webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Cari Calon Mantu

"Mbak Henny, Bapak dan Emak dataaang …" seru Nuning saat membukakan pintu untuk orang tua Henny. Orang-orang yang sangat dikenalnya karena mereka berasal dari satu kampung yang sama. Nuning masih terbilang sebagai saudara jauh, hingga sangat dipercaya oleh keduanya untuk menemani anak perempuannya.

Henny cepat keluar dari ruang dalam dan menyambut keduanya. Ia ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.

"Bapak, Emak …" ujar Henny sambil mencium tangan mereka berdua dan membawakan tas Emak yang kelihatan berat. Entah apa yang dibawanya.

"Henny, katanya kamu kemarin ketabrak orang?" tanya Bapak. "Apanya yang kena?"

Henny menunjukkan luka baret di tangannya yang sudah mulai mengering.

"Ini saja, kok. Nggak usah khawatir. Henny baik-baik saja," jawab Henny. "Bapak dan Emak harusnya nggak usah datang jauh-jauh ke sini, besok libur aku saja yang pulang," ujar Henny.

"Kapan mau pulang? Dari bulan lalu ditunggu katanya mau pulang, ternyata nggak pulang-pulang," rajuk Emak. Anak perempuan bungsunya itu memang beda. Anak terakhir biasanya manja dan ketergantungan dengan rumah, tapi Henny beda, ia sudah pergi dan mandiri meninggalkan rumah sejak usia muda. Tepatnya sejak selesai kuliah.

"Iya, maaf. Aku lupa, kerjaan masih sibuk sekali," ujar Henny meminta maaf. "Emak ke sini diantar siapa?" tanyanya. Ia ingat, Bapaknya sudah tua dan dilarang menyetir oleh anak-anaknya. Sementara rumah mereka jauh ada di kabupaten sebelah.

"Diantar sama Bayu," jawab Emak. "Kebetulan dia sedang libur kerja, jadi aku suruh antar ke sini."

Bayu, kakak Henny yang nomer dua. Seorang pegawai di perusahaan farmasi. Ia tinggal serumah dengan orang tuanya beserta dengan istri dan anak-anaknya.

"Sudah baikan, Hen?" tanya Bayu tanpa basa-basi. Kepribadiannya memang seperti itu, tak banyak berkata dan basa-basi.

"Sudah, Cak. Cuma keserempet kok," kata Henny.

"Cuma keserempet bagaimana? Aku dengar cerita kamu sampai dibawa ke rumah sakit, artinya lumayan parah," elak Bayu.

"'Iya, Cak. Kemarin sempat pingsan di jalan," jawab henny jujur sambil meringis. "Tapi nggak apa-apa, cuma karena kaget saja, jadi pingsan," imbuh Henny.

"Tapi hasil pemeriksaan dokter bagaimana?" tanya Bayu lagi.

"Nggak apa-apa, cuma kebentur. Kalau nggak muntah atau pusing berat setelahnya nggak apa-apa," ujar Henny. "Dan beneran nggak apa-apa, semalam aku juga tidur nyenyak. Iya 'kan, Ning?" tanya Henny pada Nuning.

"Iya, nggak apa-apa kok," ulang Nuning sambil melirik majikannya itu. Nuning kali ini menjaga kata-katanya supaya tidak kelepasan yang berakibat disalahkan lagi sama Henny.

Emak, Bapak dan Bayu kemudian terdiam. Ketiganya saling berpandangan. Seperti menunggu aba-aba siapa dulu yang mau berbicara.

Henny tanggap dan jadi penasaran. "Ada apa? Kenapa malah saling lihat-lihatan? Sudah tahu kan aku baik-baik saja, jadi nggak usah cemas. Besok juga sembuh," ujarnya.

Bapak melihat ke arah Bayu. "Sudah, kamu saja yang ngomong," ucapnya.

"Hen, ini Cak Bayu mau ngomong, tapi maaf, jangan tersinggung ya. Apa yang aku omongkan nanti buat kebaikanmu," ucap Bayu mengawali pembicaraan yang sepertinya serius.

Kepala Henny mendadak berdenyut lagi. Pasti mereka bahas perkara yang itu lagi.

"Hen, aku punya teman kerja. Dia usianya sepantaran kamu. Belum menikah juga, dia bilang belum nemu yang cocok. Terus aku ceritakan tentang adikku sendiri, yaitu kamu, yang juga masih betah melajang. Eh, nggak disangka saat lihat fotomu, dia minta untuk kenalan. Kamu mau kenalan sama dia 'kan?" tanya Bayu tanpa basi-basi.

Henny belum menjawab. Entah ini sudah yang ke sekian kalinya orang tua dan keluarganya cawe-cawe urusan perjodohannya. Dia sendiri sudah mulai cuek.

