webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Hargus dan Keanehannya

Hari senin kafe mulai buka lagi seperti biasa. Para karyawan yang sudah kembali dari liburannya tampak lebih semangat dalam bekerja. Semuanya tampak ceria dan saling sapa, kecuali satu orang. Ia tampak pendiam dan lebih fokus pada pekerjaannya, kadang tak menghiraukan sekelilingnya. Siapa lagi dia kalau bukan Hargus, si manajer baru.

Beberapa karyawan mulai berbisik-bisik dan bergosip di belakangnya. Hargus tahu, tapi ia memilih cuek. Lebih tepatnya tak peduli. Semua itu tak mempengaruhi kesibukannya membuat racikan kopi yang baru.

Satu-satunya orang yang didengar dan dipedulikan Hargus hanyalah 'Bu Boss, alias Henny.

"Gus, bisa datang ke ruang saya sebentar?" tanya Henny memanggil Hargus.

Tanpa banyak cakap, pemuda itu menghentikan kesibukannya dan datang ke ruang kerja Henny.

TOK TOK

Suara ketukan pintu Hargus sebelum melangkah ke ruangan Henny yang terbuka.

"Masuk saja, Gus," ujar Henny.

"Ya, Bu Boss ada apa panggil saya?" tanyanya dengan tatapan datar.

Henny nyaris ketawa mendengar pemuda tanggung itu memanggilnya 'Bu Boss'.

"Kamu ikut-ikutan anak-anak yang lain memanggil saya dengan sebutan itu?" tanya Henny.

"Ya, ikut-ikutan saja biar sama dengan yang lain," ucap Hargus sambil membetulkan kacamatanya. "Jadi ada apa?" tanyanya lagi.

"Ehm, gini. Setelah aku mencicipi dan coba menjual beberapa kopi racikanmu, ternyata memang rasanya sangat unik dan beda. Aku suka!" puji Henny langsung.

Hargus tersenyum tipis. "Oh ya, terima kasih," ujarnya pendek.

"Aku berencana membuat promo untuk varian kopi yang baru ini, menurutmu bagaimana?" tanya Henny.

"Nggak masalah, itu bagus sekali," ujar Hargus. Ekspresinya masih biasa saja walaupun tau pekerjaannya dipuji dan berhasil dengan gemilang.

"Maksudmu kalau nanti kamu jadi tambah sibuk, apa tidak apa-apa?" tanya Henny ingin meyakinkan Hargus.

"Kenapa mesti tambah sibuk?" tanya Hargus. "Apa kita mau menjulanya secara online?"

Senyum Henny melebar. "Iya, tepat! Aku mau menjualnya secara online. Jadi orang tak harus datang ke sini kalau ingin menikmati kopi kita. Mereka cukup memesannya secara online dan kita akan mengirimkannya lewat kurir," jelas Henny.

"Ya, oke. Dicoba saja. Tapi …" Hargus menghentikan ucapannya.

"Tapi apa?" tanya Henny.

"Kalau aku kerepotan tolong nanti perintahkan beberapa karyawan lain untuk membantuku," tukas Hargus.

Henny menggeleng-gelengkan kepala. "Hargus, kamu itu manajer di sini. Tak perlu menunggu perintahku untuk bisa memerintah karyawan yang lain. Mereka akan menurut," ujar Henny.

Hargus diam sebentar. "Tapi kenyataannya nggak begitu," ujarnya.

"Masa? Apa ada masalah?" tanya Henny heran.

Hargus kembali menggosok kacamatanya. "Bukan masalah sih, hanya saja aku sungkan berbicara dengan mereka semua," ungkapnya.

Kini Henny mengerti persoalanya. Rupanya Hargus belum bisa diterima oleh rekan-rekan sekerjanya.

"Oke, kalau begitu nanti aku kumpulkan mereka dan minta mereka untuk sering-sering menyapamu dan menanyakan kalau kamu perlu mereka," janji Henny.

