webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Ingin Bertemu

"Ibu mendengar, anaknya Yanti tinggal di panti asuhan … Oh alangkah kasihannya. Ibu ingin melihat dia, walaupun hanya sekali, sebelum ibu mati," ucap Bu Ali saking sedihnya.

"Astaghfirullah, Ibu nggak boleh bilang begitu, Bu. Hidup dan mati itu kuasa Allah," ujar Dewi.

"Iya, Nduk. Ibu ngerti … tapi apa gunanya hidup kalau …" Bu Ali tak sempat meneruskan bicaranya. Dewi cepat memotongnya. "Sudah, Bu. Tak usah berkata-kata yang buruk lagi ya. Kita pikirkan saja bagaimana supaya keinginan ibu bisa terwujud," bujuk Dewi pada ibu mertuanya.

"Kamu setuju dan mau menerima jika Ibu ingin bertemu dengan anaknya Yanti, Nduk?" Bu Ali seolah mendapat secercah harapan mendengar ucapan menantunya itu.

Dewi tersenyum. "Tentu saja saya setuju, Ibu. Mana mungkin kita menghalangi seorang nenek yang ingin bertemu dengan cucu kandungnya," ujarnya bijak.

Bu Ali memeluk Dewi. "Matur nuwun, Nduk. Kamu masih muda tapi pikirianmu sudah dewasa," ucapnya.

Dewi tersenyum malu. "Bukankah ibu yang mengajari saya?" tanyanya sopan.

Kedua perempuan itu berangkulan.

"Nanti saya bicarakan dulu dengan Mas Dimas ya, Bu. Semoga dia menemukan solusi untuk Ibu," ucap Dewi.

Bu Ali mengangguk. "Benar, kalau Bapaknya tidak mau, setidaknya adik lelakinya masih peduli," harapnya.

"Mas Dimas selalu peduli, Bu. Baginya Mbak Yanti tetap kakaknya, meskipun sekarang tidak tahu di mana keberadaannya," ucap Dewi prihatin.

"Nduk, apa kamu belum pernah dengar? Mbak Yanti sudah meninggal, tak lama setelah dia melahirkan anaknya. Tapi Bapakmu itu tak mau menerima dia, tak tahu dia dikuburkan di mana …" Bu Ali bercerita tapi tatapan matanya kosong.

Kali ini Dewi yang bengong mendengarnya. "Jadi sudah meninggal …" ulangnya. "Lalu anaknya bagaimana?"

Simpati Dewi muncul berkali lipat saat mendengar berita tentang kakak iparnya.

"Itulah yang bikin Ibu sedih, Nduk. Dari ibu-ibu, mereka cerita katanya keponakanmu itu sekarang tinggalnya di rumah singgah atau panti asuhan. Ibu sedih sekali mendengarnya … Padahal dia punya kakek dan nenek yang masih hidup, punya keluarga yang bisa mencukupi kebutuhannya," ujar Bu Ali. Ia mengeluarkan semua isi hatinya pada menantunya itu.

"Iya, Bu. Saya paham sekarang. Terus, keponakan saya itu sekarang tinggal di mana, Bu?" tanya Dewi.

"Di Jakarta, Nduk. Yanti dulu juga merantau dan bekerja di ibu kota, sebelum bertemu dengan pacarnya yang orang bule itu," terang Bu Ali.

Dewi terdiam mendengar cerita ibu mertuanya. Ternyata jalan hidup orang memang berbeda-beda. Kakak iparnya berbeda jauh dengan adiknya, suaminya yang cenderung penurut dan tak neko-neko. Dimas suaminya tipe anak mama, ia tak pernah bisa jauh dari ibunya. Tak pernah ingin bekerja jauh atau meninggalkan rumahnya.

"Nanti saya ngomong ke Mas Dimas dulu ya, Bu. Semoga dia bisa mencari keberadaan anak Mbak Yanti," tukas Dewi.

"Matur nuwun, terima kasih ya, Nduk. Ibu sangat berharap bisa ketemu dengan Lissa," ujar Bu Ali. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. 'Selalu ada harapan asalkan mau berusaha,' kata hatinya.

***

Malamnya, Dewi mengajak ngobrol Dimas, suaminya. Seharian tadi ia lelah bekerja menjadi petugas operator di pabrik tak jauh dari rumah mereka. Lelaki yang baru berusia dua puluhan tahun itu sedang bermain game di gawainya. Dewi tak mempermasalahkan hobi suaminya itu selagi tanggung jawabnya sebagai seorang suami dilakukan dengan baik. Bayi mereka yang baru berusia satu tahun sudah tertidur pulas setelah puas menyusu ASI.