"Iya, Henny. Kamu lihat, Emak dan Bapak sudah tidak muda lagi. Kami tak tahu kapan sewaktu-waktu dipanggil menghadap Gusti Allah …" ucap Emaknya.

"Iya, Mak. Iya. Aku paham, nggak usah dilanjutkan ya berpikir begitunya," ujar Henny.

"Ya tetap dipikirkan, Hen. Namanya orang tua …" tutur Emak. Ia menengok pada suaminya. "Iya 'kan, Pak?" tanyanya.

Bapak mengangguk. "Sebenarnya apa lagi yang kamu tunggu Henny? Pekerjaan sudah ada, rumah sudah ada, umur sudah kelewat mateng, masa kamu nggak pengin seperti teman-temanu?" tanya Bapak langsung dan terasa seperti mencubit hati Henny. Pasti, kalau ketemu dengan orang tua dan keluarganya, pembicaraan tentang dirinya tak pernah jauh dari urusan jodoh.

"Aku belum ketemu yang cocok," jawab Henny jujur.

"Ya nggak akan ketemu kalau nggak mau dicari," tukas Bayu. "Makanya, aku kenalin dengan temanku. Fisiknya nggak jelek-jelek amat, yang jelas dia punya pekerjaan mapan."

Henny menunduk. Ia merasa seperti terdakwa yang sedang dihakimi. Mau polah dan alasan apa saja rasanya akan gagal saja.

"Bagaimana, mau ya?" bujuk Bayu lagi.

Henny memainkan jemarinya. "Aku mau, tapi ada syaratnya," katanya.

"Apa itu?" Emak ingin tahu alasan Henny.

"Aku mau, tapi dengan syarat ini perjodohan yang terakhir. Kalau ternyata aku merasa nggak cocok dengan dia, aku mau tak usah dicarikan lagi begini, aku akan mencarinya sendiri," kata Henny. "Aku nggak suka dipaksa-paksa. Menikah itu urusan yang berat buatku," terang Henny.

Kedua orang tua Henny dan kakanya terdiam. Dari dulu urusan satu ini memang pelik. Henny bukan tipikal perempuan yang gampang disuruh-suruh dan penurut. Ia akan memperjuangkan keyakinan dan kemauannya sendiri. Perempuan yang sangat mandiri.

Bapak terlihat menarik nafas berat. "Ya, sudah. Kita coba dulu apa salahnya, yang penting sudah usaha, perkara nanti hasilnya bagaimana itu terserah kamu. Tapi coba lihat dan pertimbangkan, orang tuamu ini sudah tua, kami nggak mau pergi dengan perasaan masih berhutang sama kamu," ujar Bapak panjang lebar.

Henny menunduk. Benar juga yang dikatakan Bapak. Sampai kapan aku harus begini? Materi bisa aku dapatkan dan berikan, tapi kebahagiaan berupa ketenangan hati selaku orang tua, aku belum bisa memberikannya pada mereka.

"Bagaimana, Hen? Keputusanmu …" ucar Bayu lagi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Coba lihat, lelaki sebagus ini masa kamu tolak? Di kantor banyak yang ngejar-ngejar dia, tapi dia juga beralasan sama dengan kamu. Belum nemu yang cocok," ucap Bayu.

Bayu membuka-buka file foto di gagdetnya itu. Ia mencari gambar temannya yang mau diperkenalkan ke Henny.

"Nih, lihat!" ucap Bayu. Ponsel ia taruh di meja agar semua dapat melihatnya.

Henny melirik sekilas. Dilihatnya sesosok lelaki berusia diatas 40 tahun. Wajahnya terlihat ramah dan memiliki senyum yang menarik. Kelihatannya dia lelaki yang cukup bersih dan mau menjaga penampilan. Kelihatan di usianya yang sudah kepala 4 masih tampak pesona mudanya.

"Waduh, bagus ya? Itu bukan lagi lelaki biasa, tapi bagus," puji Emak dengan heboh.

Bapak meliriknya dengan ujung matanya. "Sudah nini-nini masih saja tahu lelaki bagus," ucapnya.

Emak tertawa kemudian buru-buru menutup mulutnya. "Iya, nggak apa-apa, siapa tahu beneran jadi calon mantu," belanya.

Henny memutar bola matanya. Emak ada-ada saja, yang mau kawin siapa yang senang duluan siapa. Tapi baru kali itu Henny menyadari, Emaknya akan tertawa dan tersenyum ceria bahkan oleh harapan kecil semacam itu. Harapan yang ditawarkan oleh Bayu, kakaknya.

Henny memejamkan mata sebelum berbicara lagi. "Oke, baiklah aku mau. Kapan aku ketemu dia?"