"Bukan begitu maksudku. Aku ingin mereka mengerti kalau aku kasih kode atau isyarat tangan, jadi aku tak perlu berteriak ke mereka," jelas Hargus.

"Kamu ini memang aneh ya, pastinya perlu memanggil mereka untuk menyampaikan pesanmu. Kamu ini seperti …" Henny memicingkan matanya. Ia seperti merasa de javu tiap kali berhadapan dengan Hargus.

"Seperti siapa?" desak pemuda itu sedikit heran.

"Emm … oh nggak, nggak. Mungkin itu khayalanku saja, maaf," ujar Henny malu.

"Tidak apa-apa. Apa maksud Bu Boss, aku mirip dengan seseorang yang pernah dikenal?" tanya Hargus.

Henny mengangguk. "Ya, aku seperti mengenal dia, tapi aku tak tahu siapa," ungkapnya.

"Apa pernah ketemu dia?" Hargus bertanya lebih detail lagi.

Henny menggelengkan kepalanya. "Nggak. Aku cuma kadang mimpi berulang dan aku melihat dia … seorang anak laki-laki kecil, usianya mungkin sekitar 10 tahun."

"Lalu dia seperti apa lagi dalam mimpimu?" Hargus memajukan kursi duduknya. Ia menaruh minat yang besar pada cerita Henny.

"Tak banyak yang kulihat. Hanya saja, aku merasa dia mirip dengan karaktermu. Pintar, suka belajar, membuat keajaiban-keajaiban dengan kemampuan otak cerdasnya, tapi di sisi lain, dia termasuk anti sosial. Malas menyapa dan bercengkerama dengan orang-orang," terang Henny.

"Apa kau tahu namanya?" tanya Hargus hati-hati.

Henny menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bagaimana aku tahu, itu 'kan Cuma mimpi," ucapnya.

"Lain kali ditanya, atau kau telusuri namanya lewat perasaanmu," saran Hargus.

"Bisakah begitu? Itu cuma mimpi lho, bukan betulan," ujar Henny sambil tertawa. "Masa kita harus percaya mimpi?"

Hargus terdiam. "Tapi kalau itu benar bagaimana? Yang datang ke mimpi kita 'kan memori dari alam bawah sadar, bisa informasinya akurat dalam arti benar, bisa juga sekedar bunga mimpi."

"Hmm, kalau begitu anggaplah itu bunga mimpi saja," tukas Henny yakin.

"Menurutku itu bukan bunga mimpi. Itu adalah pesan yang ingin disampaikan dari masa lalu Bu Boss," ujar Hargus yakin.

"Masa lalu bagaimana?" tanya Henny heran.

"Kehidupan masa lalu kita, kita berperan jadi siapa dan apa kejadian utama yang masih terekam hingga saat ini," jelas Hargus.

"Sudahlah, aku belum paham, tak usah itu dibahas dulu," pinta Henny sambil mengambil ponselnya. Satu pesan masuk baru saja berbunyi.

"Oh, pesan dari Mas Bayu," gumamnya. Dibacanya pesan yang dikirim dengan malas-malasan. Ponselnya lalu ia letakkan lagi dengan asal-asalan.

"Kenapa tidak dijawab?" tanya Hargus yang rupanya jadi kepo.

"Nanti malam saja lah, aku masih menimbang-nimbang. Sebaiknya apa yang harus aku lakukan" ucap Henny.

"Hmm, sepertinya perkara yang rumit," kesan Hargus sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Ya, rumit sekali." Henny menjawab sambil meringis. "Keluargaku menyuruh aku bertemu dengan lelaki yang tidak aku kenal," ucap Henny. Tangannya memainkan pensil yang ada di meja.

"Hah? Siapa dia? Bawa aku menemanimu!" ucap Hargus spontan.

Henny bengong sebentar mendengar perkataan Hargus.

