webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Kesedihan Ibu Ali

"Mas! Lihat TV sini!" ucap Dewi dengan suara dikeraskan. Ia sedang menonton tayangan infotainment saat melihat berita Lissa muncul.

"Ada apa sih?" tanya Dimas kurang berminat. Ia baru saja bersiap hendak berangkat ke tempat kerjanya. Di tangan kirinya tampak ditentengnya sepatu yang belum dipakai.

"Itu lihat! Bukankah itu Lissa? Cucu Ibu? Keponakan kita?" tanya Dewi heboh. "Dia barusan diadopsi. Sekarang dia punya orang tua angkat yang sah," jelas Dewi.

Dimas meletakkan sepatunya dan diam mengikuti berita. Diperhatikannya dengan seksama orang-orang yang ada di berita itu.

"Iya, benar. Keponakan aku sudah diadopsi orang kaya," ujar Dimas datar.

Dewi menoleh pada suaminya. Ia heran kenapa suaminya tampak kurang tertarik pada berita itu.

"Kenapa Mas Dimas tampak kurang suka?" tanyanya.

Dimas menggeleng. "Aku sudah menghubungi Mbak Gita, tapi tanggapannya kurang bagus. Dia tak lagi menjawab pesan yang aku kirimkan," jawab Dimas.

Dewi ikut termenung. "Apa Mbak Gita masih marah dengan keluarga kita?" tanyanya hati-hati.

Dimas mengangkat bahunya. "Aku nggak tahu. Dia juga sama sekali tak memberi kabar pada kami setelah Bapak menolak menerima jenazah almarhumah Mbak Yanti."

Keduanya terdiam lama. Masalah yang mereka hadapi memang pelik, mereka berdua hanyalah pasangan muda yang tak memiliki kekuatan atau pengaruh, juga belum memiliki banyak pengalaman.

"Tapi bagaimana dengan keinginan Ibu? Beliau masih sangat berharap bisa bertemu langsung dengan Lissa," ucap Dewi.

"Sudahlah tak usah terlalu dipikirkan, kalau ada jalannya nanti pasti juga bertemu," ujar Dimas. Ia mengambil tas kecil yang biasa dibawanya. "Aku berangkat dulu, sayang," pamitnya pada Dewi.

"Ya, Mas. Hati-hati ya. Nanti aku ngobrol pelan-pelan dengan Ibu," ucap Dewi.

"Ya, terima kasih, istriku," ucap Dimas sambil tersenyum kecil.

Dewi pun membalas senyuman suaminya. Rumah tangga pasangan belia yang bahagia.

***

Benar saja, tak berapa lama setelah Dimas berangkat, ibunya mendatangi rumah anak dan menantunya itu. Raut mukanya terlihat sedih dan muram.

'Pasti ibu habis digunjingkan oleh ibu-ibu rumpi lagi,' batin Dewi.

"Ibu kenapa? Kok sedih gitu?" tanya Dewi bersimpati. Anak bayinya yang ada di gendongannya berceloteh tak jelas saat eyangnya itu datang.

"Apa kamu sudah mendengar berita itu, Nduk?" tanyanya. "Berita cucuku yang diangkat anak orang," kata Bu Ali.

Dewi sudah bisa menebak arah pembicaraan. Ibu mertuanya itu datang untuk membicarakan hal itu.

"Iya, Bu. Aku sudah dengar, baru saja tadi ada di beritanya di TV," jawab Dewi.

"Menurutmu bagaimana, Nduk?" tanya Ibu Ali. Ia membutuhkan orang yang bisa diajaknya berbicara.

"Bagaimana seperti apa yang Ibu maksud?" Dewi balas bertanya. Ia tak mau menyinggung perasaan orang tua itu, maka dipilihnya kata-kata dengan hati-hati.

"Ibu sedih tak bisa ketemu Lissa, mungkin juga tak akan pernah ketemu dia. Sekarang dia sudah jadi anak angkat orang. Ibu-ibu itu bilang, orang tua Lissa orang kaya, orang berkedudukan. Ibu pikir pasti akan susah untuk orang seperti Ibu menemui cucu Ibu sendiri," curahan hati Bu Ali terlepas tanpa bisa ditahan lagi.

"Kita tak pernah tahu, Ibu. Bagaimana kalau orang tua angkat Lissa orang yang baik? Mereka tak memandang status, kalau mereka tahu Lissa memiliki keluarga kandung, tentu mereka akan mengijinkannya bertemu," ucap Dewi. Ia berusaha menentramkan mertuanya.

"Ibu menyesal, kenapa dulu tidak berjuang menolong Yanti. Ibu menurut saja apa kata Bapakmu itu. Semuanya malah berakhir seperti ini. Anak perempuanku hilang, cucuku juga diambil orang," ujar Bu Ali menahan emosinya.

"Ibu sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, Tak perlu diungkit-ungkit lagi, tak ada gunanya juga. Masa lalu tak mungkin kembali lagi," ucap Dewi dengan bijak.

