webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Keselong!

"Bagaimana, Pak?" tanya Gita pada Surya. Ia dan semuanya yang ada di situ masih diliputi kecemasan akibat hilangnya Lissa.

"Benar Lissa diculik si Rudi itu. Mereka membawanya ke Sukabumi," jawab Surya. Lelaki itu memejamkan matanya sebentar sambil berpikir.

"Saya akan ke sana sekarang," ucapnya.

"Saya ikut, Pak!" kata Sarah istrinya.

"Kami juga ikut, Pak!" Gita dan Rachmat berbicara berbarengan.

Surya menggelengkan kepala. "Tidak, biar saya selesaikan urusan ini sendiri, tampaknya ada hal lain selain upaya penculikan yang tak beralasan ini. Dan itu sangat terkait dengan saya. Jadi, harus saya yang ke sana," jelas Surya.

"Tapi kita tidak tahu dia orang baik atau jahat. Bagaimana kalau dia orang yang berbahaya?" ujar Gita mengingatkan.

"Benar, Ayah. Jangan ke sana seorang diri." Kali ini Sarah yang tak rela suaminya pergi sendirian.

"Begini saja. Pak Surya pergi dengan saya. Saya juga yang salah sudah memberikan informasi yang disalah gunakan oleh si Rudi itu," ucap Rachmat. "Ya, Pak? Biarkan saya menebus kesalahan saya dengan menemani Pak Surya ke tempat penculik itu."

Surya tampak berpikir sejenak. Ia kemudian mengangguk kecil. "Baiklah, Rachmat ikut dengan saya. Sarah dan Gita, tolong siap-siap lapor ke polisi jika dapat kabar kurang baik dari saya," ujar Surya.

"Iya, Pak Surya. Begitu lebih baik. Kita berbagi tugas karena masalah ini bukan hal biasa, ini terkait dengan keselamatan seorang anak," ungkap Gita.

Akhirnya semua bersepakat. Surya pergi ditemani Rachmat. Gita dan Sarah bersiap melaporkan kasus itu ke kantor polisi jika ada perkembangan yang kurang baik.

"Hati-hati, Yah." Sarah mengingatkan Surya yang mulai bersiap pergi. Lelaki itu sedang mengecek ketersediaan bensin mobil dan keperluan lain.

"Ya, Bu. Tenang saja. Ayah akan membawa pulang Lissa," jawab Surya dengan yakin. "Jaga rumah baik-baik ya. Oh ya, Bella. Jangan ijinkan dia pergi-pergi dulu," pesan Surya pada istrinya.

"Ya, Ayah. Tadi Pak RT mengabarkan kalau sekarang beberapa warga menjaga rumah kita," ujar Sarah.

Surya tampak lega. "Oke, semuanya baik kalau begitu. Ayah dan Rachmat pergi dulu ya!" pamit Surya pada istrinya. Mereka berpelukan sebentar.

Rachmat sudah meloncat ke dalam mobil dan duduk di kursi samping sopir. "Atau saya yang menyetir, Pak?" tanyanya menawarkan diri.

"Tidak usah. Nanti saja pulangnya kalau saya sudah lelah. Sekarang yang terpenting kita bisa cepat sampai di lokasi si Rudi," jawab Surya.

"Siap, Pak!" ucap Rachmat sambil mengangkat tangan kanan dengan pose siap.

***

Roda ban mobil terasa bergoncang-goncang saat melewati jalanan berbatu yang tak rata. Waktu sudah menunjukkan sore hari saat mereka tiba di daerah yang ditunjukkan oeh Rudi. Medan yang sulit dan jalanan yang kurang bagus membuat perjalanan mereka menjadi lebih lama.

"Pak Surya, kok saya merasa kita berputar-putar saja di tempat ini ya? Sudah beberapa kali kita melewati tempat ini dan kembali ke sini lagi," ujar Rachmat. Ia mulai was- was.