"Mas, aku mau ngomong," ucap Dewi sambil menyenggol lengan suaminya.

"Hmm ..?" Dimas menjawab singkat, matanya tak beralih dari gawai yang sedang dipegangnya.

"Tadi pagi, ibu nangis-nangis, Mas. Beliau ingin ketemu dengan cucunya, anak dari mbak Yanti," kata Dewi.

Dimas sejenak menghentikan permainannya. "Anak Mbak Yanti?" tanyanya mengulang.

"Iya, namanya Lissa. Umurnya 5 tahun sekarang, dia terkenal di internet kata orang-orang kampung." Dewi menjelaskan.

"Coba ke sini, Lissa yang mana? Kamu tahu?" Dimas balas bertanya pada istrinya.

Dewi ikut memperhatikan foto-foto yang diperlihatkan suaminya.

"Aku nggak tau, Mas. Tapi kata orang-orang, rambutnya pirang, seperti rambut bule," jelas Dewi.

"Ya, aku tahu. Dulu Mbak Yanti pacarana sama orang bule," ujar Dimas. Ia terus memperhatikan foto-foto dengan nama yang sama dengan nama nama keponakannya. Matanya terhenti saat melihat profil organisasi non profit 'sayap kasih'. Video dan foto Lissa bertebaran di sana.

"Apakah ini? Coba perhatikan!" ujarnya pada istrinya. Dewi lebih merapat dan memperhatikan foto-foto dan video itu.

"Iya, Mas. Sepertinya ini yang dimaksudkan, Ibu. Bagaimana, Mas? Apa kita bisa membawa ibu bertemu dengan anak itu?" tanya Dewi berharap.

"Masalahnya pasti Bapak marah sekali kalau tahu kita mencari tahu apalagi bertemu dengan anak Mbak Yanti," galau Dimas pada bapaknya itu.

"Tapi, kasihan Ibu … beliau ingin sekali bertemu, ingin sekali menebus kesalahannya, ibu yang paling terpukul atas semua kejadian yang menimpa Mbak Yanti," ujar Dewi. Dia benar-benar merasa iba pada kakak iparnya itu.

"Iya, aku paham. Coba nanti aku cari jalan keluarnya," tukas Dimas pada akhirnya.

Raut wajah Dewi berbinar mendengar suaminya setuju untuk membantu ibunya.

"Terima kasih, Mas. Kamu benar-benar seorang anak yang berbakti," pujinya tulus.

Dipuji sedemikian rupa oleh istrinya, hidung Dimas kembang kempis bangga.

Tangisan bayi mereka mengundang Dewi untuk cepat-cepat masuk lagi ke kamar. Mungkin anaknya itu sudah haus lagi.

Sementara Dimas, mulai menfollow Sayap Kasih dan mengikuti kegiatan-kegiaatan. Ia mencari cara bagaimana agar bisa mendatangi anak itu.

'Jakarta, hmm … jauh sekali. Aku juga tak punya uang yang cukup untuk ke sana, tapi demi ibu … aku harus berusaha menemukanya,' bisik hati Dimas.

Perhatian Dimas tertuju pada foto Gita yang terpampang di akun sosial media itu. Dimas seperti mengingat sesuatu.

"Mbak Gita … sepertinya aku mengenalnya. Apakah dia teman dekat Mbak Yanti yang dulu pernah diajak main ke rumah mereka saat liburan?" gumamnya. "Ya, tak salah lagi, Pasti dia!"

Saat Gita berkunjung ke rumah mereka, Dimas masih kecil, dia tak terlalu akrab, tapi cukup mengenalnya. Hanya saja, saat itu ia lupa meminta nomer ponselnya. Tak ada satupun anggota keluarganya yang menyimpan nomer pribadi Gita.

Dimas semakin bersemangat menyusun rencana. 'Jika benar pengasuh Sayap Kasih adalah Gita yang dulu pernah ke sini, akan lebih mudah bagiku untuk menemuinya. Semoga dia masih mengingatku.'

Penuh harap Dimas mengirimkan pesan pribadi ke akun Sayap Kasih. Ia memperkenalkan diri sebagai Dimas, adik Yanti, ibu kandung dari Lissa.

Dimas menunggu. Satu jam, dua jam, tiga jam. Pesan itu tak jua kunjung dibalas.

"Ah mungkin belum dibaca, pasti dia sibuk sekali. Atau bukan dia yang jadi admin sosial media Sayap Kasih," ujar Dimas.

"Sudahlah, aku tidur saja. Semoga besok ada balasan," harapnya.

Dimas menarik kain sarungnya dan membaringkan tubuhya di lantai yang beralaskan kasur tipis.