webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Kakek dan Nenek Kandung

Di sebuah rumah model lawas, di kota kecil wilayah Jawa bagian tengah, sepasang suami istri yang yang sudah menjelang usia lanjut tampak sedang berbincang-bincang. Mereka seperti membicarakan hal yang penting, tampak dari cara mereka berbicara yang seperti saling berbisik.

"Pak, aku nggak enak sekarang kita jadi omongan orang sekampung," keluh si Ibu yang mengenakan pakaian tertutup berwarna coklat.

"Memangnya ada apa to?" si Bapak tua menanggapinya dengan kalem.

"Anaknya Yanti, sekarang jadi terkenal. Fotonya ada di mana-mana, orang mulai bergunjing tentang kita," ujar si Ibu.

Si Bapak tua yang tadinya sedang sibuk membersihkan cincin akiknya menghentikan aktivitasnya. Mendengar kata 'Yanti', raut mukanya berubah mengeras.

"Sudah, Bu. Tak usah menyinggung dan mengingat-ingat anak durhaka itu lagi," ucapnya menahan emosi.

"Tapi, Pak … darah dagingnya si Yanti artinya cucu kita, mau bagaimanapun dia keluarga kita," ujar si Ibu. Ia masih berusaha membujuk suaminya agar mau bersikap melunak.

"Sekali saya bilang tidak selamanya tidak. Saya tak mau lagi mendengar atau menerima semua hal yang berkaitan dengan anak tak tahu diuntung itu," serapahnya tanpa bisa dibendung.

Si Ibu menunduk sedih. Sebagai seorang ibu, apapun yang diperbuat anaknya bisa dimaafkannya, karena ia tahu persis bagaimana anak itu lahir dan dibesarkan, bagian dari dirinya sendiri. Tapi hanya karena cinta yang berbeda keyakinan, anaknya itu melarikan diri dari rumah. Ia minggat bersama dengan orang bule yang disebut suaminya sebagai orang 'kafir'.

Si Yanti, anak cantik kesayangannya itu kemudian seolah dihapuskan dari daftar kartu keluarga mereka selamanya. Bahkan saat anak itu meninggal setelah melahirkan, bapaknya tetap tak mau menerima jasadnya. Entah di mana anak itu dikuburkan. Setiap kali mengingat hal menyakitkan itu, si Ibu akan menangis diam-diam. Hatinya sakit sekali.

Bertahun-tahun ibu yang malang itu menyimpan kesedihannya sendiri. Suaminya, Pak Ali, mungkin memiliki hati yang sekeras batu, susah sekali melunakkan egonya. Sampai kemudian, para tetangganya, ibu-ibu yang jauh lebih muda darinya memberinya kabar bahwa cucunya sekarang menjadi orang terkenal.

"Bu Ali, coba lihat anak ini, bukankah ia mirip sekali dengan si Yanti?" tanya seorang ibu yang berambut keriting sebahu. Kala itu mereka sedang duduk-duduk di teras rumah Bu RT.

"Mana, coba lihat?" tanggap Bu Ali. Matanya yang sudah kurang awas tampak lama mengamati gambar yang baginya terlalu kecil itu. Tapi memang benar, di foto itu ia melihat gambar seorang bocah yang sangat mirip dengan anak perempuan kesayangannya, Yanti. Hanya rambutnya saja yang berwarna beda. Rambut bocah itu berwarna coklat, bukan hitam seperti orang kebanyakan.

"Bagaimana, Bu? Mirip sekali bukan?" ujar si Ibu pemilik ponsel canggih itu. Di tempat mereka, tak banyak orang yang memiliki peralatan canggih seperti dia, kalaupun ada hanya memiliki kuota internet yang terbatas untuk melihat video atau gambar.

Bu Ali mengangguk. "Iya, mirip. Senyumnya sama dengan Yanti saat seusia dia," ujarnya.

Ibu-ibu lain tampak menaruh minat pada bagaimana respon ibu tua itu selanjutnya. Mereka mulai memancing pertanyaan kenapa keluarganya tak mau menerimanya.

"Pak Ali sama sekali belum mau mengakui dia sebagai cucunya?" tanya Bu RT prihatin.

Bu Ali menggeleng. "Sama sekali tak mau, baginya bocah kecil itu anak haram. Padahal setahu saya tidak begitu. Yanti pernah bercerita, kalau pacarnya yang bule itu memang tak mau mengikuti agama kami, hanya saja, mereka menikah pun secara resmi. Entah bagaimana saya tak tahu. Salahnya dia, tak meminta restu kami, jadi Bapaknya menganggap dia anak durhaka," cerita Bu Ali membuka masa lalu anaknya.

Ibu-ibu mendengarkan dengan prihatin.

"Padahal harusnya enak ya, punya mantu bule, pasti mereka kaya raya," cetus seorang ibu berkaos putih hadiah sebuah merk mie instan.

