? Karena itulah saya malas main cinta-cintaan seperti itu," ujar Henny.

"Hmm, maaf Bu Boss. Memangnya nggak ingin menikah atau berumah tangga? Semuanya sudah dimiliki, bisnis juga sudah jalan, mau nunggu apalagi?" tanya Ronny heran.

"Aku sudah lewat masa-masa galau sebagai lajang. Nyatanya aku lebih suka sendiri. Sendirian lebih enak, tak ada beban. Bebas mau apa saja," jelas Henny.

Ronny mengangguk. Memang sih, jaman modern seperti sekarang memilih melajang seumur hidup juga bukan hal aneh lagi. Orang bebas menentukan hidupnya sendiri mau seperti apa.

"Coba kalau aku saat ini memiliki suami, pasti aku tak bisa bersamamu tengah malam begini, saling ngobrol dan cerita-cerita begini," ujar Henny lagi, mencari alasan.

"Jujur jawab, apa Bu Boss tidak pernah jatuh cinta?" tanya Ronny. Ia tertarik dengan kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh boss perempuannya itu.

"Jatuh cinta? Apa itu cinta?" Henny balik bertanya.

"Apa Bu Boss pernah dikecewakan laki-laki?" tanya Ronny hati-hati.

Henny menggeleng. "Tidak, aku pernah jatuh cinta tapi hatiku berkata aku tak bisa bersamanya. Aku juga tak tahu, rasanya setiap kali memiliki pacar, habis itu cepat bosan. Tak ada yang membuatku bisa berkomitmen."

Ronny mencoba memahami Henny. "Gitu ya? Berarti Bu Boss belum ketemu yang tepat saja," ucapnya.

"Dan aku khawatir, ketika ketemu yang tepat, itu semua sudah terlambat," kata Henny.

"Terlambat bagaimana?" tanya Ronny.

"Ya terlambat, keadaannya tak memungkinkan lagi untuk diubah."

Obrolan mereka terus berlanjut hingga larut malam.

"Jadi apa yang bisa aku bantu untuk hubunganmu dan Dita?" tanya Henny pada Ronny.

"Tak ada Bu Boss, sepertinya pintu hati Dita sudah tertutup. Makanya saya memilih pergi daripada harus melhat dia setiap hari dengan Malik," beber Ronny sambil menarik nafas panjang.

"Oke aku paham. Kuatkan hatimu anak muda. Siapa tau saat melihat kamu sukses, si Dita akan berpaling lagi padamu," ujar Henny.

Ronny mengangguk. "Doakan yang terbaik sajalah Bu Boss."

"Oke," jawab Heny sambil menyesap tetes terakhir teh nya.

"Minumanku sudah habis? Kita pulang?" tanyanya pada Ronny.

"Iya, ayolah. Sudah mau pagi ini. Terima kasih sudah mau mendengarkan curhatku," kata Ronny.

"Iya, aku sudah menganggapmu sebagai adikku, masa aku tak mau mendengar keluh kesahmu," ujar Henny.

"Iya, terima kasih. Oh ya, pertanyaan terakhir. Apa Bu Boss bahagia hidup sendiri? Maaf kalau pertanyaanku menyinggung," ujar Ronny lagi.

Henny tertawa. "Hehehe. Sudah banyak yang bertanya begitu padaku, aku jawab. Bahagia atau sedih itu kita sendiri yang ciptakan. Mau hidup sendirian kalau kita memilih bahagia ya akan bahagia. Mau hidup berkeluarga tapi kalau kita merasa tak bahagia buat apa?" ujar Hennya sambil beranjak ke mobilnya.

"Ayo, aku antar kamu pulang."

***