"Kadang-kadang Ibu bertanya-tanya, dosa besar apa hingga hidup ibu nelangsa begini. Padahal kita umat yang taat, semua perintah agama dilakukan, tapi … yang terjadi tak sesuai harapan," keluh perempuan itu lagi.

Dewi terdiam. Ia tak mau menggurui ibu mertuanya dengan ceramahnya. Ia tahu posisinya sebagai anak mantu yang masih dianggap kecil.

Dewi mengambil ponselnya untuk mengalihkan perhatian. Ia membuka halaman akun sosial media Lissa. Perempuan itu berharap kesedihan ibu mertuanya berkurang jika melihat foto-foto dan video cucunya.

"Ibu mau melihat Lissa cucu Ibu? Ini foto-foto dan videonya …" ujar Dewi sambil menyerahkan gawainya.

"Ya, Nduk. Ibu mau melihatnya," jawabnya senang.

Diperhatikanya satu persatu gambar Lissa, tertawanya, cerianya, dan tingkah-tingkah lucunya. Bu Ali tersenyum dan sesekali tertawa kecil.

"Dia mirip sekali dengan Yanti saat kecil," ucapnya.

"Iya, Bu. Wajahnya juga mirip, hanya saja yang Lissa rambutnya pirang, anak bule," kata Dewi. Jauh di lubuk hatinya ia bangga memiliki keponakan yang pintar dan terkenal seperti Lissa. Tapi apalah daya, kehidupan mereka berbeda jauh, dinding pemisah yang tebal seolah memisahkan mereka sejak awal.

Di teras rumah, tanpa diketahui oleh Bu Ali dan Dewi, Pak Ali lama termenung di sana. Ia sedang lewat sepulang dari masjid dan mendengarkan curhatan istrinya.

Hatinya yang keras mulai goyah, sejahat itukah ia pada keluarganya? Anaknya mati, istrinya menderita tekanan batin karena terpisah dari anak kesayangannya, dan kini cucu yang tak pernah diakuinya itu diambil orang yang tak dikenalnya.

'Apakah yang aku yakini selama ini salah? Jika benar, kenapa aku bisa jadi manusia yang sejahat itu pada keluargaku sendiri?' Bermacam pertanyaan bermunculan di kepala Pak Ali.

'Di usiaku yang sudah hampir kepala 6, apakah aku sudah bisa bersikap baik? Jika baik, kenapa istriku seringkali menangis diam-diam di belakangku?'

'Lalu anak kecil itu, apakah aku harus mengakuinya sebagai cucuku? Bukankah ia terlahir dengan cara yang salah dan orang tuanya menanggung dosa yang tak terampuni? Aku mengikuti keyakinan yang aku anggap benar, tapi kenapa sisi lain hatiku tidak tenang, gelisah. Seperti ada yang salah tapi aku tak tahu yang mana …'

***

"Eh, Bapak ada di sini? Masuk, Pak!"

Dewi kaget mengetahui ternyata mertua lelakinya sedang duduk di kursi teras rumahnya.

Pak Ali lebih-lebih lagi kagetnya. Ia tadinya tak akan berlama-lama di sana dan biasa langsung masuk ke rumahnya sendiri.

"Oh iya, Wi. Barusan pulang dari masjid, panas. Jadi cari angin dulu di sini," jawab Pak Ali beralasan. Dikibaskannya sajadah yang tersampir di pundaknya.

"Bapak masuk ke dalam rumah saja. Ada Ibu di dalam," ujar Dewi menawarkan.

Pa Ali berdiri. "Tidak usah, sudah mau pulang saja," ucapnya.

Lelaki itu kemudian berlalu dari teras rumah anak dan menantunya. Ia pulang ke rumahnya sendiri yang hanya berjarak 5 meter.

Dewi kembali masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Ibu Ali sedang tidur bersama anaknya di lantai yang sudah dialasi kasur.

"Ibu ngantuk? Tidur di kamar saja?" tanya Dewi. Ia masih gamang dalam bersikap saat menghadapi mertuanya yang saling berseteru.

"Sudah di sini saja, Nduk. Sebentar lagi juga Ibu pulang kalau Bapakmu itu sudah pulang. Dia selalu mencari Ibu kalau mau makan siang," ujarnya.

"Ehm, Bapak barusan sudah pulang, Bu. Baru saja lewat depan rumah Dewi," katanya.

Ibu Ali geragapan bangun. "Sudah pulang ya? Kalau begitu Ibu pulaang dulu ya, Nduk." Wanita itu bergegas keluar dan pulang ke rumahnya, menyusul suaminya.

Dewi menatapnya dengan pandangan iba. Ibu mertuanya adalah istri yang sangat baik, ia menuruti semua perkataan suaminya. Bapak mertuanya pun orang baik, ia disegani oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya karena ilmu agama yang dimilikinya. Tak disangka dibalik itu mereka menyimpan kesedihan yang teramat dalam.

Perempuan muda itu menarik nafas panjang. Dunia oh dunia.