"Aku? Berkenalan dengan orang asing dan mengajakmu? Buat apa? Aku bisa sendiri, lagi pula kalau dia kemudian menganggap kamu berondong aku bagaimana? Hahaha," tawa Henny berderai. Dia merasa lucu jika itu benar-benar terjadi.

"Tidak apa-apa. Kenalkan saja aku sebagai pegawaimu yang kebetulan menemani karena ada urusan mendesak yang harus di selesaikan segera." Hargus coba membuat rancangan kejadian.

Henny menggelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu, nanti malah aku yang repot menjelaskan. Lagi pula kami saling bertemu untuk berkenalan, kalau kamu ada di sana pasti banyak hal yang ditutup-tutupi."

Hargus terdiam. Manik matanya berputar. Dia sedang mencari solusi dan membuat scenario.

"Begini saja, katakan saja kalian akan bertemu di mana, nanti aku ikut datang ke sana, untuk mengawasi kalian dari jauh," ujarnya.

"Hmm, bisa juga begitu." Henny menatap lurus ke arah pemuda di depannya. "Tapi kenapa kau harus ikut?" tanyanya lagi.

"Sudah kubilang. Aku mau menjaga Bu Boss," jawab Hargus.

"Dari apa? Aku tak butuh dijaga," ucap Henny masih berusaha mengelak.

"Dari marabahaya. Bukankah kemarin Bu Boss juga habis kecelakaan?" tanya Hargus.

"Iya, kok kamu tahu? Aku nggak cerita ke kamu lho," ucap Henny jenaka.

Hargus menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. "Tentu saja aku tahu. Semua pegawai selalu bergunjing sepanjang hari, aku mendengarnya," jelas Hargus.

"Oke, baiklah. Kamu benar. Lalu kenapa kalau aku kecelakaan?" tanya Henny.

Hargus tampak berpikir sebentar. Matanya terpejam. "Kamu sudah ketemu dia … orang dari masa lalumu juga," ujar Hargus serius.

"Siapa yang kamu maksud?" tanya Henny. Ia bermaksud menguji apa saja yang diketahui Hargus.

Hargus tersenyum miring sebelum menjawab. "Dia … Papaku."

***

Henny tak bereaksi mendengar perkataan hargus. Dia justru menertawakannya. Baginya apa yang dikatakan pemuda itu sangat tak masuk akal.

"Hahaha … Aku tak mengerti maksudmu. Bagaimana mungkin orang yang tak kau kenal, orang yang belum pernah bertemu denganmu, kamu sebut Papamu?" ucap Henny sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Ya, aku tahu. Bu Boss saja yang belum tahu, atau sudah tahu, tapi pura-pura tak tahu," ketus Hargus.

Henny memandang lurus pemuda di depannya. "Lalu, bapakmu yang di rumah itu kamu sebut siapa? Kok ngaku-ngaku orang lain sebagai Papa? Hahaha …!" Ketawa Henny pecah lagi.

Hargus memiringkan mulutnya. "Ya sudah kalau tidak mau percaya, mungkin aku saja yang akan tahu, tak jadi soal," tegasnya.

"Oke, kita bahas yang lain saja bagaimana?" ujar Henny. "Katanya kamu mau mengawalku saat kencan buta nanti?" tanyanya dengan gaya lucu. Matanya berkedip sebelah.

"Kapan kalian akan ketemu?" tanya Hargus. Ia mengeluarkan ponselnya, siap untuk membuat catatan. Kebiasaan anak yang efisien.

"Besok malam. Di kafe Flamboyan. Jam 7 ya!" kata Henny. Ia kembali mengambil buku catatan, hendak meneruskan pekerjaan yang sempat tertunda.

"Oke, aku akan datang ke sana." Hargus menjawab singkat. "Apa rapat kita sudah selesai? Tak ada lagi yang mau dibahas?" tanyanya sebelum pergi.