"Benarkah? Tapi saya mengikuti petunjuk yang ada di gadget ini. Sudah benar jalan yang kita tempuh ini. Cuma kenapa tak sampai-sampai ya?" Surya bertanya balik. Sekarang ia baru menyadari. Benar juga apa yang tadi dikatakan Rachmat.

"Apa kita tersesat?" tanya Surya curiga.

"Hmm, sepertinya bukan tersesat biasa, Pak. Tapi ada yang sengaja menyesatkan kita," ujar Rachmat.

"Maksudnya bagaimana ya?" tanya Surya belum paham.

"Kita disesatkan oleh makhluk yang nggak kelihatan, Pak. Jadinya muter-muter saja di sini," jawab Rachmat. "Kita baca-baca doa yuk, Pak!" ajaknya.

"Kamu percaya dengan hal yang gaib seperti itu?" Surya kurang suka dengan kesimpulan Rachmat. Jaman modern begini masih percaya hal mistik seperti itu.

"Gimana ya, Pak? Percaya nggak percaya sih. Tapi nyatanya kita sudah berjam-jam muter-muter saja di tempat ini, kalau tidak segera menemukan jalan keluar, kita bisa terjebak di sini sampai malam." Perkataan Rachmat ada benarnya juga. Surya menatap langit yang mulai lembayung senja dan matahari yang tampak semakin memudar di ufuk barat. Tak lama lagi tempat itu akan menjadi gelap.

"Baiklah, ayo kita berdoa. Minta diberikan petunjuk pada Yang Maha Kuasa agar bisa keluar dari jalanan ini," ujar Surya menyetujui.

Mereka berdua kemudian komat-kamit mmbaca doa dengan khusyuk. Rachmat membaca doa-doa yang teramat panjang dan tak dimengerti oleh Surya. Lelaki paruh baya itu diam saja dan menunggu Rachmat selesai berdoa.

Ada mungkin sekitar sepuluh menit Rachmat berdoa. Akhirnya ia mengucapkan 'Aamiin' dan mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya.

"Sudah, Pak Surya. Ayo kita jalan!" ucapnya.

Surya menyalakan mobil kembali. Roda ban bergerak lagi, anehnya kali ini jalanan terasa tak terlalu bergelombang. Seperti di atas jalanan tanah atau yang aspalnya tipis saja. Tak ada lagi jalanan berbatu yang menggoncang kendaraan itu. Mereka melaju dengan mulus.

"Kok jalannya jadi berbeda ya? Tadi kasar banget, sekarang seperti umumnya jalanan di desa," ujar Surya keheranan.

"Ya, Pak. Berarti benar itu tadi kita 'keselong', muter-muter saja di jalanan jelek itu," kata Rachmat yakin.

"Keselong, apa itu Mat?" tanya Surya tak mengerti. Sebagai orang yang sejak kecil lahir dan tinggal di ibu kota, ia sama sekali tak mengenal hal-hal mistis semacam itu.

"Keselong, nama lainnya kesambet, Pak," jelas Rachmat. "Jadi kita dibawa ke alam bangsa lelembut, tanpa kita sadari. Untung bisa keluar, Pak. Aduh, lama juga kita sadarnya," ucap Rachmat. Satu nafas panjang dihembuskannya. Ia merasa lega bisa keluar dari sana.

"Saya masih nggak percaya hal yang begituan," ucap Surya.

Rachmat tertawa. "Pak Surya ini lucu, kita baru saja mengalaminya, masa Bapak nggak percaya dengan apa yang dialami Bapak sendiri?" kata Rachmat.

Surya diam saja. "Fokus pikiran saya ke Lissa, Mat. Mana saya kepikiran kita sedang dipermainkan makhluk tak kasat mata," elak Surya.

"Ya, ya. Saya paham, Pak. Orang yang kalut dan pikirannya sedang kosong memang mudah diperdaya semacam tadi," jelas Rachmat.