Bu Ali menggeleng. "Tidak begitu. Yanti bercerita, pacarnya orang biasa saja, sama saja seperti yang lain. Mungkin malah terhitung susah. Dia dikeluarkan dari tempat kerjanya di Jakarta, tak lama setelah Yanti mengandung. Ia kemudian pulang ke negerinya tanpa membawa istri dan anaknya." Seperti memutar cerita film kesukaan, Bu Ali mengulang lagi cerita tentang Yanti anaknya. Air matanya mulai menetes, ia menyusutnya dengan ujung jarinya.

"Kasiah sekali. Padahal anak ibu terkenal cantik dan jadi kembang desa di sini, tak tahunya nasibnya begitu," ujar ibu berkaos itu lagi prihatin.

"Sudahlah, tak perlu mengingat-ingat dia. Semua sudah takdir yang digariskan oleh Gusti Allah," ucap Bu Ali mencoba bijak.

"Iya, Bu. Yang sabar dan kuat ya. Ibu kalau ingin melihat cucu yang jauh, bisa melihatnya lewat in-ter-net," jelas si ibu pemilik ponsel itu bersimpati.

"Iya, Mbak Sari. Matur nuwun. Siapa namanya?" tanya Bu Ali penuh minat.

"Namanya Lissa Bu, ya 'kan ibu-ibu?" ujar ibu itu.

"Lissa … Lissa … nama yang singkat tapi bagus, mudah-mudahan sebagus nasib hidupnya kelak," gumam Bu Ali.

Ibu-ibu saling berpandangan.

"Lissa tinggal di rumah singgah, Bu. Semacam rumah asuhan, bersama dengan anak-anak terlantar lainnya," kata seorang ibu yang masih muda. Ia sepertinya kelepasan bicara.

Ibu-ibu yang lain menatapnya tajam dan menyuruhnya diam. "Ssssst!"

Ibu muda itu mengkeret dan mengunci mulutnya rapat-rapat.

Tapi sudah terlanjur, Bu Ali sudah mendengarkannya. Hancur hatinya mengetahui cucunya tinggal di rumah singgah. Dalam pikirannya rumah itu pasti tak layak dan jauh dari kata cukup. Bagaimana kalau cucunya itu sering tak makan?

Tak lama ibu-ibu yang sering berkumpul dan ngerumpi itu membubarkan diri. Sebagian beralasan karena sudah siang dan banyak kerjaan rumah, yang beralasan ingin menjemput anak.

Bu Ali pulang dari sana dengan hati yang berat dan perasaan sedih bertumpuk.

Hingga akhirnya keesokan harinya ia memberanikan diri berbicara pada suaminya.

***

"Pak, aku mau kita menengok anak itu, cucu kita, darah daging anak kita," ucap Bu Ali dengan air mata bercucuran. "Aku tak tahan lagi …" isaknya.

Melihat istrinya menangis, mau tak mau Pak Ali terdiam dan merenung. Ia mempertimbangkan berat mana antara kepercayaan yang dia pahami dengan perasaan kasihannya.

"Si Yanti sudah melakukan dosa yang tak terampuni, Bu. Ia sudah murtad, kita tak bisa menolongnya. Mungkin kita sendiri juga akan terseret ke neraka gara-gara anak durhaka itu," jelas Pak Ali. Wajahnya terlihat kaku dan menyimpan amarah.

"Pak, aku ndak tau jalan pikiranmu. Yang aku tahu, si Yanti itu anakku, anaknya yang bernama Lissa itu cucuku. Titik." Bu Ali kali ini berani berbicara dan terus mempertahakan pendapatnya.

"Bu, sejak kapan kamu berani melawan aku, hah?! Apa kamu mau durhaka juga seperti anak itu??" Emosi Pak Ali mulai terpancing. Ia marah dengan kelakuan istrinya yang tak menurut.

Bu Ali tak menjawab, ia menekuk wajahnya dan terus menangis. "Yanti, maafkan Ibu, Nduk. Ibu tak bisa menolongmu, kini tak bisa juga menolong anakmu, huhuuu…" Bu Ali tergugu. Tangisannya menyayat hati.

"Sudah, Bu. Diam atau aku pergi??" kata Pak Ali dengan marah. Hatinya benar-benar sudah membatu. Perasaannya tak bergeming melihat istrinya yang menangis sedih, sangat sedih.

Lelaki tua itu terlihat keluar rumah dan meninggalkan istrinya yang menangis. Ia tak peduli. Sementara Bu Ali terus meratapi nasib anak dan cucuku.

Menantu perempuannya datang tergopoh-gopoh menenangkannya. Ia mendengar tangisan ibu mertuanya dari rumahnya yang hanya bersebelahan.

"Ibu, sudah, Ibu. Tenanglah …" ujarnya sambil memeluk perempuan tua itu.

"Bapakmu, Nduk. Entah sampai kapan hatinya sekeras batu," ucap Bu Ali diantara isak tangisnya.

"Sudah, Bu. Sudah … tak usah dipikirkan lagi. Memangnya kenapa Ibu sampai menangis begini?" tanya Dewi, menantu perempuan Bu Ali, istri dari adik lelaki Yanti.