"Sementara cukup itu dulu," jawab Henny.

"Oke, aku pergi,"kata Hargus.

"Jangan lupa besok malam," pesan Henny.

Hargus mengacungkan jari jempolnya. "Beres," katanya.

Manajer itu segera kembali ke belakang minibar dan mulai meracik kopi pesanan yang sudah menumpuk. Seorang barista dan asistennya kelihatan tersenyum lega melihatnya keluar dari ruangan Henny.

"Ah, akhirnya kamu datang juga. Lihat pesanan banyak sekali, aku masih kesulitan meraciknya sendiri," ujar si barista.

Hargus diam saja tapi kemudian tangan terampilnya mulai meracik dan menyiapkan urutan pesanan dengan terampil. Sang barista melihatnya dengan seksama. Sesekali dia terlihat mengangguk atau garuk kepala.

"Kelihatannya mudah, tapi kenapa rasanya bisa beda?" gumamnya.

"Lihat yang benar, cara sama tapi kamu lihat bagaimana suhu dan kecepatan aku mengaduknya," kata Hargus. Tangannya masih sibuk mengocok adonan kopi latte.

"Iya, aku paham. Aku harus banyak berlatih," ujar barista.

"Kamu harus cepat bisa, kita akan kebanjiran orderan tak lama lagi," kata Hargus sambil menuang kopi ke gelas.

"Bagianmu menghiasnya, ingat yang aku ajarkan kemarin," imbuhnya lagi.

Barista dan asistennya segera mengerjakan apa yang diperintahkan Hargus. Sang asisten usianya beberapa tahun lebih tua dari Hargus. Awalnya para pegawai protes dan bertanya-tanya kenapa Henny memilih manajer baru yang masih seperti anak ingusan.

Namun, melihat kepiawaian Hargus, semua orang jadi kagum dan sering memujinya memiliki bakat sebagai barista yang hebat.

Selesai membuat daftar pesanan, Hargus duduk kelelahan. Kedua tangannya terentang untuk mengedorkan otot dan syarafnya. Kepalanya digerakkan ke kanan dan kiri.

"Capek sekali ya, Kak?" tanya asisten.

Hargus tak menjawab, dia hanya mengangguk kecil.

"Tenang saja, sebentar lagi kafe juga tutup. Kita bisa pulang," tambahnya. "Mau pulang bareng saya?" ujar asisten menawari. Dia tahu Hargus sering cepat-cepat pulang dari kafe untuk mengejar bis umum.

"Tak usah, aku nggak mau merepotkanmu," jawab Hargus. "Tapi terima kasih tawarannya," ujarnya sambil tersenyum kecil.

"Aku nawarin beneran, Kak. Kalau perlu diantar ke mana, bilang saja," ujar sang asisten lagi.

Hargus tampak berpikir sebentar. Ia ingat janjinya besok malam mengawal Henny yang akan bertemu dengan orang di kafe Flamboyan.

"Eh, besok malam saja, antar aku ke kafe Flamboyan," kata Hargus. "Apa tempatnya jauh dari sini?" tanyanya.

Sang asisten tersenyum senang. Tawarannya berhasil. "Agak jauh, tapi tidak apa-apa, aku akan mengantarmu," katanya. "Ada urusan apa kamu ke sana?"

Hargus tak mau menceritakan urusan Henny ke anak buah yang lain, maka ia mencari alasan yang paling bisa diterima mereka. "Cuma ketemu dengan teman lama," jawabnya.

"Oh, ketemu cewek ya?" tanya barista menyela sambil tertawa.

"Nggak, ketemu teman biasa saja," jawab Hargus datar.

Si barista menghentikan ketawanya dan bersikap biasa seperti semua. 'Duh susah benar mendekati orang yang dingin begini,' keluhnya dalam hati.

Waitress datang dan memberikan daftar menu baru pada mereka. Hargus dan timnya kembali bekerja.