"Kita bahas itu nanti lagi saja ya. Lihat, sudah semakin gelap dan kita masih jauh dari desa yang kita tuju," ucap Surya.

"Pak Surya yakin jalan yang kita lalui ini benar menuju lokasi?" tanya Rachmat mengingatkan.

"Kalau lihat di map gadget ini, benar ini jalan ke arah sana," tukas Surya yakin.

Adzan suara magrib terdengar berkumandang bersahut-sahutan dari masjid masjid yang ada di dekat lokasi mereka.

"Sudah magrib rupanya, Mat." Surya berkata sambil menengok ke Rachmat yang ada di sebelahnya.

"Iya, Pak. Cepat sekali, tak terasa ya," balasnya. "Apa kita berhenti dulu, Pak?" imbuhnya.

"Jangan berhenti, kita harus cepat sampai ke sana sebelum semakin gelap," kata Surya.

"Tapi, Pak … saya pernah mendengar kalau saat magrib begini sebaiknya kita berhenti dulu. Tidak boleh keliaran di jalanan begini, apalagi di tempat yang tak belum pernah kita rambah." Rachmat berharap Surya mau menghentikan kendarannya sejenak.

"Mitos lagi, Mat?" tanya Surya setengah mencandai Rachmat.

"Hehehe … iya, Pak. Tapi terserah Bapak sih, saya ikut saja," ujarnya.

"Hmm, baiklah. Saya juga khawatir alat ini tidak berfungsi di jalanan desa begini. Kita tanya ke orang-orang saja apa jalan yang kita lalui ini benar menuju ke tempat si Rudi," ujar Surya pada akhirnya.

"Baik, Pak. Kita tanya orang saja," kata Rachmat. Itu di depan ada orang lewat. Kita tanya saja dia," sarannya saat dilihatnya di jalan depan mereka ada sosok yang baru saja melintas.

Surya menghentikan mobilnya saat sudah bersisian dengan sosok yang dilihatnya sedang melintas di pinggir jalan.

"Permisi, Nek. Boleh kami bertanya?" tanya Surya ramah. Ia menurunkan kaca pintu mobil.

Orang yang ditanya menengok dan tersenyum ramah. "Ya, Nak. Ada apa?" tanyanya ramah.

"Kami mau ke desa Bojongkoneng, apa masih jauh dari sini?" tanya Surya menjelaskan tempat tujuannya.

"Oh, Bojongkoneng ya. Masih jauh, Nak. Lurus saja ikuti jalan ini. Jangan belok-belok lagi, nanti kalau sudah ketemu pasar di kanan jalan, baru ambil jalan belok kanan ya," jawabnya.

"Lurus sampai ketemu pasar terus belok kanan ya?" ulang Surya.

Nenek itu mengangguk. "Benar, hati-hati di jalan ya, sudah malam," pesan nenek-nenek itu.

"Ya, Nek. Terima kasih. Nenek mau ke mana? Kalau jauh ikut mobil saya saja, biar saya antar." Surya menawarkan bantuan, ia merasa kasihan pada nenek-nenek yang magrib begini masih berada di jalanan. Mungkin dia habis ada keperluan dan pulangnya kemalaman. Kasihan sekali tak ada keluarga yang menjemput atau mengantar.

"Hihihi … terima kasih, Nak. Saya cuma nyebrang jalan. Rumah saya dekat situ kok, silakan lanjutkan lagi perjalanannya," jawab nenek itu. "Jangan tengok ke belakang ya," pesan nenek itu.

Surya seperti tersihir. Ia mengangguk dan kemudian mengemudikan kendaraannya lagi. Ia juga mematuhi perintah nenek itu agar tak menengok lagi ke belakang.

Tapi rupanya Rachmat penasaran. Tak lama setelah mobil melaju, ia mencuri pandang ke kaca spion di luar mobil. Spontan ia berteriak. "Astagfirullahal'adzim!!"

Surya terkejut. "Ada apa, Mat?? Jangan suka mengagetkan orang begitu!"